Warga desa-desa pesisir di Kecamatan Leihitu, Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah masih enggan tidur malam di rumah, karena khawatir adanya gempa susulan seperti yang terjadi pada Selasa (12/11) malam.
Pantauan ANTARA, Kamis, sebagian besar warga di Leihitu lebih memilih tidur di kawasan dataran tinggi saat malam hari, dikarenakan masih khawatir dengan gempa-gempa susulan yang bisa tiba-tiba saja terjadi.
Ny Nina Hatuina (40), warga Desa Seith misalnya. Ia mengaku masih khawatir dengan gempa susulan yang masih terus terjadi hingga kini.
"Siangnya kami di rumah, tapi kalau malam hari kami mengungsi ke atas, supaya bisa tidur dengan tenang, walaupun hanya dengan tenda," katanya.
Ia mengatakan pascagempa magnitudo 6,5 pada 26 September 2019 hingga kini masih banyak warga di desanya yang mengungsi ke area perbukitan di belakang kampung.
Kendati demikian, beberapa hari sesudah gempa susulan magnitudo 5,2 pada 10 Oktober 2019, Nina dan keluarga sudah memutuskan untuk tidak mengungsi lagi.
Pasca gempa magnitudo 5,1 mengguncang pada 12 November 2019 sekitar pukul 19.10.42 WIT, mereka memutuskan untuk kembali mengungsi saat malam hari.
"Kami masih khawatir karena gempa susulan belum berakhir dan bisa tiba-tiba saja terjadi. Rasanya tidak tenang, Selasa malam kemarin ada gempa, magrib tadi juga ada gempa beberapa kali," ucap Nina.
Lain halnya dengan Nina. Ny Ema Pailokol (33), warga Desa Hila mengaku anaknya yang berusia tiga tahun masih trauma dengan guncangan gempa, sehingga selalu menangis setiap kali diminta untuk tidur malam di rumah.
Saat gempa magnitudo 5,1 terjadi, Ema yang saat itu sedang berada di rumah salah seorang kerabat, serentak kaget karena anaknya menangis kencang sebab panik guncangan gempa.
Hingga saat ini, Ema dan keluarga menghabiskan malam mereka di kawasan dataran tinggi Parangsana.
"Tadi kan ada gempa juga. Anak saya masih trauma, saya bilang malam ini kita tidur di rumah saja, dia langsung menangis tidak mau, katanya nanti ada angin bergoyang, dia menyebut gempa seperti itu," ujar Ema.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
Pantauan ANTARA, Kamis, sebagian besar warga di Leihitu lebih memilih tidur di kawasan dataran tinggi saat malam hari, dikarenakan masih khawatir dengan gempa-gempa susulan yang bisa tiba-tiba saja terjadi.
Ny Nina Hatuina (40), warga Desa Seith misalnya. Ia mengaku masih khawatir dengan gempa susulan yang masih terus terjadi hingga kini.
"Siangnya kami di rumah, tapi kalau malam hari kami mengungsi ke atas, supaya bisa tidur dengan tenang, walaupun hanya dengan tenda," katanya.
Ia mengatakan pascagempa magnitudo 6,5 pada 26 September 2019 hingga kini masih banyak warga di desanya yang mengungsi ke area perbukitan di belakang kampung.
Kendati demikian, beberapa hari sesudah gempa susulan magnitudo 5,2 pada 10 Oktober 2019, Nina dan keluarga sudah memutuskan untuk tidak mengungsi lagi.
Pasca gempa magnitudo 5,1 mengguncang pada 12 November 2019 sekitar pukul 19.10.42 WIT, mereka memutuskan untuk kembali mengungsi saat malam hari.
"Kami masih khawatir karena gempa susulan belum berakhir dan bisa tiba-tiba saja terjadi. Rasanya tidak tenang, Selasa malam kemarin ada gempa, magrib tadi juga ada gempa beberapa kali," ucap Nina.
Lain halnya dengan Nina. Ny Ema Pailokol (33), warga Desa Hila mengaku anaknya yang berusia tiga tahun masih trauma dengan guncangan gempa, sehingga selalu menangis setiap kali diminta untuk tidur malam di rumah.
Saat gempa magnitudo 5,1 terjadi, Ema yang saat itu sedang berada di rumah salah seorang kerabat, serentak kaget karena anaknya menangis kencang sebab panik guncangan gempa.
Hingga saat ini, Ema dan keluarga menghabiskan malam mereka di kawasan dataran tinggi Parangsana.
"Tadi kan ada gempa juga. Anak saya masih trauma, saya bilang malam ini kita tidur di rumah saja, dia langsung menangis tidak mau, katanya nanti ada angin bergoyang, dia menyebut gempa seperti itu," ujar Ema.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019