Bioteknologi atau rekayasa genetika dinilai merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan produksi dan kualitas komoditas pangan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, kata pengamat pertanian Bustanul Arifin. "Posisi kebijakan pengembangan bioteknologi ke depan harus dirumuskan," katanya dalam seminar Perubahan Iklim dan Masa Depan Pertanian Indonesia yang digelar Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor. Namun demikian, katanya, hingga saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang jelas mengenai pengembangan bioteknologi tersebut. Bustanul mengungkapkan, selama ini produk bioteknologi sebenarnya sudah banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Misalnya kedelai impor dari Amerika Serikat yang dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tempe dan tahu. Tetapi ketika produk tersebut akan dikembangkan di dalam negeri agar tidak mengalami ketergantungan pada impor justru mendapatkan tentangan. Menurut dia, harus ada kebijakan dan promosi untuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian guna mengatasi perubahan iklim serta peningkatan produktifitas tanaman pangan. "Untuk itu perlu ada tekanan agar pemerintah meningkatkan alokasi anggaran bagi kegiatan penelitian dan pengembangan," katanya. Diungkapkan, alokasi dana kegiatan penelitian dan pengembangan di dalam negeri didominasi oleh pemerintah sebanyak 84,5 persen dan selebihnya swasta. Di negara lain seperti China, alokasi dana kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian sudah banyak diambil alih swasta, kurang lebih 60,1 persen. Bustanul mengatakan, untuk menarik minat swasta mengalokasikan dana bagi kegiatan penelitian dan pengembangan maka pemerintah perlu memberi insentif berupa keringanan pajak, misalnya. Sementara itu Pelaksana Tugas Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatot Irianto mengatakan, perubahan pola curah hujan dan kejadian iklim ekstrem di tanah air menyebabkan areal padi sawah yang terkena kekeringan dan puso meningkat masing-masing dari 3,1 persen menjadi 7,8 persen dan 0,004- 0,41persen menjadi 0,04-1,87 persen atau lebih kurang 150 ribu hektar/musim. Sedangkan areal sawah yang rawan banjir naik dari 0,75-2,68 persen menjadi 0,97-2,99 persen begitu juga luasan yang puso karena banjir meningkat dari 0,24-0,73 persen menjadi 8,7-13,8 persen atau 850 ribu hektar. "Resiko penurunan produksi juga mengalami peningkatan dari 2,4-5 persen menjadi 10 persen," katanya. Sementara itu peningkatan suhu udara sebagai dampak perubahan iklim diperkirakan juga mampu menurunkan produksi pangan baik padi, jagung, maupun kedelai sebesar 10,0-19,5 persen pada 40-50 tahun yang akan datang. Begitu juga peningkatan muka air laut yang diperkirakan terjadi hingga 2050 akan berdampak pada penciutan lahan serta degradasi sawah produktif sekitar 292-400 ribu hektar atau 3,7 persen di Jawa. "Ini akan berdampak serius terhadap pertanian di daerah pesisir, seperti terjadinya penyusutan dan degradasi lahan dan penurunan produktivitas akibat salinitas dan intrusi air laut," katanya. Kondisi tersebut, tambahnya, seperti terjadi di Kabupaten Karawang dan Subang Jawa Barat yang mana produksi beras susut   sekitar 300 ribu ton dan produksi jagung 5.000 ton akibat genangan air dan abrasi air laut.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2010