Di era keterbukaan informasi, guru dihadapkan pada dilema dalam mendidik anak muridnya, terutama terkait pembinaan mental dan perilaku. Guru dihadapkan pada dilema bersikap, antara tegas dan demokratis.

Dilema batin yang dihadapi guru itu karena tindakan yang dipilihnya bisa membawa dirinya ke masalah hukum. Beberapa orang tua melaporkan tindakan guru terhadap murid ke kepolisian dan kemudian mengalihkan "tindakan mendidik" yang bernilai mulia menjadi "tindakan kriminal".

Beberapa kasus itu menjadikan guru memilih sikap apatis terhadap tindakan anak muridnya yang melanggar etika dan kepatutan sebagai seorang anak didik.

Meskipun demikian, jiwa guru tidak bisa dibohongi. Para guru tidak serta merta menjadi guru tanpa proses pendidikan akademik. Pendidikan akademik menegaskan dan biasanya sudah mengakar dalam jiwa seorang pendidik bahwa tugas itu sangat menentukan perkembangan jiwa raga anak didiknya.

Karena itu, pilihan apatis sebagai bentuk protes guru terhadap sikap orang tua yang membawa kasus mendidik ke kasus hukum  biasanya hanya bersifat sementara. Guru tidak bisa sepenuhnya nyaman hanya bekerja sebagai pengajar dan terus membunuh total jiwa mendidiknya.

Ketika melihat seorang murid melanggar etika dan kesopanan, guru tetap memberi perhatian, setidaknya menegur murid tersebut agar mengubah sikap.

Presiden Prabowo Subianto, pada puncak peringatan Hari Guru Nasional 2025 di Jakarta, Jumat (28/11/2025) mengingatkan guru untuk bersikap tegas dalam menghadapi murid di sekolah yang berperilaku kurang ajar, sekalipun murid itu merupakan anak dari seorang jenderal.

Presiden Prabowo menyebut sikap tegas tersebut penting untuk menjaga wibawa guru dalam membentuk karakter peserta didik. Di sisi lain, jika murid nakal itu dibiarkan terus nakal, justru akan merugikan si murid yang tidak bisa menjadi orang baik.

Pernyataan  Prabowo ini tentu membawa angin segar bagi guru dan dunia pendidikan pada umumnya. Guru memiliki pegangan moral untuk membimbing anak muridnya secara penuh, khususnya terkait pembinaan mental dan perilaku.

Meskipun penyebab kasusnya berbeda dengan sikap guru terhadap murid, sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan kepedulian dan komitmennya dalam membela martabat guru, dengan merehabilitasi dua guru ASN dari Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yang dipecat dan divonis penjara 1 tahun oleh Mahkamah Agung.

Dukungan moral dari Presiden Prabowo bagi guru untuk bersikap tegas itu tetap harus dijalankan berdasarkan pegangan nilai baik, bukan berdasarkan ego. Pilihan sikap tegas itu harus dilandasi dengan motif untuk mendidik anak muridnya, bukan sekadar karena marah.

Pernyataan Presiden Prabowo pada puncak peringatan Hari Guru Nasional 2025 itu bukan sekadar angin segar bagi para guru. Pernyataan itu sekaligus menjadi momentum untuk saling mengevaluasi diri bagi semua insan pendidikan.

Kita menyadari bahwa guru bukanlah segalanya yang tidak pernah lepas dari salah. Karena itu, sudah sewajarnya jika guru juga melakukan evaluasi diri atau introspeksi.

Seorang guru di sekolah menengah atas (SMA), yang tugas utamanya banyak bersinggungan dengan pembinaan mental dan karakter murid, bercerita bagaimana dirinya hampir tidak pernah menemui masalah ketika beberapa kali harus menunjukkan sikap tegas terhadap murid-muridnya, seperti marah dan lainnya.

Sebagai bahan evaluasi, seringkali guru yang bersikap tegas itu kurang jeli memanfaatkan momentum marah tersebut. Padahal, seorang guru yang menunjukkan kedekatan jiwa dengan anak muridnya justru diberi keleluasaan bersikap oleh orang tua si murid untuk mendidik anaknya, sesuai kebijakan si guru.

Pilihan sikap marah si guru menjadi masalah ketika tindakan itu terasa seperti tiba-tiba atau ujug-ujug.

Ketika si guru sering berinteraksi dengan murid, termasuk dengan orang tua si murid, sikap tegasnya dalam menegur hampir dipastikan tidak akan menimbulkan masalah. Meskipun demikian, tindakan kasar, apalagi bersifat fisik, tetap berpotensi menjadi masalah, sehingga harus dihindari oleh guru.

Di sinilah pengorbanan guru dituntut lahir batin untuk mendidik anak-anak bangsa ini agar memiliki karakter yang berakhlak mulia dan tangguh.

Seorang guru yang hampir tidak memiliki masalah dengan murid dan orang tua murid itu tidak jarang harus mengeluarkan dana pribadi, dengan mengajak muridnya makan atau minum di kantin. Dengan cara seperti itu, maka terbangun kedekatan guru dengan murid.

Bagi orang tua dan murid, pernyataan Presiden Prabowo Subianto ini harus menjadi bahan evaluasi untuk tidak mudah mempersoalkan sikap tegas guru ke ranah hukum.

Alasan sayang pada anak dengan melaporkan ke polisi terkait tindakan pendidikan oleh seorang guru kepada murid, justru menjerumuskan si anak kepada keadaan yang membuat tidak nyaman.

Kasus murid SMA di Lebak, Banten, yang ditempeleng oleh kepala sekolah karena kedapatan merokok di sekolah, kemudian orang tuanya melaporkan kasus tersebut ke polisi, justru merugikan kalangan murid itu sendiri.

Sejumlah perusahaan di daerah itu memberi catatan khusus untuk tidak menerima alumni SMA tersebut ketika melamar pekerjaan. Tindakan orang tua itu bukan hanya menghambat masa depan anaknya, melainkan juga murid-murid lain yang sudah lulus dari sekolah itu dan tidak tahu apa-apa dengan kasus penempelengan yang beritanya menjadi viral tersebut.

Kembali ke tindakan tegas guru, tentu semua pihak menginginkan lahirnya generasi muda masa depan yang unggul dan tangguh, apalagi Indonesia telah menargetkan lahirnya Generasi Emas 2045.

Guru, orang tua, dan masyarakat harus mengedepankan "sikap mendidik" dalam menghadapi sesuatu yang dianggap masalah terkait dengan proses pendidikan di sekolah.

Murid juga harus sadar bahwa saat ini mereka tengah menempa diri untuk bekal menghadapi masa depan. Mematuhi semua aturan di sekolah dan menghormati guru adalah jalan terbaik untuk menuju masa depan yang lebih baik.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kabar gembira ketika Presiden Prabowo minta guru agar tegas

Pewarta: Masuki M. Astro

Editor : Moh Ponting


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2025