Bagi anak buah kapal (ABK), seperti Jani Satule dan Edwin, waktu adalah uang. Makin cepat waktu berlalu dan pekerjaan demi pekerjaan terselesaikan, makin banyak lembaran rupiah yang mereka dapatkan.

Apa lacur, kali ini keduanya harus menunggu selesainya pemeriksaan dokumen ratusan ton ikan yang diangkut kapal tempat mereka bekerja, yakni KM Pulau Nunukan yang dipaksa lego jangkar di perairan dekat pelabuhan Kota Tual.

Penantian itu sendiri bisa berbulan-bulan mengingat perkaranya kemungkinan harus sampai pada putusan hakim Pengadilan Perikanan Kota Tual. Sebagai perbandingan, Kapal MV Hai Fa yang ditangkap pada akhir Desember 2014 baru disidangkan di Pengadilan Negeri Ambon pada bulan Maret 2015.

Kapal Motor Pulau Nunukan, kapal kargo eks Tiongkok berbobot mati 9.200 ton, awalnya ditahan aparat TNI dari Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Aru saat hendak bertolak dari Pelabuhan Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, pada tanggal 20 Maret lalu.

Perintah penahanan diajukan oleh Pos Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Benjina, unit kerja di bawah Stasiun PSDKP Tual Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

Pasalnya, kapal tersebut mengangkut ikan sebanyak 660 ton yang dimasukkan dalam 24 peti kemas, sementara kebijakan moratorium masih diberlakukan.

Lewat koordinasi dengan Direktorat Jenderal PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, KM Pulau Nunukan dengan Kapten Joni Sulle itu dievakuasi ke Kota Tual, kemudian diserahkan penyelidikannya kepada Lanal setempat.

Direktur Pengawas Sumber Daya Perikanan Sere Alina Tampubolon usai meninjau kapal tersebut, Senin (23/3), mengatakan bahwa penyelidikan diperlukan guna mengetahui apakah ikan yang diangkut merupakan hasil tangkapan sebelum moratorium diberlakukan atau sesudahnya.

"Kalau sebelum, itu berarti ikan-ikan itu sah kepunyaan si pemesan atau pemiliknya. Akan tetapi, kalau sesudah moratorium diberlakukan, ikan-ikan itu bukan milik mereka dan harus diserahkan ke Negara," katanya.

Menurut Joni Sulle, pihaknya sama sekali tidak mengetahui hal ihwal moratorium. Dia juga ingin masalah ini cepat selesai agar kapalnya bisa meneruskan perjalanan.

"Kami sudah tertahan tiga hari. Kalau memang ikan-ikan ini bermasalah, turunkan saja di sini. Kami kan cuma membawa," katanya.

Kendati demikian, harapan sang kapten tidak bisa dikabulkan begitu saja. Selain penyelidikan baru akan dimulai, dia termasuk orang yang akan sangat diperlukan keterangannya oleh para penyidik.

Komandan Lanal Tual Kolonel Laut Hari Wijayanto mengaku pihaknya baru menerima kapal tersebut dari Lanal Aru. Penyelidikan baru pada tahap paling awal.

"Saya sendiri belum sempat membaca berkas-berkas yang sudah diserahkan," katanya dalam perbincangan dengan Sere Alina di atas kapal PSDKP Tual sebelum melakukan peninjauan ke atas KM Pulau Nunukan.


Akal Bulus

Saat berbincang dengan Sere Alina dalam ruang kemudi di lantai 7, Joni Sulle menjelaskan bahwa muatan ikan di kapalnya itu merupakan barang yang dikargokan oleh perusahaan Pusaka Benjina Resource, menggunakan 24 peti kemas milik PT Rahayu.

Semua peti kemas berisi ikan itu sudah dalam keadaan disegel dan, menurut Joni, sudah mendapat izin dari Bea Cukai.

Karena dalam keadaan disegel, Lanal Tual pun belum berani untuk membuka peti kemas tersebut. Sesuai dengan prosedur hukum, harus ada izin dari pihak yang berwenang (kejaksaan/pengadilan).

Dalam pandangan Sere Alina, pengapalan ikan dalam peti kemas menggunakan kapal kargo umum ini bisa jadi merupakan akal-akalan pengusaha nakal agar lolos dari jerat moratorium.

