Rasa peduli dan empati terhadap nasib para karyawan kontrak yang ditunjukkan Yeheskel Haurisa (40) selaku Korwil Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) Provinsi Maluku selama ini cukup serius.

Sejak berdiri bulan Mei 2005 silam, Konfederasi SBSI Maluku saat ini sudah memiliki 17.000 lebih anggota dengan 11 federasi yang berada pada 169 tingkat perusahaan. Mereka berlindung pada federasi umum konstruksi dan informal.

Berbagai mediasi telah dilakukan baik melalui para wakil rakyat di DPRD provinsi, pemerintah daerah dan pengusaha untuk memperjuangkan hak-hak karyawan yang menurut mereka telah "dikebiri" secara sepihak oleh perusahaan tempat mereka bekerja.

Yeheskel menilai, di mata pengusaha atau pemilik perusahaan, kedudukan karyawan itu sangat lemah dan kondisi ini diperparah lagi dengan minimnya pengetahuan mereka tentang regulasi mengenai ketenagakerjaan yang ada.

Akibatnya, para pemilik dan manajemen perusahaan bisa mengeluarkan berbagai kebijakan yang merugikan karyawan, dan kalau melakukan perlawanan maka resikonya akan sangat berat bagi mereka. Pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak pasti menanti.

Ia mencontohkan kasus puluhan karyawan CV. Surya Gemini yang melakukan protes dan menuntut hak-haknya dipenuhi oleh pihak perusahaan, berujung pada pemecatan. Sebanyak sepuluh karyawan harus kehilangan pekerjaannya karena protes tersebut.

"Fakta ini membuktikan kalau posisi karyawan di mata pengusaha itu lemah. Kondisi seperti ini tentu saja sangat memprihatinkan kita semua yang peduli terhadap nasib buruh," ujar Yeheskel.

Dikatakannya, setiap tahunnya pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan baru mengenai penetapan standar upah minimum provinsi (UMP) agar dijadikan dasar bagi perusahaan di semua sektor usaha memberi gaji karyawannya.

Contohnya, standar upah untuk sektor jasa umum seperti puluhan karyawan CV. SG ini harusnya digaji sebesar Rp1.735.000 per orang setiap bulan sejak awal 2015. Tetapi pada praktiknya mereka hanya dibayar sebesar Rp1,6 juta per bulan sehingga terjadi aksi protes yang berbuntut pemecatan itu.

Dengan gaji yang besarannya kurang dari UMP itu, karyawan terpaksa harus berjuang menghidupi istri dan anak di tengah tingkat kemahalan yang begitu tinggi.

Selain kebutuhan pokok berupa sandang (pakaian), pangan, dan papan (rumah tinggal), seorang karyawan juga harus memikirkan kebutuhan sekunder lainnya bagi keluarganya seperti masalah pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan tak terduga lainnya.

"Dengan standar UMP yang masih rendah itu, tentu tidak rasional dan jauh dari kata `sejahtera`," kata Yeheskel yang bertekad akan terus memperjuangkan kesejahteraan para buruh di Maluku.


Lapor Polda

Kasus lainnya yang terjadi di Maluku, kata Yeheskel, seperti dugaan pemalsuan tanda tangan dan manipulasi masa kerja ratusan anak buah kapal (ABK) yang terkena imbas moratorium Menteri Kelautan dan Perikanan RI oleh PT. Tamina Cs di daerah ini.

"Ada indikasi tindakan pihak perusahaan perikanan tersebut melakukan perbuatan pidana yang sangat merugikan para ABK sehingga kami akan membuat laporan resmi ke Polda Maluku," katanya.

Karena aturannya sebelum naik ke atas kapal, setiap ABK harus menandatangani kontrak perjanjian kerja laut dan setiap tahunnya dibuat kontrak baru, tetapi selama ini mereka hanya satu kali melakukan tandatangan.

Oleh kartena itulah, dalam kasus tersebut ada indikasi tindak pidana yang dilakukan pihak perusahaan terhadap buku pelaut milik ratusan ABK dengan cara memalsukan tanda tangan mereka dan memanipulasi masa kerja para ABK yang bekerja di perusahaan itu.

"Makanya saat berlaku moratorium Menteri Kelautan dan Perikanan, ratusan ABK yang diputuskan hubungan kerjanya dengan perusahaan mendapat pembayaran pesangon yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku," katanya.

Akibatnya saat proses pembayaran pesangon berlangsung di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan transmigrasi Provinsi Maluku, tidak semua ABK mendapat bayaran dan ada yang tertunda sampai saat ini.

Permasalahan lainnya terkait kebijakan moratorium adalah sekitar enam sampai tujuh ABK tidak mendapatkan pembayaran pesangon dari perusahaan.

Alasannya, kata Yeheskel, ada yang sakit dan menjalani operasi mata maupun meminta cuti karena urusan menikah, namun perusahaan tidak bersedia membayarkan hak-hak mereka.

Terkait persoalan tersebut, SBSI juga telah mencoba melakukan mediasi dengan pihak perusahaan tetapi tidak dipedulikan dengan alasan tidak ada pemalsuan tanda tangan ABK untuk kontrak kerja dalam buku pelaut.

Kemudian antara enam sampai tujuh ABK lainnya tidak dibayar karena mereka tidak bekerja saat Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan kebijakan moratorium.

Jika kondisi seperti ini masih terus berlangsung, tentu nasib para buruh di Maluku khususnya akan semakin merana, karena diliputi ketidakpastian.

Nampaknya, Yeheskel dan para aktivis buruh lainnya harus terus berjuang lebih lama lagi agar kesejahteraan para buruh di wilayah itu bisa berubah, setidaknya sampai pihak perusahaan menyadari betapa pentingnya hubungan manajemen dengan pekerja dibangun dengan baik.

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015