Ambon (Antara Maluku) - Pengamat hukum tata negara IAIN Ambon, DR.Ismael Rumadhan,MH, berpendapat, penilaian "raport merah" terhadap 100 hari kerja Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla karena dipengaruhi kepentingan partai politik (Parpol) pengusung.

"100 hari kerja Jokowi - JK memang tidak mudah karena diawali dilema besar kepentingan dua koalisi saat Pilpres lalu," katanya saat dimintai keterangan di Ambon, Sabtu.

Sayangnya, setelah dilantik pada 20 Oktober 2014 menjadi Presiden RI ke-7 ternyata Jokowi dalam kepemimpinannya masih diboncengi kepentingan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Padahal, setelah KIH dan Koalisi Merah Putih (KMP) rujuk di DPR - RI sebenarnya Jokowi harus bersikap netral dan tegas.

Apalagi, saat Presiden dan Wapres membentuk Kabinet Indonesia Kerja seharusnya komitmen dengan program berpihak kepada rakyat.

"Kepentingan Parpol pengusunglah yang membuat Jokowi terjebak dalam memutuskan kasus Kapolri baru dan Wakil Ketua KPK," ujarnya.

Karena itu, menurut lulusan program S-3 Psikologi Hukum Pidana saatnya Jokowi komitmen dengan program berpihak kepada rakyat sebagaimana ditunjuk dengan menurunkan harga BBM hingga dua kali.

"Jujur keputusan menurunkan BBM itu disambut positif rakyat karena menilai Jokowi cepat melakukan perubahan sehingga tetap dinilai komitmen," katanya.

Purek II IAIN Ambon itu juga mengapresiasi komunikasi politik yang dijalin Jokowi dan Prabowo Subianto dan mantan Presiden B.J. Habibie.

"Langkah yang strategis mengingat Prabowo adalah poros penggerak KMP dan B.J. Habibie merupakan mantan Presiden dengan pola pikir brilian," ujarnya.

Terobosan komunikasi Jokowi dengan Prabowo dan B.J. Habibie menunjukkan langkah strategis bagi mantan Gubernur DKI Jakarta itu keluar dari bayang - bayang Ketua Umum DPP PDIP, Megawati Soekarnoputri.

"Jokowi jangan ragu untuk keluar dari bayang - bayang Megawati dan pimpinan Parpol pengusung lainnya karena bila program strategis, maka rakyat pasti mendukungnya untuk mewujudkan cita - cita Proklamasi, "tegas Ismael.

Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan pemerintahan Jokowi-JK tidak mengenal sistem seratus hari. Menurut dia, program seratus hari merupakan persepsi publik yang lebih berorientasi pada sistem di Amerika Serikat.

"Pemerintah tidak kenal 100 hari, tapi quick win. Masing-masing lembaga ada quick win yang beda-beda," ujarnya.

Menurut Andi, masing-masing kementerian diberi target berbeda. Misalnya, kata Andi, ihwal penataan izin, kementerian diberi waktu enam bulan. Ihwal pengadaan pupuk dan benih malah sudah selesai pada awal Desember 2014.

"Pemerintahan Jokowi-JK tak pakai seratus hari sebagai indikator soal evaluasi kerja," tandasnya.

Sebelumnya, juru bicara Koalisi Merah Putih, Nurul Arifin, menyatakan, dalam seratus hari pertama, Presiden Jokowi belum berhasil mewujudkan pemerintahan yang kuat.

Menurut Nurul, tantangan terbesar yang menghambat kerja Jokowi sejak dilantik pada 20 Oktober 2014 justru berasal dari partai-partai pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta itu pada pemilihan Presiden lalu.

Intervensi terhadap pemerintahan Jokowi, menurut Nurul, tak hanya berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, tapi juga partai pendukung Jokowi lain, yakni NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, Hati Nurani Rakyat, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Pewarta: Alex Sariwating

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015