Yoko Arai adalah seorang perempuan penulis asal Jepang yang mengaku jatuh cinta pada Indonesia terutama pada keragaman suku, agama dan budaya dan yang tertuang dalam konsep Bhineka Tunggal Ika.
"Pada tahun 1986, saya pergi ke Bali. Saat itu saya sangat tertarik pada budaya dan makanan Bali, kemudian pada tahun 1995, saya pergi ke Jawa Tengah, berkeliling kota Jogja dan candi Borobudur," cerita Yoko Arai tentang kunjungannya yang pertama ke Indonesia dan kemudian disusul oleh kunjungan-kunjungan yang lain.
Menurutnya keragaman budaya, suku bangsa, agama, kepercayaan, bahasa daerah dan banyak lainnya sangat menarik.
"Apalagi di mana- mana ada cerita yang mistik dan kekuatan gaib. Di balik hal yang mistik itu, ada filosofi hidup," kata perempuan lulusan Universitas Keio, Tokyo itu.
Ketertarikan pada semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" membuatnya melangkahkan kakinya menelusuri Tanah Air untuk lebih mengenal kehidupan orang dan budaya Indonesia lebih dalam, termasuk daerah yang masih kental pengaruh Budha-nya, mengingat Yoko juga seorang Buddhis.
Pengembaraannya di Indonesia, antara lain dituangkan dalam sebuah buku non-fiksi berjudul "Chiisakimono no Inori --Doa wong cilik" (2002) yaitu buku yang mengisahkan budaya Jawa tentang keris dan situasi masa Reformasi di Indonesia.
Buku lain yang ditulisnya tidak berkaitan dengan Indonesia yaitu buku berjudul "40 dai Uizan wo Hajimeta Joseitachi"(2006) juga karya non-fiksi yang mengisahkan tentang para perempuan yang mulai melahirkan pada usia 40-an, kemudian buku berjudul "Ogimama to Yomu Kodomo Rongo "(2012) sebuah penafsiran Analek Konfusius untuk anak-anak dan masih banyak lainnya.
Perempuan yang lahir di Tokyo pada awal 1960 -an itu mengawali karirnya sebagai seorang penulis iklan, tetapi kemudian pada pertengahan 1990 ia memutuskan menjadi seorang penulis lepas dengan minat di bidang pariwisata, olahraga selain masih menjadi penulis iklan.
Kemampuan berbahasa Indonesia diperoleh dengan dua kali mengikuti kelas khusus bahasa Indonesia untuk penutur asing di Universitas Merdeka di kota Malang, Jawa Timur.
Surat harapan dari Aceh
Saat ini, di tengah kesibukkannya sebagai seorang penulis lepas yang giat menulis tentang olahraga maraton, Yoko dan seorang rekannya, produser iklan bergiat mengelola sebuah situs untuk menyemangati anak-anak korban tsunami Fukushima.
Situs yang diberi nama Kibou no Tegami ini merupakan kegiatan sukarela dari Yoko dan rekan-rekannya untuk membangkitkan semangat anak-anak yang terdampak bencana tsunami di Tohoku pada 11 Maret 2011 dengan menampilkan surat-surat dari anak-anak penyintas korban tsunami Aceh, Desember 2004.
Gempa dahsyat dan tsunami yang menghantam kawasan Tohoku di Jepang itu merupakan musibah yang banyak merenggut nyawa warga setempat juga tak terkira jumlah mereka yang hilang, kota-kota hancur, air, listrik dan gas terhenti. Banyak pula penduduk yang kemudian harus tinggal di tempat penampungan, kata Yoko mengutip isi laman tersebut.
Bencana menjadi semakin menyengsarakan warga karena diikuti oleh kerusakan pada pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang membawa ancaman bahaya radiasi.
