Kepala Badan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mendapatkan kesempatan istimewa mendengarkan kisah bencana tsunami yang menenggelamkan Negeri Samasuru, Kecamatan Teluk Elpaputih, Kabupaten Maluku Tengah pada 1899.
Kisah bencana yang memilukan dan menelan korban jiwa dalam jumlah besar itu, didengar langsung saat Dwikorita saat bersama tim BMKG mendatangi negeri tersebut untuk melakukan pemetaan zona rawan gempa dan tsunami, Jumat.
Penjabat Negeri Samasuru Kres Waileruny menceritakan bencana tsunami yang menenggelamkam negeri tersebut, berawal gempa dengan guncangan kecil, meningkat sedang dan kemudian terjadi guncangan cukup kuat pada 29 September 1899, sekitar pukul 03.00 dinihari.
"Menurut penuturan cerita orang tua-tua kami yang sempat selamat, guncangan gempa awalnya hanya kecil, dan berujung gempa dahsyat. Tanah juga terbelah, tidak tahu berapa skala kekuatannya," ujarnya.
Saat gempa warga yang kaget dari tidur mendengar ledakan besar dan beberapa saat kemudian air bah datang menghantam. Banyak orang tidak bisa menyelamatkan diri karena dihantam gelombang sangat tinggi .
"Menurut cerita banyak warga yang tersangkut di pohon-pohon kelapa karena terbawa air yang naik dengan cepat menghantam pemukiman. Saat air surut tidak ada yang berani mendatangi tepi pantai," katanya.
Gempa yang menyebabkan tsunami dan dikenal dengan "Bahaya Seram" berdasarkan data bermagnitudo 7,8 dan menelan korban jiwa 4.000 orang. Gempa tersebut juga tercatat sebagai salah satu gempa di tanah air dengan korban jiwa terbanyak.
Kres menuturkan, saat suasana tenang warga yang selamat baru berani turun ke pantai. Saat itulah baru mereka mengetahui bahwa kampungnya telah tenggelam ke dasar laut.
"Airnya naik menghantam kampung. Saat surut seluruh kampung kami benar-benar tenggelam," ujarnya.
Kres bersama beberapa tokoh masyarakat Samasuru kemudian menunjukkan talud penahan ombak setinggi 1,5 meter sepanjang hampir 100 meter. Tempat di mana talud itu dibangun dan hanya berjarak sekitar 10 meter dari bibir pantai itu, merupakan batas jangkauan tsunami yang menenggelamkan negeri tersebut.
"Menurut cerita pada lokasi talud itulah batas air naik. Dulu negeri kami dekat dengan Tanjung Kuako di negeri Amahai," ujarnya sambil menunjuk ujung pulau yang berada di sebelah Timur Laut desanya.
Dia menuturkan, sebelum gempa dan tsunami menenggelamkan kampung tersebut, leluhurnya bisa ke Tanjung Kuako menggunakan perahu semang untuk beribadah di gereja karena jaraknya dekat. Tetapi sekarang hal itu sudah tidak mungkin karena jaraknya sudah sangat jauh.
Akibat "bahaya Seram" itu, sebanyak 14 marga di Samasuru hilang, karena seluruh keturunannya meninggal dalam bencana itu.
"Saat itu masyarakat cuma mengetahui air naik. Nanti setelah peristiwa yang sama terjadi di provinsi Aceh pada 26 Desember 2004 barulah warga mengetahui bahwa itu tsunami," katanya.
Kres menyatakan, [ada 1999 mereka juga telah bersiap-siap mengungsi, karena sebelumnya mendapatkan penjelasan salah satu peneliti asal Belanda bahwa siklus gempa Seram akan berulang pada 100 tahun kemudian.
"Saat itu semua warga sudah siap-siap mengungsi, tetapi tidak terjadi. Nanti pada 2006 baru gempa melanda wilayah itu lagi. Waktu terjadi gempa persis seperti pada 1899 yaitu pukul 03.00 WIT," katanya.
Gempa tahun 2006 juga menyebabkan terjadi patahan dan pesisir pantai negeri itu turun ke laut, sehingga tepi pantainya menjadi semakin curam, tetapi tidak menimbulkan korban jiwa karena warga semakin siaga menghadapi gempa.
Dia bersama warga sempat pernah mengukur kedalaman bibir pantai. hasilnya jarak tiga meter dari bibir pantai kedalamannya 23 meter, sedangkan enam meter dari tepi pantai kedalamannya 29 meter, dengan panjang longsoran 280 meter.
Peristiwa gempa dasyat itu menjadi cerita penting yang dituturkan terus menerus kepada seluruh generasi negeri Samasuru. Saat ini anak-anak kecil di Negeri Samasuru mengetahui tentang sejarah ini. Mereka juga lebih siap menghadapi bencana karena telah diajari dan dilatih cara menyelamatkan diri.
Kepala MBKG Dwikorita, sangat bergembira mendengar cerita tersebut dari warga setempat. Ia bahkan menyuruh timnya untuk merekam cerita tersebut sebagai bahan penerbitan buku tentang gempa di tanah air.
