Penunjukan Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri berbuah kontroversi politik dan hukum yang mewarnai pemerintahan Jokowi-JK pada bulan pertama 2015.

Kontroversi mencuat ketika dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto menggelar jumpa pers untuk menyatakan Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan menerima hadiah dan janji-janji terkait transaksi-transaksi yang mencurigakan.

Padahal, rapat paripurna DPR RI telah menyetujui pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, setelah sebelumnya Komisi III menyatakan yang bersangkutan lolos uji kepatutan dan kelayakan.

Pengajar Politik dan Pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi mengatakan, melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri setelah DPR menyetujuinya dapat menjaga wibawa pemerintahan Joko Widodo.

"Desakan publik untuk mengganti nama Calon Kapolri harus dilihat sebagai masukan. Namun proses pengajuan nama dan pada akhirnya harus dilantik, ini agar wibawa lembaga kepresidenan tidak terdikte karena proses pengajuan Budi Gunawan sebagai calon kapolri telah berjalan," kata Muradi di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, setelah DPR menyetujui Komjen Budi Gunawan menjadi calon Kapolri sebagaimana yang diusulkan Presiden, maka pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah menerima konsekuensi politik untuk melantiknya menjadi Kapolri definitif.

Sementara langkah KPK menjadikan Budi sebagai tersangka, menurut Muradi, dianggap sebagai preseden politik yang tidak boleh terjadi lagi di masa datang karena tindakan KPK membuat proses tersebut terinterupsi.

"KPK seharusnya bisa melakukan pengumuman tersangka sebelum pengajuan atau saat tengah menjabat, apabila dirasakan figur tersebut tidak bersih," kata Muradi.

Ia menjelaskan, ada empat alasan mengapa Presiden Jokowi harus melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri definitif setelah proses politik telah selesai di DPR.

Pertama, secara politik, Presiden Jokowi telah mengajukan nama Budi Gunawan sebelum diinterupsi dengan penetapan tersangka oleh KPK. Artinya, proses itu coba digagalkan dengan menggunakan pendekatan hukum yang dipolitisasi.

"Walaupun kemudian KPK ingin terus memproses kasus ini, maka dapat dilakukan saat Budi Gunawan telah definitif menjadi Kapolri dengan syarat ada alat bukti yang sahih," ujarnya.

Kedua, Presiden Jokowi harus teguh dalam menentukan pilihan atas kebijakan yang dibuatnya. Artinya, proses pengayaan agar tidak mengajukan nama calon kapolri harusnya dilakukan saat presiden belum mengajukan nama ke DPR.

"Bila presiden tidak meneruskan hasil paripurna DPR, maka akan menjadi preseden bagi Presiden karena dinilai tidak memiliki keajegan pilihan atas kebijakan yang dipilihnya," imbuhnya.

Ketiga, sebagai pemimpin, Presiden Jokowi harus secara kesatria mengambil tanggung jawab atas pilihan-pilihan yang tidak sesuai dengan publik, namun harus siap tidak populer.

Keempat, secara legitimasi politik, pemilihan Budi Gunawan sebagai Kapolri sangat kuat karena diusulkan oleh eksekutif, disokong oleh DPR, Kompolnas serta internal Polri yang solid. Artinya Jokowi tidak ada pilihan untuk tidak melantik dan mendefinitifkan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

"Sedangkan masalah hukumnya bisa dilanjutkan manakala KPK memiliki alat bukti yang memperkuat sangkaan tersebut," jelas Muradi.


Membuat tidak nyaman

Direktur Eksekutif POINT Indonesia Karel Susetyo menyatakan, pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad yang akan menahan calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan dinilai akan menimbulkan ketidaknyamanan Presiden Joko Widodo dan kepolisian secara kelembagaan.

"Kalimat 'akan menahan Budi Gunawan dan melakukan penggeledahan rumah Budi', jelas sebagai sebuah paksaan dan tekanan kepada Presiden agar tidak melantik Budi Gunawan. Situasi ini juga membuat ketidaknyamanan di tubuh Polri, karena apapun Budi Gunawan adalah representasi sah dari institusi penegak hukum tersebut, dimana mereka memiliki 'esprit de corps' yang tinggi," kata Direktur Eksekutif POINT Indonesia Karel Susetyo, di Jakarta, Kamis.

Menurut Karel, bila mencermati perkembangan tahapan pencalonan Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan telah terjadi komunikasi politik yang tidak sehat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Selayaknya Abraham Samad dalam melakukan penegakan hukum tidaklah gegabah dan harus bersikap elegan. Apa yang terlontar dalam beberapa hari ini mengesankan bahwa Abraham Samad sedang "kejar tayang". Tanpa mengindahkan sama sekali dampak politis sebagai akibat dari berbagai pernyataannya itu," ujar Karel.

Ia merasa heran karena tidak biasanya Abraham Samad bertindak seperti itu, bahkan pada kasus Anas Urbaningrum misalnya, Abraham Samad sangat hati-hati dalam mengeluarkan pernyataannya.

Sebelumnya, Abraham Samad menegaskan bahwa penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait transaksi-transaki mencurigakan dengan tersangka calon Kapolri Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan dipercepat.

