Ambon, 25/3 (Antara Maluku) - Pelukis muda asal Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Petra Ayowembun ingin menggelar pameran lukisan beraliran surealisme yang dibuatnya.
"Saya suka berkesenian dan hidup dari melukis, rasanya ada yang kurang bila sehari saja saya tidak melukis, saya ingin menggelar pameran sendiri, mudah-mudahan tahun depan bisa dilaksanakan," kata Petra di Ambon, Sabtu.
Guna bisa menggelar pameran solo perdana, gadis bernama lengkap Vivit Anjani Ayowembun mengatakan dirinya membuat satu lukisan beraliran surealisme dengan konsep yang lebih matang setiap sepekan, di sela-sela aktivitas melukis pesanan pembeli.
"Saya bisa berkuliah dan punya kendaraan juga karena melukis, saya tidak ingin hanya sampai sebatas itu, tapi benar-benar menekuninya sebagai bagian dari hidup saya," katanya.
Anak bungsu dari pasangan Aloysius Ayowembun dan Niketut Suardani itu mengaku mulai tertarik untuk dengan seni lukis sejak berusia 15 tahun, dan sangat mengidolakan seniman serba bisa Dolorosa Sinaga dan pelukis beraliran kontemporer asal Inggris Jenny Saville.
Mahasiswi semester akhir pada Fakultas Teknik Sipil Politeknik Negeri Ambon tersebut, kemudian berlatih melalui berbagai media dan mengandalkan peralatan seadanya, mulai dari sekedar mencorat-coret kertas membentuk sketsa wajah sederhana setiap harinya, hingga akhirnya mampu menggunakan kanvas dan cat air.
Kendati belajar melukis hanya secara otodidak, kemampuannya tidak bisa dipandang sebelah mata, salah satu lukisan gadis kelahiran Denpasar pada 11 Maret 1995, turut menghiasi Kongres Kesenian Indonesia III di Bandung, pada Desember 2015.
Sebelumnya beberapa lukisannya juga diikut sertakan dalam beberapa kali lelang untuk pengumpulan donasi bagi penderita HIV/Aids dan perempuan korban kekerasan yang digelar di Belanda oleh salah satu yayasan sosial setempat.
Dengan karya seni yang dihasilkannya, Petra yang menghabiskan masa kecilnya di berbagai kawasan di Indonesia, juga belajar hidup mandiri jauh dari ibunya yang memilih menetap di Bali setelah sang ayah meninggal dunia.
Selain pemesanan khusus, baik lukisan di atas kanvas maupun dinding, lukisannya yang dipromosikan melalui akun jejaring media sosialnya banyak yang laku terjual.
"Setelah papa meninggal dunia, saya pulang ke Ambon dan tinggal dengan keluarga angkat, hidup mandiri dengan mengandalkan karya saya, jika ada kesempatan saya juga ingin mengikuti pendidikan formal di bidang seni lukis," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016
"Saya suka berkesenian dan hidup dari melukis, rasanya ada yang kurang bila sehari saja saya tidak melukis, saya ingin menggelar pameran sendiri, mudah-mudahan tahun depan bisa dilaksanakan," kata Petra di Ambon, Sabtu.
Guna bisa menggelar pameran solo perdana, gadis bernama lengkap Vivit Anjani Ayowembun mengatakan dirinya membuat satu lukisan beraliran surealisme dengan konsep yang lebih matang setiap sepekan, di sela-sela aktivitas melukis pesanan pembeli.
"Saya bisa berkuliah dan punya kendaraan juga karena melukis, saya tidak ingin hanya sampai sebatas itu, tapi benar-benar menekuninya sebagai bagian dari hidup saya," katanya.
Anak bungsu dari pasangan Aloysius Ayowembun dan Niketut Suardani itu mengaku mulai tertarik untuk dengan seni lukis sejak berusia 15 tahun, dan sangat mengidolakan seniman serba bisa Dolorosa Sinaga dan pelukis beraliran kontemporer asal Inggris Jenny Saville.
Mahasiswi semester akhir pada Fakultas Teknik Sipil Politeknik Negeri Ambon tersebut, kemudian berlatih melalui berbagai media dan mengandalkan peralatan seadanya, mulai dari sekedar mencorat-coret kertas membentuk sketsa wajah sederhana setiap harinya, hingga akhirnya mampu menggunakan kanvas dan cat air.
Kendati belajar melukis hanya secara otodidak, kemampuannya tidak bisa dipandang sebelah mata, salah satu lukisan gadis kelahiran Denpasar pada 11 Maret 1995, turut menghiasi Kongres Kesenian Indonesia III di Bandung, pada Desember 2015.
Sebelumnya beberapa lukisannya juga diikut sertakan dalam beberapa kali lelang untuk pengumpulan donasi bagi penderita HIV/Aids dan perempuan korban kekerasan yang digelar di Belanda oleh salah satu yayasan sosial setempat.
Dengan karya seni yang dihasilkannya, Petra yang menghabiskan masa kecilnya di berbagai kawasan di Indonesia, juga belajar hidup mandiri jauh dari ibunya yang memilih menetap di Bali setelah sang ayah meninggal dunia.
Selain pemesanan khusus, baik lukisan di atas kanvas maupun dinding, lukisannya yang dipromosikan melalui akun jejaring media sosialnya banyak yang laku terjual.
"Setelah papa meninggal dunia, saya pulang ke Ambon dan tinggal dengan keluarga angkat, hidup mandiri dengan mengandalkan karya saya, jika ada kesempatan saya juga ingin mengikuti pendidikan formal di bidang seni lukis," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016