Ambon (Antara Maluku) - PT Gemala Borneo Utama (GBU) tidak beritikad baik dengan menghadirkan perwakilan yang tidak berkompeten di Dengar Keterangan Umum (DKU) Inkuiri Nasional terkait Hak Masyarakat Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan.

"Setelah proses DKU mengenai konflik pertambangan di wilayah masyarakat adat Pulau Romang, Kabupaten Maluku Barat Daya, kami lihat GBU memang tidak beritikad baik karena mewakilkan orang yang tidak berkompeten untuk berbicara mengenai masalah ini," kata Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga di Ambon, Sabtu.

Dia mengatakan, kerusakan hutan adat akibat eksplorasi penambangan emas di Pulau Romang sejak tahun 2008 merupakan masalah serius yang harus dibahas dengan seksama antara masyarakat adat setempat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maluku Barat Daya dan PT GBU agar menemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikannya.

Oleh karena itu, Komnas HAM berupaya untuk mempertemukan ketiga pihak tersebut dalam DKU yang digelar oleh Komnas HAM di Ambon pada 29 - 31 Oktober 2014, tetapi pihak PT GBU tidak menghadirkan perwakilan yang lebih paham dengan proses penambangan yang telah dilakukan, melainkan mewakilkannya kepada seorang wartawan media online di Ambon.

Dalam DKU tersebut, perwakilan PT GBU lebih banyak menjawab tidak tahu ketika ditanya mengenai detail proses penambangan dan sosialisasinya kepada masyarakat, oleh tim Komisioner Inkuiri Nasional, yakni Enny Soeprapto, Saur Tumiur Sitomorang, Hariadi Kartodihardjo dan Sandrayati Moniaga.

"Kita tidak sepenuhnya memvonis ya, tetapi ini kan masalah serius, seharusnya mereka menghadirkan orang yang lebih paham situasinya dari pihak mereka, di daerah lain yang hadir itu manajer bahkan direktur utamanya bukan sembarang orang karena ini menyangkut nama baik perusahaannya juga," ucapnya.

Menurut Sandrayati, tidak adanya itikad baik dari PT GBU untuk menyelesaikan masalah penambangan di Pulau Romang sudah terlihat sejak awal pelaksanaan DKU, pihaknya kesulitan mendapatkan alamat lengkap dan nomor kontak perusahaan tersebut.

"Dari awal memang sudah sulit dihubungi ya, setelah lama dicari teman-teman di Ambon (Kantor Komnas HAM Perwakilan Maluku) baru bisa menemukan nomor telepon PT. GBU sehari sebelum DKU dilaksanakan, itu pun nomornya tidak bisa dihubungi," ucapnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, melihat dari proses DKU yang berjalan timpang, pihaknya akan menyelidiki lebih lanjut kasus di Pulau Romang dan menyurati PT GBU.

"Kami akan membicarakan ini dengan teman-teman di Ambon dan di Jakarta mengenai masalah ini, mungkin setelah itu akan menyurati PT. GBU," ucapnya.

Pulau Romang berada di pesisir pantai Kabupaten Maluku Barat Daya, sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Konflik terjadi ketika PT GBU melakukan penelitian di tiga desa di Pulau Romang, yakni Jerusu, Hila dan Solad pada 2006 yang kemudian diteruskan dengan eksplorasi seizin Pemkab Maluku Barat Daya pada 2008.

Eksplorasi oleh PT GBU dilakukan di atas wilayah adat yang di dalamnya terdapat perkebunan masyarakat adat tanpa seizin dan sepengetahuan mereka, akibatnya terjadi kerusakan pada hutan, situs adat dan sumber obat-obatan tradisional.

Berbagai perjuangan penolakan terhadap penambangan yang dilakukan oleh masyarakat adat di Pulau Romang mengalami jalan buntu, tokoh-tokoh masyarakat yang berada di garis depan perjuangan ditangkap pada 12 Mei 2012 oleh aparat keamanan, penangkapan terus berlanjut, sedikitnya 418 orang warga Desa Jerusu ditangkap pada Juni 2012.

Upaya warga untuk menyurati Pemkab Maluku Barat yang saat ini dipimpin Bupati Barnabas Orno, agar tidak melakukan eksplorasi yang merusak tanah warga juga tidak memperoleh tanggapan yang tepat.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014