"Bahwa kita konsentrasi terhadap kasus ini untuk diselesaikan secepat mungkin, supaya tidak menimbulkan pro-kontra dan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat, itu yang jadi konsentrasi kita," katanya.

Abraham juga menegaskan bahwa KPK akan menahan Budi Gunawan.

"Jadi tidak ada tradisi, dan tidak akan pernah terjadi di KPK, seseorang yang sudah jadi tersangka tidak ditahan, sekali lagi saya tegaskan tidak ada tradisi dan tidak pernah diberlakukan di KPK bahwa seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tidak ditahan," ungkap Abraham.

Namun penahanan tersebut dilakukan bila pemberkasan sudah 50 persen.

"SOP (Standard operating procedure) di KPK ketika sudah tersangka Insya Allah, ketika pemberkasannya hampir 50 persen, dia pasti ditahan sehingga teman-temang tidak perlu ada keraguan, kapan BG ditahan," ungkap Abraham.


Anak BG Punya Hotel 6.690 M2

Sementara itu, dari Bogor diberitakan bahwa anak Komjen Budi Gunawan yang bernama M Herviano Widyatama sebagai pemilik Hotel Bella Campa.

"Hotel tersebut memiliki luas 6.690 meter per segi," kata Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPT Pajak Daerah wilaya IV Ciawi, Kamil Syamsudin.

Ada dugaan kuat bahwa Hotel Bella Campa itu milik Komjen Pol Budi Gunawan yang dikelola atas nama M Herviano Widyatama.

Hotel berkapasitas 350 orang tersebut terletak di Jalan Cikopo Selatan, Kampung Tegal Panjang, Desa Gadog, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.

Kepala Desa Gedog, Dedi Junaedi membenarkan kepemilikan hotel Bella Campa atas nama M Herviano Widyatama yang sudah beroperasi sejak 2005.

Ia mengatakan, operasional hotel tersebut dengan sistem sewa, kebanyakan tamu berasal dari sekolah, perusahaan ataupun instansi.

Sejak berita tentang Komjen Pol Budi Gunawan merebak, situasi di sekitar hotel Bella Campa terlihat sepi, dua hari terakhir pagar gerbang hotel tertutup, tidak ada aktivitas.


Diperiksa bulan depan

Kabar paling akhir menyebutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi akan mulai memanggil saksi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait transaksi-transaksi mencurigakan dengan tersangka Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan.

"Kita sedang menysun jadwal penyidikan, mudah-mudahan minggu depan, kalau jadwal sudah ada, sudah ada potensial saksinya yang akan dipanggil," kata Wakil ketua KPK Bambang Widjojanto di Jakarta, Kamis (15/1).

KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus tersebut sejak 12 Januari 2015.

Bambang belum mau menyampaikan siapa saja saksi yang akan dipanggil.

Dalam perkara ini, KPK sudah mencegah empat orang pergi keluar negeri, mereka adalah Budi Gunawan, Muhammad Herviano Widyatama, Iie Tiara (anggota Polri yang menjadi asisten BG), dan pengajar Widyaiswara Utama Sespim Lemdikpol Inspektur Jenderal Pol  Syahtria Sitepu, terhitung sejak 14 Januari 2015.

"Nanti kan diumumin. Kalau sudah rinci itu strateginya penyidik, kita serahkan ke penyidik, mereka punya kemampuan," ungkap Bambang.

Ia meyakini bahwa penyidik akan menjadwalkan pemeriksaan dengan seefisien mungkin.

Ketua KPK Abraham Samad juga menyatakan bahwa kasus tersebut diupayakan agar dapat selesai sebelum masa jabatan pimpinan KPK Jilid III selesai yaitu sebelum Desember 2015.

"Insya Allah, ini masa tugas akhir kita berempat. Kami konsentrasi untuk menyelesaikan kasus sebelum masa kepemimpinan berakhir. Kami khawatir kalau kita tidak selesaikan di masa tugas kita, makanya, insya Allah saat kita berakhir sudah ada putusannya," kata Abraham.

Ia juga juga meminta agar Presiden Joko Widodo membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

"Ada tradisi ketatanegaraan yang dianut presiden sebelumnya, bahwa pejabat negara yang aktif saja sesudah ditetapkan tersangka harus diberhentikan, dan tradisi ketatanegaraan itu patuh dilaksanakan Presiden SBY," kata Abraham.

Contohnya saat Andi Mallarangeng ditetapkan sebagai tersangka korupsi pembangunan proyek Hambalang, ia mundur, selanjutnya saat mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik terpilih sebagai anggota DPR, Jero pun tidak jadi dilantik.

"Begitu juga ketika Suryadharma Ali kita tetapkan tersangka, dia meminta mundur. Ini belum jadi pejabat, karena itu kalau harus mengikuti tradisi ketatanegaraan, maka tidak ada jalan Pak Jokowi harusnya membatalkan. Kalau tidak, berarti Jokowi melanggar tradisi ketatanegaraan," ungkap Abraham.

Budi Gunawan diduga terlibat dalam transaksi-transaksi mencurigakan sejak menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia di Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri.

KPK menyangkakan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan berdasarkan pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.

Bila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Pewarta: Tim Antara

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015