"Banyak anak kehilangan orang-tuanya, saudara-saudaranya, teman-temannya. Ada juga anak-anak yang mengalami trauma karena stress," katanya mengenai alasannya tergerak untuk membantu korban bencana alam tersebut dengan caranya sendiri, yaitu menjadi kreator sebuah laman untuk membangkitkan semangat para penyintas khususnya anak-anak agar mereka bangkit dari keterpurukan untuk dapat melanjutkan hidup dengan penuh harapan.
Terpikir olehnya tentang bencana serupa yang menimpa Aceh pada 2004, dan membayangkan bahwa anak-anak yang selamat dari bencana tersebut kini diperkirakan sudah menjadi kelompok remaja dan dewasa muda yang sudah mampu mengatasi trauma dan bangkit dari duka.
"Mungkin bila mereka mengirim surat untuk menceritakan cara-cara mereka melewati masa sulit maka akan dapat mendorong anak-anak di Tohoku untuk bangkit menatap masa depan," katanya pada awal mendirikan laman "Surat harapan dari Aceh ke Jepang".
Alamat laman tersebut adalah http://kibounotegami.com/about_ache.html.
"Mungkin kata-kata anak Aceh (orang Aceh) yang mengalami musibah serupa akan bisa menyembuhkan hati anak Jepang (orang Tohoku) korban tsunami,¿ demikian kami pikir, tulisnya di laman tersebut.
Sebaliknya sebagai sesama orang Jepang, mereka juga ingin mengirim "kata-kata" pemberi semangat, meskipun dia mengaku hingga saat ini belum menemukan kata-kata yang tepat.
"Ada hal-hal yang ingin kita sampaikan karena kita sama-sama mengalami kesedihan dan kepahitan yang serupa, karena telah bisa mengatasinyalah maka kita dapat menyampaikannya," ujar perempuan yang kelahirannya bernaung pada rasi Scorpio itu.
Surat Harapan dari Aceh ke Jepang" adalah proyek untuk menyampaikan Surat Harapan yang dibuat oleh anak-anak yang menjadi korban bencana gempa dan tsunami di Aceh pada Desember 2004 kepada anak-anak korban bencana gempa dahsyat di Tohoku-Jepang pada Maret 2011, ia menjelaskan.
Ia berharap melalui surat-menyurat yang ditampilkan di laman dalam dua bahasa itu bisa membantu mereka bangkit dari puing-puing keputus-asaan, dan menemukan tumpuan harapan untuk menyongsong masa depan.
"Mudah-mudahan pengalaman anak-anak Aceh itu, semangat dan keberanian mereka, bisa memberikan secercah harapan bagi anak-anak Jepang . . . Dengan harapan itulah gerakan ini diselenggarakan oleh relawan di Indonesia dan Jepang.
Tidak mudah bagi Yoko Arai dan tim untuk mendapat surat-surat dari anak-anak Aceh, dan penerjemahan surat dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang juga melibatkan relawan-relawan yaitu seorang wartawan rekan Yoko di Indonesia, guru bahasa Indonesia, orang Jepang yang mahir berbahasa Indonesia.
Setelah beberapa waktu surat yang masuk baru dua itu pun jaraknya lama, tetapi dengan kesabaran dan ketelatenan akhirnya mulai banyak penyintas bencana Aceh yang mengirim surat, meskipun dari Jepang sampai saat ini belum ada sepucuk surat pun.
Yoko Arai pun turun langsung ke Aceh pada pertengahan 2016 untuk menjumpai para penyintas dan mengajak mereka menuliskan pengalaman heroik mengatasi masa berduka dan keterpurukan untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang tegas, dan mengirimkannya dalam bentuk surat.
