Ambon (Antara Maluku) - Aktivis perempuan asal Maluku, Elvira Marlien Marantika mengatakan, kapasitas komunitas masyarakat adat harus ditingkatkan agar mampu memperjuangkan hak atas kepemilikan, pengelolaan tanah ulayat dan sumber daya alam (SDA) di wilayah mereka.

"Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas bagi mereka harus ditingkatkan dan terus didorong agar mereka sendiri bisa memperjuangkan hak-hak pengelolaan atas tanah-tanah mereka dan SDA," katanya di Ambon, Rabu.

Elvira yang juga Koordinator Divisi Pendidikan dan Advokasi Himpunan Maluku Untuk Kemanusiaan (HUMANUM) itu mengatakan dengan meningkatnya kapasitas masyarakat adat, maka mereka akan lebih paham mengenai kebutuhan komunitasnya sendiri, sehingga bisa bersuara atas kebijakan pemerintah terkait pengelolaan tanah-tanah ulayat.

Sebab sejauh ini, menurut dia, pengelolaan tanah-tanah adat oleh pemodal dengan izin negara, tidak pernah melibatkan secara langsung masyarakat adat dalam pengambilan keputusan terkait itu, padahal mereka lah yang akan menanggung semua konsekuensi akibat kesalahan pengelolaan dan perubahan alam.

Dicontohkannya, pembukaan perkebunan kelapa sawit oleh PT. Nusa Ina di wilayah Seram Bagian Utara, Kabupaten Maluku Tengah yang telah memberi dampak terhadap sulitnya komunitas masyarakat adat setempat untuk mengakses air bersih bagi keperluan rumah tangga.

"Mungkin keuntungannya adalah adanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat di sana, tapi bagaimana dengan kebutuhan lainnya, sekarang yang paling menanggung akibat dari itu adalah para perempuan dalam komunitas adat, sulitnya akses mereka terhadap air bersih, perempuan memiliki problem beruntun dengan tidak dibiarkan ikut dalam pengambilan keputusan," katanya.

Elvira mengatakan, peningkatan pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat adat dapat dilakukan dengan mendorong pengorganisasian mereka, khususnya kaum perempuan, sehingga bisa bersama-sama membangun kekuatan dengan para lelaki di dalam komunitasnya untuk menentukan arah kebijakan terkait eksplorasi SDA di wilayah mereka.

"Berdasarkan pengalaman kami bekerja dengan komunitas masyarakat adat, pengorganisasian komunitas berhasil memperkuat pengetahuan dan kapasitas pemimpin perempuan muda potensial, mengorganisasi diri sendiri dan membangun kekuatan bersama," katanya.

Dikatakannya lagi, berdasarkan pengalamannya mengikuti Konferensi Masyarakat Adat Sedunia (United Nations World Conference on Indigenous Peoples - WCIP) yang diselenggarakan oleh PBB di New York - Amerika Serikat, pada 22 - 23 September 2014, masalah yang dihadapi komunitas masyarakat adat Indonesia tak jauh berbeda dengan negara-negara lainnya di dunia.

Di Indonesia, sejarah panjang pendudukan kolonial telah memiskin masyarakat adat, tidak diakuinya hak asasi mereka telah menyebabkan krisis identitas dan marjinalisasi, komunitas adat terus terkebelakang tanpa kepastian, dan sistem kolonialisme itu masih terus dilanggengkan oleh negara.

"Just Associates (JASS) Asia Tenggara dan Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia (FAMM-I) sejauh ini mendukung kami dengan memperkuat pengetahuan dan peningkatan kapasitas pemimpin muda potensial agar bisa menginspirasi masyarakatnya untuk mengorganisasi diri sendiri dan membangun kekuatan bersama," ucapnya.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014