Ambon, 5/9 (Antara Maluku) - Yayasan Wallacea menggalakkan program perlindungan penyu melalui program pariwisata ramah lingkungan di Desa Kayeli, Kabupaten Buru, Maluku.

"Proyek ini kami namai Community Capacity Building to Protect Turtle Population Through Ecotourism (peningkatan kapasitas masyarakat untuk melindungi populasi penyu melalui pariwisata ramah lingkungan)," kata Adit S. Retraubun dari Yayasan Wallacea di Ambon, Senin.

Adit yang juga pemimpin proyek mengatakan program Yayasan Wallacea yang didanai oleh Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) itu dimulai pada awal April 2016 dan akan berjalan hingga September 2017.

Proyek itu merupakan kampanye penyadaran perlindungan terhadap telur-telur penyu yang selama ini diperjualbelikan secara bebas, dengan berbagai pelatihan ketrampilan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat.

Selain itu, masyarakat juga dilibatkan langsung dalam tindakan konservasi, mulai dari survei karang, telur menetas, pengeraman, dan penampungan tukik-tukik (bayi penyu) yang lemah dan sakit, sehingga mereka bisa terus melakukannya sendiri ketika program Yayasan Wallacea berakhir.

"Ada lima orang pemuda yang terlibat bersama kami pada tahap awal. Kami akan merekrut 80 orang lagi untuk dilatih melakukan tindakan konservasi dan ekoturisme, 20 orang di antaranya akan bersama-sama dengan lima orang pemuda yang sudah terlibat sebelumnya akan didorong untuk menjadi Eco Group," katanya.

Jumlah populasi penyu yang bertelur di pantai Desa Kayeli masih belum diketahui secara pasti, tapi menurut Adit, tak kurang dari 10 ekor penyu yang didominasi oleh jenis penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dan penyu tempayan (Caretta caretta) akan naik dari laut pada saat bulan purnama.

Dalam satu pekan, penyu-penyu tersebut bisa menghasilkan 70 - 100 butir telur di sepanjang 1,2 kilometer pantai Desa Kayeli, tapi hanya 60 hingga 70 persen yang berhasil menetas.

Rata-rata tukik yang menetas langsung dilepaskan secara alami ke laut, sedangkan yang terlihat lemah atau sakit akan ditampung dan dirawat sementara waktu hingga cukup kuat.

Pada 17 Juli lalu, Yayasan Wallacea bersama dengan masyarakat lokal, bupati dan beberapa orang kepala dinas di lingkup Kabupaten Buru melakukan pelepasan lebih dari 600 ekor tukik ke laut. Bayi-bayi penyu tersebut merupakan seperempat dari kelompok yang menetas di pantai Kayeli selama beberapa pekan terakhir.

"Dalam waktu 1,5 bulan kami mendapatkan 200 sarang telur penyu di sepanjang pantai. Suhu sangat mempengaruhi proses pengeraman telur, jika di bawah 29 derajat celcius maka yang dietaskan adalah penyu jantan," kata Adit.

Terhubung dengan Teluk Kayeli yang kaya ikan, pantai Desa Kayeli bukan satu-satunya kawasan di Pulau Buru yang menjadi tempat persiggahan penyu untuk bertelur, tapi ada beberapa desa lainnya juga, seperti Ubung, Waiperang, dan Seith.

Berpenduduk sekitar 1.300-an jiwa, sebagian besar mata pencaharian masyarakat lokal adalah nelayan dan petani.

"Dengan pelatihan ecotourism kepada masyarakat sebagai alternatif menjaga penyu yang bertelur bisa menjadi potensi pariwisata lingkungan. Respon masyarakat sangat positif sekali, kami ingin mengusulkan peraturan desa untuk pembebasan lahan terkait daerah peraturan laut dan kepala desa langsung menanggapinya dengan baik," ujar Adit.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016