Konflik sosial yang meluluhlantakkan Ambon dan Maluku pada 1999, memang sudah lama berakhir. Penyelesaian konflik multi dimensi yang menyebabkan trauma mendalam itu, tentu tidak terlepas dari campur tangan negara, mulai dari level menteri hingga berbagai elemen, termasuk tumbuhnya kesadaran warga untuk menghentikan pertikaian.

Di antara sejumlah pejabat negara, mungkin H Muhammad Jusuf Kalla yang untuk kedua kalinya menduduki kursi Wakil Presiden, yang tidak bisa dilupakan perannya dalam menghentikan aksi "saling bunuh" antarwarga tersebut.

Bahkan orang nomor dua di Republik ini masih mengingat dengan persis detail kisahnya dalam menghentikan konflik yang berdampak menghilangkan rasa persaudaraan antarsesama anak Maluku tersebut.

Saat berkunjung ke Ambon untuk membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) pada 26 Februari 2015, Wapres Jusuf Kalla kembali menceritakan kisahnya "bolak-balik" untuk meredam dan menghentikan pertikaian tersebut.

Salah satu kisah menarik yang kembali diceritakan Wapres JK kepada 22 Gubernur dan sejumlah pejabat dari 34 provinsi yang menghadiri Rakernas APPSI tersebut adalah kisah "bantal" yang membuatnya susah tidur saat berada di Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.

"Saya berterima kasih karena sejak 14 tahun lalu saya bisa kembali ke Ambon dan bermalam di kediaman Gubernur Maluku. Dulu tempat tidur saya masih paviliun dan belum menyatu dengan pendopo," ujar Wapres JK yang akrab disapa masyarakat dengan panggilan Daeng Ucu itu memulai kisahnya.

Saat ditugasi menyelesaikan konflik, dirinya datang ke Ambon setiap tiga hari dan bermalam di Kota Ambon.

"Pengalaman yang ingin saya ceritakan waktu tiap minggu tidur di sini. Malam hari saya tidak bisa tidur karena bantalnya keras," tutur Wapres yang akan berusia 73 tahun pada 15 Mei 2015 dan disambut gelak tawa para Gubernur dan peserta Rakernas lainnya.

Setelah pulang dari Ambon, JK kemudian menceritakan pengalaman susah tidur karena bantal keras tersebut kepada istrinya Ny. Mufidah Jusuf Kalla.

"Jadi karena bantalnya keras saya bilang istri saya, waduh kalau di Ambon itu saya tidak bisa tidur karena bantalnya keras. Akhirnya istri saya titip bantal di koper saat hendak kembali ke Ambon," ujarnya.

Alih-alih senang karena membawa bantal empuk, ternyata setelah bermalam di pendopo Gubernur, bantalnya telah diganti.

"Akhirnya bantal yang dititipkan istri saya di dalam koper tidak jadi dipakai, karena Gubernur telah membeli bantal baru," ujar mantan Ketua Umum Partai Golkar tersebut sambil tertawa bersama para peserta Rakernas.


Tiga Jalur

Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) tersebut juga menceritakan kisah lain, saat berkutat menyelesaikan konflik yakni harus ke pusat Kota Ambon dari Bandara Internasional Pattimura di Negeri Laha dengan melewati tiga jalur.

"Kalau ada yang ikut saya pada 14 tahun lalu pasti akan ketawa. Datang pertama kali saya ke pusat kota lewat jalan darat walau pun tentu dikawal dengan kendaraan panser," ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Dewan Masjid Indonesia periode 2012-2017 dalam mengenang kisah uniknya tersebut.

Saat datang kedua kalinya di Ambon, ternyata dari Bandara Pattimura sudah disiapkan "speedboat" untuk menyeberang ke pusat kota.

"Saya tanya kenapa begitu? dan dijawab karena jalan-jalan sudah ditutup dan penuh dengan batang kayu. Datang ketiga disiapkan helikopter. Saya tanya kenapa helikopter? jawabannya "speedboat" yang dipakai sebelumnya sudah dibakar," ujar kakek 10 cucu ini sambil tertawa.

Suami dari Hj. Mufidah Miad Saad ini mengaku tidak menyangka situasi konflik Ambon begitu rumit dan dirinya terpaksa harus menggunakan tiga jenis angkutan untuk sampai di kediaman Gubernur yang jaraknya tidak terlalu jauh dari bandara.

"Tapi itulah Maluku pada 14 tahun lalu dan ini menjadi pelajaran sangat berharga bagi kita semua tentang apa yang terjadi," tandasnya.


Ketidakadilan

Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan konflik serta pemberontakan yang terjadi di tanah air, termasuk Ambon dan Posso, Sulawesi Tengah, bersumber dari ketidakadilan dan ketidakharmonisan.

"Kerusuhan di Poso dan Ambon beberapa tahun yang lalu banyak yang mengira karena soal agama. Padahal tidak. Penyebabnya masyarakat mengalami suatu ketidakadilan," kata Jusuf Kalla yang dilantik sebagai Wapres untuk kedua kalinya pada 20 Oktober 2014 mendampingi Joko Widodo sebagai Presiden.

"Karena itu seluruh kepala daerah harus mampu menciptakan keduanya (keadilan dan keharmonisan) jika ingin wilayahnya maju dan sejahtera," katanya.

Menurutnya, sejak Indonesia merdeka tercatat ada 15 pembrontakan besar dan dari pemberontakan tersebut sebanyak 10 diantaranya diakibatkan ketidakadilan antarwilayah politik dan sosial.

Dari pengalaman menengahi konflik, kata Daeng Ucu, sebagian besar dipicu oleh masyarakat yang merasakan ketidakadilan oleh suatu pemerintahan daerah.

"Kalau konflik itu dipicu oleh agama itu munculnya belakangan. Tapi mulanya adalah ketidakadilan dan ketidakharmonisan," kata Wapres.

Dahulu, kata Kalla, di Ambon dan Poso kalau gubernurnya Islam maka wakilnya Kristen, demikian juga sebailknya. Tapi kondisi tersebut berubah saat pemilu dilakukan secara demokratis sehingga menimbulkan ketidaksiapan di kalangan masyarakat.

Ia mengatakan konflik politik akan lebih mudah diselesaikan, namun yang paling sulit adalah menyelesaikan konflik agama, di mana masyarakat sudah dididik menjual beli surga.

"Sehingga saat itu di Ambon dan Poso membunuh dan dibunuh masuk surga. Orang tidak takut mati. Membunuh tersenyum dan yang dibunuh juga tersenyum," kata Wapres.

Di depan para gubernur, Kalla mengingatkan agar sebagai pimpinan di daerahnya harus memperhatikan kemajuan, keadilan dan keharmonisan.

Kalau suatu daerah alami kesulitan maka gubernur juga harus ikut merasakan sulit, jangan justru hidup berlebihan di tengah masyarakat yang sulit.

  "Memang tak mudah mengatur masyarakat yang begitu luas di Indonesia, sehingga perlu meningkatkan koordinasi antara pusat dan daerah," kata ujar Jusuf Kalla mengakhiri ceritanya.    

Pewarta: Jimmy Ayal

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015