Organisasi non pemerintah di Ambon, Himpunan Maluku untuk kemanusiaan (Humanum) mendorong masyarakat adat di wilayahnya untuk memetakan wilayah mereka, guna mendukung kebijakan Indonesia Satu Peta yang berkaitan informasi geospasial tematik (IGT).

"Kami mendorong agar masyarakat adat lebih terlindungi, salah satunya dengan memetakan wilayah mereka dan ikut berpartisipasi dalam kebijakan Indonesia Satu Peta," kata Direktur Humanum Elvira Marantika di Ambon, Jumat.

Indonesia Satu Peta atau kebijakan satu peta merupakan IGT yang dibangun merujuk pada satu sumber rujukan peta dasar (peta rupabumi). Kebijakan ini dibentuk semejak masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kemudian diteruskan oleh Presiden Joko Widodo.

Baca juga: Masyarakat adat SBB tuntut Ranperda Penetapan Negeri disahkan, begini penjelasannya

Elvira mengatakan Indonesia Satu Peta merupakan kebijakan yang bisa memberikan perlindungan terhadap tanah-tanah adat. Karena itu, Humanum sejak tahun 2018 berupaya mendorong masyarakat hukum adat di Maluku melalui program penguatan kapasitas agar mereka mampu mengidentifikasi diri dan menetapkan wilayah masing-masing.

Program tersebut dilakukan dengan metode pendampingan dan pendokumentasian ulang potensi sumber daya alam, budaya, situs adat dan ritus masyarakat hukum adat, serta penelusuran sejarah mereka, termasuk juga pemetaan sosial dan geospasial menggunakan sistem pemosisi global (global system positioning - GPS) yang bisa terintegrasi dengan kebijakan nasional.

Saat ini ada dua wilayah adat yang sudah selesai dipetakan sesuai dengan indikator yang ditentukan dalam Percepatan Kebijakan Satu Peta (PKSP), yakni Desa Piru dan Morekau di Kabupaten Seram Bagian Barat.

"Kami mendorong agar ada konsolidasi internal di tingkat desa karena salah satu indikator yang harus dipenuhi dalam Percepatan Kebijakan Satu Peta (PKSP) adalah masyarakat adat secara mandiri mampu mengidentifikasi diri dan desanya," ucap dia.

Baca juga: Ketika Masyarakat adat Moi minta Jokowi moratorium sawit di Sorong Papua

Dikatakannya lagi, advokasi perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan wilayahnya perlu dilakukan, karena sejak diterbitkannya Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa berimplikasi pada terbatasnya akses masyarakat adat terhadap budaya dan tanah mereka.

Selain itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat yang diharapkan bisa menjadi payung hukum terhadap masyarakat adat dan wilayah mereka juga belum disahkan, sementara konsep bank tanah dalam pasal 125 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja mengisyarakatkan kemungkinan terjadinya eksploitasi tanah-tanah adat.

"Faktanya banyak sekali konflik terkait sumber daya alam berbasis hak atas tanah. Hak pengelolaan tanah dalam UU Cipta Kerja juga berpotensi menimbulkan konflik ketika tidak ada payung hukum untuk melindungi masyarakat adat," ujar Elvira Marantika.

Baca juga: "Nen Dit Sakmas" cara masyarakat Kei jaga adat dan hormati perempuan, lestarikan budaya

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021