Tragedi pembunuhan Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) menjadi  insiden yang sangat menyita perhatian publik, mulai dari media lokal, Nasional, bahkan internasional turut serta dalam melakukan penggalian berita terkait persoalan ini.

Berbagai tahapan telah dilewati, bahkan sampai pada fase puncak  detik-detik pembacaan putusan terhadap ke lima terdakwa masih sempat diwarnai d saling adu argumentasi terkait seberapa besar dan kecil peluang hukuman yang hendak di dapat. Alhasil publik sudah bisa tenang dan lega pasca Hakim membacakan putusan terhadap masing-masing terdakwa yakni 
- F.S (Pidana Mati)
- P.C (20 Tahun Penjara).
- K.M (15 Tahun Penjara)
- R.R (13 Tahun Penjara)
- R.E (1,6 Tahun Penjara).

Untuk semua terdakwa, mereka dijatuhi vonis lebih berat daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkecuali terdakwa Richard Eliezer yang hukumannya kurang dan bahkan sangat jauh dari apa yang di tuntut oleh pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dari kasus ini, terdapat beberapa hal yang sangat menarik dan menyita perhatian publik terkhusus terdakwa atas nama Barada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Barada E).

Hasil Putusan

Dalam hasil putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri  Jakarta Selatan, Rabu 15 Februari 2023) menyatakan Terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana,

"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu dengan pidana 1 tahun dan 6 bulan penjara,".

Bharada Eliezer dinyatakan bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. 

Dari hasil putusan ini tim Kuasa Hukum dan juga Pihak Kejaksaan sepakat untuk tidak melakukan banding dan menyatakan hasil putusan itu sudah Inkrah dan berkekuatan hukum tetap. Hasil putusan ini sangat adil dan ini merupakan harapan dari masyarakat Indonesia yang mengharapkan keadilan.

Justice Collaborator


Merujuk pada hasil yang sudah dibacakan oleh majelis hakim terkait putusan oleh terdakwa Richard Eliezer, 1 Tahun 6 Bulan penjara bahwa memang terlihat sangat kontras dengan terdakwa yang lain, sebelumnya tuntutan yang diajukan oleh pihak JPU yaitu 12 tahun penjara seakan membuat bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tiba-tiba akan mulai runtuh. Artinya disinilah titik dimana keadilan sedang di uji.

Hakim seakan dibuat lebih ekstra untuk berfikir keras terkait masa depan keadilan di Indonesia, dan lagi-lagi ternyata para penegak hukum kita sangat jeli dan tenang dalam mengatasi berbagai tekanan yang ada.

Demi keadilan dan atas nama suatu kebenaran yang sudah di ungkapkan oleh seorang Eliezer, maka  selain di putus ringan Eliezer juga dinyatakan sebagai pelaku yang juga sekaligus berperan sebagai orang yang bekerjasama dalam membongkar kasus atau dinamakan Justice Collaborator (JC).

Pasal 51 Ayat 1  KUHP.

Secara kelembagaan sudah sangat jelas bahwa terdapat hal-hal yang sangat urgent yaitu struktural. Hal ini yang selalu menjadi dinding pemisah antara seorang pimpinan dan bawahan, bisa dikatakan sebagai konsep ber-etika dalam profesi.

Dalam proses persidangan tim kuasa hukum dari terdakwa Richard Eliezer selalu mengemukakan kepada hakim terkait poin-poin yang bersifat meringankan. Salah satunya adalah rujukan terkait isi yang tertuang dalam Pasal 51 Ayat 1 KUHP "Barang siapa yang melakukan perintah jabatan yang diberikan wewenang, tidak dipidana". 

Pasal tersebut yang kemudian selalu digunakan pihak kuasa hukum Eliezer untuk berusaha membebaskan Eliezer.

Sidang Etik

Setelah menjalani rangkaian proses persidangan secara konstitusional, Richard Eliezer harus kembali menjalani sidang etik profesi sebagai anggota Polri. Sidang ini yang akan menentukan status Eliezer ke depan sebagai anggota kepolisian.

Ada dua aturan yang bertentangan terkait sanksi pemberhentian tidak hormat bagi anggota kepolisian yang kemudian bisa dipakai menjadi rujukan untuk menentukan perjalanan Eliezer dalam lingkup kepolisian kedepannya.

- Peraturan Kapolri (PERKAP), Nomor 14 Tahun 2011.
Bahwa, Sanksi pemberhentian tidak dengan hormat bisa dilakukan untuk personel yang mendapatkan ancaman hukuman pidana 4 tahun atau lebih, yang sudah berketetapan hukum atau inkrah.
Jika merujuk untuk opsi yang pertama ini, berarti peluang kembalinya sangat besar karena mengingat putusan pengadilan hanyalah 1,6 Tahun.

- Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2003. 
Pemberhentian dengan tidak hormat dilakukan bila anggota Polri dipidana penjara tanpa batasan waktu.
Sebenarnya jika merujuk pada opsi yang ini, peluang Eliezer juga ada. Mengingat putusan yang dibacakan oleh pihak Majelis Hakim pun tidak bersifat mengambang artinya ada angka yang kemudian menjadi representatif dari hukuman itu sendiri.
Hanya saja, lagi-lagi tergantung pada penafsiran.

Harapan
Indonesia merupakan Negara yang sangat mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, serta mampu secara kritis menafsirkan hak-hak yang tertuang dalam UU nomor 39 Tahun 1999, sebagai representasi dari Pancasila Sila ke 5.

Untuk itu, melalui profesi yang dia geluti sebagai Abdi Negara, terdapat banyak harapan yang kemudian ada di pundak dia yang sudah terlanjur dititipkan oleh keluarga besarnya.
Oleh karena itu, ibu Richard Eliezer, Rynecke Pudihang berharap putranya bisa kembali mengabdi sebagai anggota Polri.

Penasihat Hukum Eliezer, Ronny Talapessy menyatakan Richard Eliezer bangga menjadi anggota Brimob dan berharap kembali menjadi anggota Polri.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan karir Eliezer ditentukan dalam sidang etik namun peluang Eliezer kembali ke kepolisian masih ada.
Saya berfikir, ini adalah sinyal positif.

Untuk itu, saya secara pribadi mau mengatakan bahwa, kita tidak bisa memakai pendekatan keegoisan dalam menafsirkan setiap aturan yang ada.

Penulis merupakan Direktur Madec
 

Pewarta: Handi  D.  Sella, S.H

Editor : Ikhwan Wahyudi


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2023