Ambon (Antara Maluku) - Seringkali kebijakan yang diambil terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA) komunitas adat di Maluku merugikan kaum perempuannya, kata Elvira Marlien Marantika, Koordinator Divisi Pendidikan dan Advokasi Himpunan Maluku Untuk Kemanusiaan (HUMANUM).

"Kaum perempuanlah yang paling banyak dirugikan akibat kesalahan pengambilan keputusan dan kebijakan terkait pengeloaan SDA di dalam komunitas adatnya sendiri," katanya.

Elvira mencontohkan, kasus perambahan hutan Hunitetu, Kabupaten Seram Bagian Barat menyebabkan kekeringan sehingga para wanita di kawasan tersebut kesulitan mendapatkan sumber air bersih yang tidak hanya untuk keperluan rumah tangga, tetapi juga kepentingan pribadi yang terkait dengan kesehatan reproduksinya sendiri.

Hal itu menurutnya, dikarenakan lemahnya posisi perempuan dalam struktur adat sehingga tidak pernah dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan terkait pengelolaan SDA.

Padahal kebijakan-kebijakan yang diambil tersebut juga merupakan bagian dari kontrol terhadap masa depan kaum perempuan dalam menjalani kehidupan di komunitas adatnya, sehingga

"Struktur kehidupan adat di Maluku adalah patriliniar, lelaki yang mengambil keputusan dan perempuan tidak dilibatkan padahal nantinya merekalah yang akan menjalankan segala konsekuensinya," ucapnya.

Lebih lanjut Elvira mengatakan, masalah-masalah inilah yang akan diperjuangkannya dalam Konferensi Masyarakat Adat Sedunia (United Nations World Conference on Indigenous Peoples - WCIP) yang diselenggarakan oleh PBB di markas besarnya di New York - Amerika Serikat, pada 22 - 23 September 2014.

"Banyak contoh konkritnya, saya akan memaparkan secara lebih spesifik mengenai masalah-masalah akibat perubahan iklim dan pengelolan SDA daerah pesisir di Maluku yang berdampak pada kehidupan kaum perempuan di dalam komunitas adat," katanya.

Elvira Marlien Marantika adalah wanita dari suku Kuralele, Maluku yang telah bekerja selama hampir lebih dari 14 tahun di HUMANUM untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di komunitas akar rumput.

Dalam waktu dekat, dia bersama dua aktivis perempuan Indonesia lainnya, Olvy Oktavianita Tumbelaka dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur, dan Dina Lumbantobing dari Perkumpulan Sada Ahmo - Sumatera Utara akan dikirim oleh Just Associates (JASS) Asia Tenggara dan Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia (FAMM-I) sebagai delegasi Indonesia di WCIP.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014