"Penyembuhan hati tidaklah semudah mengatakannya, dan mungkin memerlukan waktu yang tak terkirakan lamanya. Namun komunikasi ini diharapkan bisa mempersingkat waktu yang diperlukan itu dan membantu mengembalikan senyum tulus kepada anak-anak di Aceh dan di Jepang. Kami berharap dapat membantu mereka memiliki impian yang cerah di masa depan," kata Yoko Arai dengan nada bersungguh-sungguh.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016
"Pada tahun 1986, saya pergi ke Bali. Saat itu saya sangat tertarik pada budaya dan makanan Bali, kemudian pada tahun 1995, saya pergi ke Jawa Tengah, berkeliling kota Jogja dan candi Borobudur," cerita Yoko Arai tentang kunjungannya yang pertama ke Indonesia dan kemudian disusul oleh kunjungan-kunjungan yang lain.
Menurutnya keragaman budaya, suku bangsa, agama, kepercayaan, bahasa daerah dan banyak lainnya sangat menarik.
"Apalagi di mana- mana ada cerita yang mistik dan kekuatan gaib. Di balik hal yang mistik itu, ada filosofi hidup," kata perempuan lulusan Universitas Keio, Tokyo itu.
Ketertarikan pada semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" membuatnya melangkahkan kakinya menelusuri Tanah Air untuk lebih mengenal kehidupan orang dan budaya Indonesia lebih dalam, termasuk daerah yang masih kental pengaruh Budha-nya, mengingat Yoko juga seorang Buddhis.
Pengembaraannya di Indonesia, antara lain dituangkan dalam sebuah buku non-fiksi berjudul "Chiisakimono no Inori --Doa wong cilik" (2002) yaitu buku yang mengisahkan budaya Jawa tentang keris dan situasi masa Reformasi di Indonesia.
Buku lain yang ditulisnya tidak berkaitan dengan Indonesia yaitu buku berjudul "40 dai Uizan wo Hajimeta Joseitachi"(2006) juga karya non-fiksi yang mengisahkan tentang para perempuan yang mulai melahirkan pada usia 40-an, kemudian buku berjudul "Ogimama to Yomu Kodomo Rongo "(2012) sebuah penafsiran Analek Konfusius untuk anak-anak dan masih banyak lainnya.
Perempuan yang lahir di Tokyo pada awal 1960 -an itu mengawali karirnya sebagai seorang penulis iklan, tetapi kemudian pada pertengahan 1990 ia memutuskan menjadi seorang penulis lepas dengan minat di bidang pariwisata, olahraga selain masih menjadi penulis iklan.
Kemampuan berbahasa Indonesia diperoleh dengan dua kali mengikuti kelas khusus bahasa Indonesia untuk penutur asing di Universitas Merdeka di kota Malang, Jawa Timur.
Surat harapan dari Aceh
Saat ini, di tengah kesibukkannya sebagai seorang penulis lepas yang giat menulis tentang olahraga maraton, Yoko dan seorang rekannya, produser iklan bergiat mengelola sebuah situs untuk menyemangati anak-anak korban tsunami Fukushima.
Situs yang diberi nama Kibou no Tegami ini merupakan kegiatan sukarela dari Yoko dan rekan-rekannya untuk membangkitkan semangat anak-anak yang terdampak bencana tsunami di Tohoku pada 11 Maret 2011 dengan menampilkan surat-surat dari anak-anak penyintas korban tsunami Aceh, Desember 2004.
Gempa dahsyat dan tsunami yang menghantam kawasan Tohoku di Jepang itu merupakan musibah yang banyak merenggut nyawa warga setempat juga tak terkira jumlah mereka yang hilang, kota-kota hancur, air, listrik dan gas terhenti. Banyak pula penduduk yang kemudian harus tinggal di tempat penampungan, kata Yoko mengutip isi laman tersebut.
Bencana menjadi semakin menyengsarakan warga karena diikuti oleh kerusakan pada pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang membawa ancaman bahaya radiasi.
"Banyak anak kehilangan orang-tuanya, saudara-saudaranya, teman-temannya. Ada juga anak-anak yang mengalami trauma karena stress," katanya mengenai alasannya tergerak untuk membantu korban bencana alam tersebut dengan caranya sendiri, yaitu menjadi kreator sebuah laman untuk membangkitkan semangat para penyintas khususnya anak-anak agar mereka bangkit dari keterpurukan untuk dapat melanjutkan hidup dengan penuh harapan.