Namun dia bersyukur warga Negeri Samasuru semakin siap menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami yang bisa terjadi tanpa terduga.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021
Kisah bencana yang memilukan dan menelan korban jiwa dalam jumlah besar itu, didengar langsung saat Dwikorita saat bersama tim BMKG mendatangi negeri tersebut untuk melakukan pemetaan zona rawan gempa dan tsunami, Jumat.
Penjabat Negeri Samasuru Kres Waileruny menceritakan bencana tsunami yang menenggelamkam negeri tersebut, berawal gempa dengan guncangan kecil, meningkat sedang dan kemudian terjadi guncangan cukup kuat pada 29 September 1899, sekitar pukul 03.00 dinihari.
"Menurut penuturan cerita orang tua-tua kami yang sempat selamat, guncangan gempa awalnya hanya kecil, dan berujung gempa dahsyat. Tanah juga terbelah, tidak tahu berapa skala kekuatannya," ujarnya.
Saat gempa warga yang kaget dari tidur mendengar ledakan besar dan beberapa saat kemudian air bah datang menghantam. Banyak orang tidak bisa menyelamatkan diri karena dihantam gelombang sangat tinggi .
"Menurut cerita banyak warga yang tersangkut di pohon-pohon kelapa karena terbawa air yang naik dengan cepat menghantam pemukiman. Saat air surut tidak ada yang berani mendatangi tepi pantai," katanya.
Gempa yang menyebabkan tsunami dan dikenal dengan "Bahaya Seram" berdasarkan data bermagnitudo 7,8 dan menelan korban jiwa 4.000 orang. Gempa tersebut juga tercatat sebagai salah satu gempa di tanah air dengan korban jiwa terbanyak.
Kres menuturkan, saat suasana tenang warga yang selamat baru berani turun ke pantai. Saat itulah baru mereka mengetahui bahwa kampungnya telah tenggelam ke dasar laut.
"Airnya naik menghantam kampung. Saat surut seluruh kampung kami benar-benar tenggelam," ujarnya.
Kres bersama beberapa tokoh masyarakat Samasuru kemudian menunjukkan talud penahan ombak setinggi 1,5 meter sepanjang hampir 100 meter. Tempat di mana talud itu dibangun dan hanya berjarak sekitar 10 meter dari bibir pantai itu, merupakan batas jangkauan tsunami yang menenggelamkan negeri tersebut.
"Menurut cerita pada lokasi talud itulah batas air naik. Dulu negeri kami dekat dengan Tanjung Kuako di negeri Amahai," ujarnya sambil menunjuk ujung pulau yang berada di sebelah Timur Laut desanya.
Dia menuturkan, sebelum gempa dan tsunami menenggelamkan kampung tersebut, leluhurnya bisa ke Tanjung Kuako menggunakan perahu semang untuk beribadah di gereja karena jaraknya dekat. Tetapi sekarang hal itu sudah tidak mungkin karena jaraknya sudah sangat jauh.
Akibat "bahaya Seram" itu, sebanyak 14 marga di Samasuru hilang, karena seluruh keturunannya meninggal dalam bencana itu.
"Saat itu masyarakat cuma mengetahui air naik. Nanti setelah peristiwa yang sama terjadi di provinsi Aceh pada 26 Desember 2004 barulah warga mengetahui bahwa itu tsunami," katanya.
Kres menyatakan, [ada 1999 mereka juga telah bersiap-siap mengungsi, karena sebelumnya mendapatkan penjelasan salah satu peneliti asal Belanda bahwa siklus gempa Seram akan berulang pada 100 tahun kemudian.
"Saat itu semua warga sudah siap-siap mengungsi, tetapi tidak terjadi. Nanti pada 2006 baru gempa melanda wilayah itu lagi. Waktu terjadi gempa persis seperti pada 1899 yaitu pukul 03.00 WIT," katanya.
Gempa tahun 2006 juga menyebabkan terjadi patahan dan pesisir pantai negeri itu turun ke laut, sehingga tepi pantainya menjadi semakin curam, tetapi tidak menimbulkan korban jiwa karena warga semakin siaga menghadapi gempa.
Dia bersama warga sempat pernah mengukur kedalaman bibir pantai. hasilnya jarak tiga meter dari bibir pantai kedalamannya 23 meter, sedangkan enam meter dari tepi pantai kedalamannya 29 meter, dengan panjang longsoran 280 meter.
Peristiwa gempa dasyat itu menjadi cerita penting yang dituturkan terus menerus kepada seluruh generasi negeri Samasuru. Saat ini anak-anak kecil di Negeri Samasuru mengetahui tentang sejarah ini. Mereka juga lebih siap menghadapi bencana karena telah diajari dan dilatih cara menyelamatkan diri.
Kepala MBKG Dwikorita, sangat bergembira mendengar cerita tersebut dari warga setempat. Ia bahkan menyuruh timnya untuk merekam cerita tersebut sebagai bahan penerbitan buku tentang gempa di tanah air.
Namun dia bersyukur warga Negeri Samasuru semakin siap menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami yang bisa terjadi tanpa terduga.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021