Kajati Maluku Rorogo Zega menegaskan, pihak PT. (Persero) PLN maupun A. Wakano selaku ahli waris dari almarhum Zadrak Wakano yang menjual tanah negara kepada tersangka FT untuk rencana pembangunan sarana PLTMG berkekuatan 10 MW di Namlea, Kabupaten Buru tidak dijadikan tersangka.

"Yang dikejar dalam perkara ini bukanlah masalah kepemilikan lahan,  tetapi kasus dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp6, 08 miliar," kata Kajati di Ambon, Senin.

Kalau PLN sebagai pihak yang melakukan proses pembayaran lahan berdasarkan hasil pengukuran tanah oleh tersangka AG dari BPN Kabupaten Buru, sedangkan pemilik lahan bisa diproses hukum secara pidana umum oleh tersangka FT.

Penegasan Kajati disampaikan usai dilakukan proses penyerahan tahap II berupa berkas perkara, tersangka, dan barang bukti kasus dugaan tindak pidana korupsi dana pengadaan lahan untuk pembangunan PLTMG Namlea dari jaksa penyidik kepada jaksa penuntut umum.

Kajari Buru, Muhtadi juga hadir dalam proses penyerahan tahap II dan menandatangani surat perintah penahanan tersangka FT serta AG.

Kajati menyampaikan kronologis pembelian lahan yakni pada 2016, PLN Unit Induk Pembangunan (UIP)  Maluku melakukan proses pengadaan tanah bagi pembangunan PLTMG yang berlokasi di Dusun Jiku, Desa Namlea, Kabupaten Buru.

Untuk kepentingan tersebut, PLN UIP Maluku melayangkan surat kepada pihak Badan Pertanahan Nasional lalu Kepala Kantor BPN Buru, John George Sen (Alm) secara lisan memerintahkan tersangka AG selaku Kasie Pengukuran di BPN Buru melakukan pengukuran lahan.

Dalam pengukuran tanah seluas 48.000 meter persegi ini, tersangka AG membuat peta lokasi nomor 02208 tertanggal 16 Juni 2016 . Namun,  tidak sesuai data sebenarnya, karena mencantumkan nomor induk bidang tersebut tetapi berdasarkan komputerisasi ternyata lokasi itu milik Abdul Rasyid Tuanani seluas 645 meter persegi.

Padahal tanah ini dikuasai oleh negara karena lokasinya merupakan bagian dari tanah erfpacht (hak barat) dan pemegang haknya atas nama Zadrak Wakano (Alm) yang meninggal dunia pada 1981 dan 1985 terjadi transaksi jual beli antara keluarga waris dengan tersangka FT.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, tanah erfpracht tidak bisa dipindah-tangankan, baik kepada ahli waris maupun kepada pihak lain selaku pembeli.

Karena setelah pemegang hak erfpracht meninggal dunia,  maka selesailah kepemilikan atas tanah tersebut dan tidak bisa dikuasai oleh ahli waris tetapi statusnya menjadi tanah yang dikuasai negara.

"Sebab yang hanya berhak mengkonversi tanah itu adalah pemegang hak, dalam hal ini almarhum Zadrak Wakano.  Zadrak seharusnya mengkonversi tanah tersebut pada September 1980 setelah emberlakukan UUPA tahun 1960. Namun,  hal itu tidak dilakukan almarhum," ujar Kajati.

Selanjutnya berdasarkan peta lokasi nomor 02208 tanggal 16 Juni 2016 yang dibuat tersangka AG, lalu pihak PLN melanjutkan proses pembebasan lahan tersebut.

Jadi tersangka FT juga tidak berhak mendapatkan ganti rugi atas pembelian lahan tersebut dari ahli waris A. Wakano melalui perantara pihak ketiga.

"Perkara ini dua kali kita sidik, di mana penanganan pertama kali pada 2018 dan saat itu sudah ada penetapan tersangka serta kerugian keuangan negara. Namun,  ada upaya praperadilan terhadap jaksa, kemudian penanganannya dilanjutkan pada 2020 dan juga ada upaya praperadilan awal 2021 dan ditolak hakim tunggal PN Ambon," tandas Kajati.

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : Lexy Sariwating


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021