Gubernur Maluku Said Assagaff pun tertawa demi mendapati pemberitaan yang menyatakan masyarakat di daerah berjuluk "provinsi seribu pulau" itu adalah orang-orang paling bahagia di seluruh Indonesia.

Paling tidak, ia menyebut hasil survei yang dipublikasikan ke media massa oleh Badan Pusat Statistik Maluku itu sebagai "Lucu".

Rasa geli itu terbersit di hati maupun benak sang gubernur, karena pada sisi lain hasil survei BPS juga menyatakan Maluku masih berada di lima besar provinsi termiskin di Tanah Air.

"Orang miskin kok bahagia," begitu kira-kira cetusan sinis Said Assagaff dalam menanggapi publikasi BPS yang dinilainya kontroversial itu.

Untuk ukuran termiskin, Maluku sebelum muncul Provinsi Sulawesi Barat, Papua Barat dan Kalimantan Utara berada di urutan ke-3. Namun kini bergeser satu tingkat ke urutan ke-4, mungkin setelah Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara atau NTT.

Predikat termiskin itu membuat pemerintah dan para wakil rakyat daerah ini berjuang keras untuk mendapatkan perhatian lebih besar dari pemerintah pusat untuk masalah Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.

Perjuangan itu diagendakan dalam tiga tuntutan besar, yakni pengakuan pemerintah pusat akan tujuh provinsi kepulauan di Tanah Air termasuk Maluku di dalamnya, pengakuan terhadap perairan laut Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional, dan pengakuan terhadap hak kepesertaan pemerintah dan rakyat Maluku dalam pengelolaan kandungan minyak dan gas bumi di Blok Masela.

Ketiga agenda besar itu diyakini betul dapat mendongkrak tingkat perekonomian masyarakat Maluku yang berjumlah sekira 1,5 juta jiwa, yang tersebar di sembilan kabupaten dan dua kota.

Kabar yang dibawa oleh anggota DPR RI asal Maluku Mercy Christy Barends menyatakan bahwa hal ihwal provinsi kepulauan telah diakomodir di dalam UU tentang Pemerintahan Daerah yang baru.

Semua hal yang dituntut masyarakat tujuh provinsi dalam RUU Provinsi Kepulauan, terutama masalah DAU dan DAK yang harus memperhitungkan luas daratan dan lautan, konon akan diabsahkan dalam UU baru tersebut, tetapi entah kapan itu akan diundangkan.

Sementara masalah Lumbung Ikan Nasional, yang sudah ditargetkan pada tahun 2010 semasa Gubernur Karel Albert Ralahalu tetapi ditolak oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, masih tidak ketahuan parannya.

Menurut Said Assagaff, status Lumbung Ikan Nasional itu butuh pengakuan lewat Keppres yang harus ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

Perjuangan keras yang tak kalah menarik untuk disimak adalah menyangkut PI (Participating Interest) sebesar 10 persen dalam saham pengelolaan migas Blok Masela, yang hak utamanya dipegang oleh perusahaan Jepang INPEX Masela.

Anggota DPRD Maluku dari Fraksi Demokrat Melkias Frans, seperti diberitakan salah satu media online, tidak kurang sempat mengajak para wakil rakyat daerah ini untuk menduduki Bandara Internasional Pattimura, menjelang kedatangan Wapres Jusuf Kalla terkait penyelenggaraan seminar Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia yang digelar di hotel The Natsepa, Ambon, belum lama ini.

Untung saja niatan itu tidak terlaksana.

Dalam pandangan Melkias, perjuangan rakyat Maluku untuk mendapatkan hak hidup lebih layak sudah terlalu lama "didiamkan" oleh pemerintah pusat, dan oleh karena itu harus ada aksi yang dapat membuat para petinggi di Jakarta "menolehkan wajah mereka ke daerah ini".

Sebelum itu terjadi, masyarakat Maluku tampaknya harus memanjangkan rasa sabar.


Subjektif

Kembali ke masalah kebingungan dan sekaligus kegelian Gubernur Said Assagaff dalam memaknai klaim bahwa masyarakatnya adalah orang-orang paling bahagia di Indonesia, ternyata ada jawaban yang sangat ringan keluar dari lembaga pelaksana surveinya.

Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Diah Utami menyatakan bahwa indeks kebahagiaan setiap individu masyarakat di Provinsi Maluku tahun 2014 yang sebesar 72,12 pada skala 0-100 adalah subjektif.

"Jadi sudah subjektif karena perhitungannya kita tanyakan langsung kepada responden," katanya saat dikonfirmasi oleh Antara di Ambon, Senin (2/3).

Sedangkan tingkat kemiskinan di Maluku yang menempati peringkat ke empat secara nasional, kata dia, dilakukan secara objektif dan dengan menggunakan ukuran tertentu.

Menurut Diah, indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial, dan di Maluku baru untuk pertama kali dilakukan analisa statistiknya.

Ke-10 aspek tersebut merefleksikan tingkat kebahagian yang meliputi kepuasan terhadap kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan dan kondisi keamanan.

Diah juga menyatakan, kemajuan pembangunan yang selama ini lebih banyak dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan dinilai belum cukup menggambarkan tingkat kesejahteraan yang sesungguhnya.

Indikator ekonomi umumnya diukur secara objektif dengan pendekatan berbasis uang (monetary-based indicators). Namun tingkat kesejahteraan masyarakat dapat diukur dengan dua cara, baik objektif maupun subjektif.

"Jadi kalau tidak sesuai dengan data tingkat kemiskinan Maluku yang menempati urutan empat bisa saja terjadi, karena indeks kebahagiaan yang dikeluarkan merupakan hasil dari pengukuran secara subjektif," kata Diah.

Ditambahkannya, rumah, aset dan pendapatan adalah tingkat kebahagiaan terendah dari 10 komponen yang menjadi ukuran.

"Yang membuat indeks kebahagiaan Maluku itu tinggi adalah keharmonisan rumah tangga, keamanan dan lingkungan," katanya.


Seharusnya objektif

Gubernur bertanya dan Kepala BPS sudah menjawab. Tinggal sekarang ukuran yang dipakai seharusnya yang objektif dan menggunakan indikator ekonomi.

Maluku merupakan provinsi kepulauan yang wilayahnya 93 persen lautan, sisanya daratan berupa pulau besar dan kecil. Kondisi tersebut menimbulkan risiko biaya transportasi mahal yang juga berimplikasi pada tingginya harga kebutuhan pokok dan lainnya.

Mendagri Kabinet Indonesia Bersatu Gamawan Fauzi dalam lawatannya ke Maluku tahun lalu mengakui karakter Maluku yang berpulau-pulau menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan karena itu pemerintah dan rakyat (DPRD) setempat harus berjuang untuk memasukkan unsur perairan dalam penghitungan DAU dan DAK, selain pembangunan infrastruktur yang dapat memperpendek jarak tempuh daerah-daerahnya.

Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku sekarang, penghitungan untuk alokasi dana-dana pembangunan itu hanya memperhitungkan luas daratan dan jumlah penduduk, sehingga tidak heran Maluku hanya kebagian sedikit sehingga tertinggal dari suadara-saudaranya di belahan tengah dan barat Indonesia.

Bila unsur luas wilayah lautan, seperti kata Mercy Christy Barends, betul-betul diakomodasi dalam peraturan perundangan yang baru, maka dapat dipastikan jatah Maluku akan meningkat cukup signifikan.

Tetapi yang lebih menjanjikan, barangkali, adalah pemberian hak participating interest pengelolaan migas blok Masela yang bernilai triliunan rupiah.

Susilo Bambang Yudhoyono, di sela acara peresmian Patung Pahlawan Nasional Johannes Leimnena di kawasan Poka, Kota Ambon, bahkan menyatakan Maluku bisa mendapatkan Rp40 triliun dari 10 persen investasi di Blok Masela.

Menurut perhitungan INPEX Masela, total investasi pengelolaan kandungan migas di wilayah Maluku Tenggara Barat itu sekira Rp140 triliun.

Untuk urusan investasi, Melkias Frans menegaskan sudah ada investor yang siap menyuntikkan dana agar Maluku lewat satu BUMD-nya mendapatkan hak tersebut.

Pewarta: John Nikita Sahusilawane

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015