Ambon (Antara Maluku) - Mantan Kepala Balai Laboratorium Kesehatan (BLK) Maluku, Semuel Kololu masuk Daftar Pencarian Orang Kejaksaan Tinggi setempat karena mangkir terhadap panggilan untuk dieksekusi terkait kasus Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) fiktif tahun anggaran 2010 yang merugikan negara Rp2,4 miliar.

"Kami sudah tiga kali melayangkan panggilan menindaklanjuti diterimanya salinan putusan Mahkamah Agung (MA), beberapa waktu lalu. Namun, Semuel tidak mengindahkannya sehingga dimasukkan dalam DPO," kata Kepala seksi Penerangan, Hukum dan Humas Kejati Maluku, Bobby Palapia, di Ambon, Jumat.

Terpidana hingga saat ini belum diketahui keberadaannya sehingga diimbau sesegera mungkin menyerahkan diri.

"Kan menyerahkan diri mekanismenya tidak berbelit-belit karena bila dieksekusi, maka menjadi sasaran bidikan kamera para wartawan dan disaksikan warga yang melihat prosesnya," ujar Bobby.

Penetapan DPO itu juga telah dikoordinasikan dengan pihak kepolisian dan imigrasi, termasuk ke Kejagung.

Karena itu, bila masyarakat melihat keberadaan Semuel diimbau melaporkannya ke kejaksaan atau polisi agar diamankan.

"Kami tetap melindungi identitas pelapor, makanya diminta peran serta berbagai komponen bangsa di Maluku guna menegakkan supremasi hukum," tegas Bobby.

Sebelumnya, MA menjatuhkan vonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta, subsider enam bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp20 juta subsider dua bulan kurungan kepada Semuel.

Vonis ini terkait kasus SPMK fiktif dengan jaksa menyeret Semuel Kololu yang saat itu menjabat Kepala BLK Maluku, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Hanny Samallo serta Direktur CV. Aneka Ong Onggianto Andreas. JPU Ajid Latuconsina menuntut mereka dengan hukuman bervariasi.

Semuel dituntut tiga tahun penjara, denda Rp55 juta subsider satu tahun penjara. Hanny dituntut tiga tahun penjara, denda Rp20 juta subsider satu tahun penjara. Sedangkan Ong Onggianto dituntut empat tahun penjara denda Rp500 juta subsider satu tahun penjara.

Saat di Ambon pada 3 Juli 2012 Pengadilan Tipikor Ambon memvonis bebas ketiganya. Jaksa kemudian mengajukan kasasi.

Namun hanya baru putusan MA atas Semuel yang diterima Pengadilan Tipikor Ambon, sedangkan Hanny dan Ong Onggianto belum turun.

Kasus SPMK fiktif ini berawal, ketika sekitar tahun 2009 - 2010 Ape Sohilait menemui Ong Onggianto dan mengaku sebagai keluarga dekat Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu. Dalam pertemuan itu, Sohilait menjanjikan proyek kepada Ong.

Selanjutnya pada 4 Januari 2010 sekitar pukul 09.00 WIT, Ape menjemput Ong Onggogito dan bertemu dengan Semuel dan Hanny.

Saat pertemuan itu, Semuel menjelaskan kalau UPTD yang dipimpinnya mempunyai proyek senilai Rp1,9 miliar yang bersumber dari APBD. Pertemuan tersebut berlanjut kepada pemberian proyek kepada Ong. Namun ada permintaan Semuel agar Ong memberikannya satu unit mobil Toyota Fortuner, sedangkan Hanny satu unit mobil Toyota Rush.

Setelah dihitung nilai mobil tersebut Rp700 juta, Ong menyatakan tidak sanggup. Pasalnya nilai proyek hanya Rp1,9 miliar. Ketidaksanggupan Ong kemudian disampaikan kepada Ape untuk selanjutnya diberitahukan kepada Semuel.

Semuel kemudian mengatakan kepada Ong kalau pihaknya juga mempunyai proyek dengan nilai Rp2 mil]iar yang bersumber dari APBN, sehingga total SPMK senilai Rp4 miliar. Mendengar penjelasan Semuel, maka, Ong menyanggupi untuk membeli mobil sebagaimana permintaan keduanya.

Selanjutnya, Hanny Samallo kemudian menandatangani tiga buah Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) meski pada saat itu yang bersangkutan belum memiliki Surat Keputusan (SK) penunjukan sebagai PPK pada BLK Maluku.

SPMK ditandatangani dengan Nomor: 911.0287 tanggal 12 Januari 2010 untuk pekerjaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan pada BLK Maluku tahun 2010 dengan nilai pekerjaan Rp845 juta.

SPMK Nomor : 911.0288 tertanggal 12 Januari 2010 untuk pekerjaan pengadaan peralatan laboratorium pada BLK Maluku tahun 2010 senilai Rp 1,16 miliar dan SPMK Nomor : 911.0289 tertanggal 12 Januari 2010 untuk pekerjaan pengadaan peralatan pemeriksaan Napza pada BLK Maluku tahun 2010 senilai Rp2 miliar.

Setelah memperoleh SPMK tersebut, Ong menjadikannya jaminan untuk mengajukan kredit ke PT. Bank Maluku Cabang Utama Ambon sebesar Rp2,4 miliar.

Ia mengetahui ketiga SPMK yang diterbitkan itu sebenarnya fiktif karena belum adanya DPA dan DIPA. Apalagi, proyek tersebut baru merupakan usulan dan belum melalui proses tender serta tanpa adanya kontrak atau perjanjian kerja alias fiktif.

Pewarta: Lexy Sariwating

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014