"Ini cerdik sekali. Mereka ini menggunakan ahli-ahli hukum untuk melihat kelemahan UU Perikanan," katanya.

Dalam undang-undang tersebut, kata dia, kapal kargo umum memang tidak masuk kelompok kapal ikan, yang tidak diperkenankan beroperasi maupun berlayar selama moratorium belum dicabut.

Ia juga menduga kuat pengiriman ikan dengan kapal kargo umum itu merupakan modus baru para "penjahat dunia perikanan di Tanah Air".

"Kalau lolos (cara ini berhasil), akan diikuti oleh pengusaha-pengusaha ikan lainnya," katanya.

Pendapat Sere Alina itu dikuatkan oleh Kepala Stasiun PSDKP Tual Mukhtar A.Pi. Untuk menahan KM Pulau Nunukan agar tidak berlayar, kata dia, pihaknya menggunakan surat edaran yang dikeluarkan Inspektorat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang salah satunya memuat ketentuan tentang karantina ikan selama moratorium.

"Kalau mau jujur, jangan dibawa keluar dahululah sampai moratorium dicabut. Kan bisa dilepas (dijual) ke pasar lokal," katanya.

Dugaan kuat bahwa penggunaan kapal kargo umum itu untuk menghindari moratorium terindikasi dari beberapa hal, di antaranya KM Pulau Nunukan memang "ngepos" di Surabaya, Jawa Timur, salah satu pintu ekspor sumber daya perikanan.

Indikasi kuat lainnya, saat ini di sebuah pelabuhan laut Kota Tual terdapat sebanyak 44 peti kemas berwarna putih, sama dengan warna 24 peti kemas di atas KM Pulau Nunukan yang akan diselidiki keabsahan dokumen-dokumennya.

Di pelabuhan itu pun terdapat sedikitnya 60 kapal ikan yang lego jangkar, tidak bisa beroperasi selama moratorium berlangsung.

Selain masalah klasifikasi kapal ikan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga menerapkan hukuman serta denda yang ringan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak kurang "mencak-mencak" demi mengetahui tuntutan maksimal yang bisa ditimpakan kepada nakhoda MV Hai Fa hanyalah denda Rp200 juta subsider kurungan enam bulan penjara, padahal perkara yang digugat adalah pencurian ikan senilai Rp70 miliar.


Bingung

Menteri Susi boleh bingung dan marah-marah. Akan tetapi, moratorium yang membelenggu kaki para pengusaha ikan sangat mungkin tidak dimengerti oleh para ABK, seperti Jani dan Edwin.

Bersama dengan 17 ABK lain, juga Mualim I Muhammad Zen dan Kapten Joni Sulle, mereka mulai resah, bingung, dan bosan karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan.

"Kalau boleh memilih, saya ingin turun (dari kapal). Soal gaji, yah, terserah yang memberi pekerjaan," kata Jani saat ditemui di bagian sisi kanan kapal, dekat buritan.

"Saya juga, daripada bingung, tidak tahu mau kerja apa," kata Edwin menyambung ucapan rekannya itu.

Tampaknya Jani dan Edwin mulai tidak tahan karena tidak ada informasi sedikit pun soal kapan kapal diperbolehkan angkat sauh.

Danlanal Tual Hari Wijayanto pun tidak bisa memastikan sampai kapan penahanan KM Pulau Nunukan akan berlangsung.

"Kalau kapal ikan biasa, yang sudah pernah kami tangani, paling 3-4 hari berkas sudah P-21 dan diserahkan ke kejaksaan," katanya.

Akan tetapi, kata dia, KM Pulau Nunukan ini baru pertama kali ditangani pihaknya. Kalau bisa cepat, ya, bagus karena langsung diserahkan ke kejaksaan dan terus ke pengadilan perikanan.

Bagi Jani, Edwin dan ABK lain, cepatnya penanganan kasus ini tentu sangat didambakan agar kapal kembali bisa berlayar, mendapatkan penghasilan, lalu turun ke darat menemui anak, istri, kerabat, dan handai tolan.

Bagi Menteri Susi, jangan terburu-buru minta berhenti sebelum masalah perikanan dan kekayaan maritim negeri ini dapat ditata secara baik dan memberi hasil optimal demi kesejahteraan rakyat.

Pewarta: John Nikita Sahusilawane

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015