Para penggiat antikorupsi di Provinsi Maluku Utara (Malut) tak henti-hentinya melakukan aksi demonstrasi di Kejaksaan Tinggi (Kejati) setempat, untuk mendesak instisusi penegak hukum itu serius menanggani kasus korupsi di daerah ini.

Mereka menilai Kejati Malut selama ini kurang serius menanggani kasus korupsi di daerah berpenduduk 1 juta jiwa ini, baik yang dilaporkan masyarakat maupun hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan rekomendasi DPRD setempat.

Salah seorang penggiat antikorupsi di Malut Muhammad Saiful menilai, kalaupun selama ini Kejati Malut terlihat serius menanggani kasus korupsi, hanya untuk kasus tertentu sedangkan kasus korupsi lainnya dibiarkan berlarut-berlarut.

Contohnya kasus korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos) di Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) senilai Rp2 miliar lebih yang melibatkan mantan Kepala Dinas Keuangan dan Pengelolaan Aset Daerah (DKPAD) Haltim, Rusdan T Haruna, Kejati Malut terlihat sangat serius menangganinya sehingga hanya dalam kurun waktu beberapa bulan mampu menyeret pelakunya ke pengadilan.

Begitu pula dalam kasus korupsi proyek taman dan penerangan jalan di Kota Ternate yang melibatkan mantan Ketua Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Ternate Malik Ibrahim senilai Rp1 miliar lebih, Kejati Malut tidak membutuhkan waktu lama untuk memprosesnya hingga sampai ke pengadilan.

Tetapi, kata Muhammad Saiful, untuk kasus korupsi lainnya Kejati Malut terkesan membiarkannya berlarut-larut walaupun sudah menangganinya bertahun-tahun, seperti kasus dugaan penyimpangan pembelian kapal cepat KM Halsel Ekpres di Pemkab Halsel senilai Rp14 miliar lebih.

Kejati Malut menanggani kasus tersebut sejak beberapa tahun silam, namun sampai sekarang tidak jelas penyelesaiannya, bahkan Kejati Malut sempat menggeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) atas kasus ini dengan alasan tidak cukup bukti, padahal sebelumnya sudah menetapkan tersangka.

Keputusan SP3 Kejati Malut atas penangganan kasus KM Halsel Ekspres tersebut digugat oleh sebuah LSM di Malut ke Pengadilan Tipikor Ternate dan hasilnya Pengadilan Tipikor memerintahkan Kejati Malut melanjutkan penangganan kasus itu.

Kasus korupsi lainnya di Malut yang juga terkesan dibiarkan berlarut-larut oleh Kejati Malut, menurut Muhammad Saiful, di antaranya dugaan korupsi pembebasan lahan kawasan kantor Gubernur Malut di Sofifi bernilai puluhan miliar rupiah dan kasus penyimpangan dana bantuan pendidikan di Dinas Pendidikan dan Pengajaran Malut bernilai Rp11 miliar.

Selain itu, dugaan korupsi dana proyek pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Bappeda Malut senilai Rp2 miliar lebih serta kasus dugaan penyimpangan dalam pembelian kapal KM Kasih Sayang di Pemkab Halmahera Tengah (Halteng) senilai Rp12 miliar, yang kesemuanya merupakan hasil temuan BPK.

Kasus korupsi Dana Tak Terduga (DTT) di Pemprov Malut senilai Rp6,9 miliar yang ditanggani Polda Malut dengan tersangka mantan Gubernur Malut Thaib Armaiyn telah dilimpahkan Polda ke Kejati Malut, tetapi Kejati juga terkesan kurang serius menangganinya.

Kasi Penerangan Hukum Kejati Malut, Robert Jimmy Numbila dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa Kejati Malut selalu serius menanggani kasus korupsi di daerah ini kalau pun masih ada kasus korupsi yang belum tuntas penangganannya itu semata-mata terbentur pada sulitnya mengumpulkan bukti-bukti kuat.


Pasti Dituntaskan

Jaksa Agung Basrief Arief saat berkunjung di Ternate pada pekan lalu menyatakan bahwa semua kasus korupsi yang ditanggani Kejati Malut, termasuk seluruh Kejaksaan Negeri di daerah ini pasti akan dituntaskan.

Jaksa Agung telah menginstruksikan kepada jajarannya di Kejati Malut dan seluruh Kejaksaan Negeri di daerah ini untuk segera menuntaskan semua kasus korupsi yang ditanggani, terutama yang penangganannya sudah bertahun-tahun.

Khusus mengenai penyimpangan pembelian KM Halsel Ekspres di Pemkab Halsel yang selama ini menjadi sorotan berbagai kalangan di Malut menurut Jaksa Agung, penuntasan kasus itu menunggu hasil audit mengenai jumlah kerugian Negara dari BPK.

Begitu pula untuk kasus korupsi dana DTT dengan tersangka mantan Gubernur Malut Thaib Armaiyn yang telah dilimpahkan oleh Polda Malut ke Kejati, sudah diteliti dan dinyatakan P21 sehingga menunggu pelimpahannya ke persidangan.

Kejaksaan Agung juga telah melayangkan surat ke Mahkamah Agung terkait kasus DTT dengan tersangka mantan Gubernur Malut itu mengenai lokasi sidangnya dan jawabannya sudah ada, sehingga dapat dipastikan bahwa proses pelimpahan ke Pengadilan Tipikor segera dilakukan.

"Sekarang tinggal menunggu hasil koordinasi dengan berbagai pihak terkait apakah persidangan dilakukan di Pengadilan Tipikor Jakarta atau Pengadilan Tipikor Ternate. Kalau dari segi keamanan memungkinkan digelar di Pengadilan Tipikor Ternate maka persidangannya di Ternate," katanya.

Pernyataan Jaksa Agung tersebut merupakan komitmen untuk menuntaskan berbagai kasus korupsi di Malut tampaknya sedikit banyak membuat lega para penggiat antikorupsi dan masyarakat di daerah ini, namun mereka berharap agar semua itu tidak hanya menjadi janji kosong.

Mereka juga berharap agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) proaktif mencermati penangganan kasus korupsi di Kejati Malut tersebut, termasuk di institusi penegak hokum lainnya di daerah ini dan jika tetap penangganannya berlarut-larut, KPK harus mengambil alih penanggnannya.

Ketua KPK Abraham Samad dalam kunjungannya ke Ternate bersama Jaksa Agung pada pekan lalu juga mengatakan, sesuai ketentuan KPK memang bisa mengambil alih kasus korupsi yang ditanggani oleh Kejaksaan atau Kepolisian.

Namun KPK tidak bisa begitu saja mengambil alih kasus korupsi yang ditanggani Kejaksaan dan Kepolisian, jika kedua institusi penegak hokum itu tidak menyerahkan penanggannnya ke KPK dan ini telah menjadi kesepakatan bersama.

Namun demikian KPK akan tetap melakukan supervisi ke Kejaksaan dan Kepolisian mengenai penangganan berbagai kasus korupsi di kedua lembaga penegak hokum itu, terutama jika ada kasus korupsi yang penangganannya tidak tuntas akibat berbagai alasan.

Pewarta: La Ode Aminuddin

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014