Terpikir olehnya tentang bencana serupa yang menimpa Aceh pada 2004, dan membayangkan bahwa anak-anak yang selamat dari bencana tersebut kini diperkirakan sudah menjadi kelompok remaja dan dewasa muda yang sudah mampu mengatasi trauma dan bangkit dari duka.
"Mungkin bila mereka mengirim surat untuk menceritakan cara-cara mereka melewati masa sulit maka akan dapat mendorong anak-anak di Tohoku untuk bangkit menatap masa depan," katanya pada awal mendirikan laman "Surat harapan dari Aceh ke Jepang".
Alamat laman tersebut adalah http://kibounotegami.com/about_ache.html.
"Mungkin kata-kata anak Aceh (orang Aceh) yang mengalami musibah serupa akan bisa menyembuhkan hati anak Jepang (orang Tohoku) korban tsunami,¿ demikian kami pikir, tulisnya di laman tersebut.
Sebaliknya sebagai sesama orang Jepang, mereka juga ingin mengirim "kata-kata" pemberi semangat, meskipun dia mengaku hingga saat ini belum menemukan kata-kata yang tepat.
"Ada hal-hal yang ingin kita sampaikan karena kita sama-sama mengalami kesedihan dan kepahitan yang serupa, karena telah bisa mengatasinyalah maka kita dapat menyampaikannya," ujar perempuan yang kelahirannya bernaung pada rasi Scorpio itu.
Surat Harapan dari Aceh ke Jepang" adalah proyek untuk menyampaikan Surat Harapan yang dibuat oleh anak-anak yang menjadi korban bencana gempa dan tsunami di Aceh pada Desember 2004 kepada anak-anak korban bencana gempa dahsyat di Tohoku-Jepang pada Maret 2011, ia menjelaskan.
Ia berharap melalui surat-menyurat yang ditampilkan di laman dalam dua bahasa itu bisa membantu mereka bangkit dari puing-puing keputus-asaan, dan menemukan tumpuan harapan untuk menyongsong masa depan.
"Mudah-mudahan pengalaman anak-anak Aceh itu, semangat dan keberanian mereka, bisa memberikan secercah harapan bagi anak-anak Jepang . . . Dengan harapan itulah gerakan ini diselenggarakan oleh relawan di Indonesia dan Jepang.
Tidak mudah bagi Yoko Arai dan tim untuk mendapat surat-surat dari anak-anak Aceh, dan penerjemahan surat dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang juga melibatkan relawan-relawan yaitu seorang wartawan rekan Yoko di Indonesia, guru bahasa Indonesia, orang Jepang yang mahir berbahasa Indonesia.
Setelah beberapa waktu surat yang masuk baru dua itu pun jaraknya lama, tetapi dengan kesabaran dan ketelatenan akhirnya mulai banyak penyintas bencana Aceh yang mengirim surat, meskipun dari Jepang sampai saat ini belum ada sepucuk surat pun.
Yoko Arai pun turun langsung ke Aceh pada pertengahan 2016 untuk menjumpai para penyintas dan mengajak mereka menuliskan pengalaman heroik mengatasi masa berduka dan keterpurukan untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang tegas, dan mengirimkannya dalam bentuk surat.
"Penyembuhan hati tidaklah semudah mengatakannya, dan mungkin memerlukan waktu yang tak terkirakan lamanya. Namun komunikasi ini diharapkan bisa mempersingkat waktu yang diperlukan itu dan membantu mengembalikan senyum tulus kepada anak-anak di Aceh dan di Jepang. Kami berharap dapat membantu mereka memiliki impian yang cerah di masa depan," kata Yoko Arai dengan nada bersungguh-sungguh.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016