Proposal Maluku Lumbung Ikan Nasional yang dibuat oleh pemerintah provinsi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan dikembalikan oleh pemerintah pusat. Alasannya, entahlah, tapi yang pasti cetak biru yang disusun berdasarkan berbagai pemikiran dan pertimbangan dari sejumlah kalangan termasuk akademisi dan instansi terkait lainnya itu, kasarnya, ditolak.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pun menyatakan dirinya harus membahas keinginan itu dengan presiden terlebih dahulu. Ini berarti perjuangan pemerintah provinsi dan rakyat (DPRD) Maluku belum akan terwujud dalam waktu dekat.

Sampai saat ini, laut Maluku harus diakui merupakan primadona perikanan nasional. Setidaknya, dari seluruh hasil tangkapan, laut porvinsi ini menyumbang 20 bagian.

Upaya mendapatkan penetapan laut Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional dimulai ketika Gubernur Karel Albert Ralahalu meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkannya saat peluncuran Sail Indonesia ke-10 yang diberi nama populer "Sail Banda" tahun 2010.

Saat itu, pemerintah provinsi Maluku selaku tuan rumah penyelenggaraan kegiatan bahari bertaraf internasional tersebut bahkan mengawalinya dengan menggelar sebuah seminar di Kota Ambon, menghadirkan sejumlah pakar kelautan dan perikanan sebagai pemateri.

Apa lacur, tiba waktu pencanangan yang direncanakan, SBY menangguhkannya dengan alasan infrastruktur utama maupun penunjang belum memadai, lalu ia meminta berbagai kementerian terkait untuk bantu mempersiapkannya terlebih dahulu.

Enam tahun berlalu, presiden berganti, tetapi status Maluku Lumbung Ikan Nasional tetap berada dalam posisi menunggu restu kepala negara. Artinya, pemerintah dan masyarakat Maluku harus bersabar lagi.

Provinsi Maluku yang 93 persen wilayahnya merupakan lautan memiliki potensi lestari perikanan 1,64 juta ton per tahun. Berbagai jenis ikan mulai dari tuna, cakalang, hingga "ikan batu-batu" (karang), belum lagi udang, lobster dan lainnya yang terkandung di perairan daerah ini memiliki nilai ekonomis dan berkualitas ekspor.

Karena itu, tuntutan agar Maluku dijadikan Lumbung Ikan Nasional tidaklah berlebihan, apalagi dari pemberdayaan kekayaan lautnya itu masyarakat daerah ini bisa lebih sejahtera kehidupannya. Status sebagai provinsi termiskin ke-4 sebagaimana data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik pun bisa ditanggalkan.


"Tidak sendirian"

Nasib status Maluku Lumbung Ikan Nasional yang hingga kini masih terkatung-katung bukanlah satu-satunya harapan pemerintah dan masyarakat di "negeri raja-raja" ini.

Harapan lain yang juga masih terkendala adalah keinginan Maluku (dan beberapa provinsi berkarakter kepulauan di tanah air) akan lahirnya UU Provinsi Kepulauan, yang mengatur tentang perairan laut sebagai salah satu unsur yang diperhitungkan untuk penetapan besaran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Selama ini, perhitungan DAU dan DAK hanya memasukkan unsur luas daratan dan jumlah penduduk suatu wilayah. Tidak masuknya unsur lautan itu dirasakan tidak adil bagi provinsi berkarakter kepulauan, karena pendapatan negara bukan melulu dari apa yang terkandung di dalam tanah, tetapi juga lautan.

Anggota DPR RI dan DPD RI dari daerah pemilihan Maluku sudah berjuang agar status Maluku LIN dan RUU Provinsi Kepulauan masuk dalam Prolegnas (program legislasi nasional) yang akan dibahas pada tahun 2017. Namun perjuangan itu tampaknya belum akan berhasil, mengingat proposal Maluku LIN yang dikembalikan oleh pemerintah pusat, dan tidak masuknya RUU Provinsi Kepulauan sebagai program prioritas DPR RI.

Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan punya keinginan membangun industri-industri perikanan di pulau-pulau terluar. Sebelumnya, Menteri Susi memberlakukan moratorium kapal-kapal ikan yang berlangsung selama kurang lebih dua tahun.

Kendati berhasil menekan derasnya pencurian ikan oleh nelayan asing dan penyimpangan dalam izin operasi kapal-kapal ikan dalam negeri, bagi Maluku kebijakan itu juga berdampak merosotnya nilai ekpor perikanan, selain para ABK yang terpaksa alih profesi atau menganggur.

Hingga sekarang, tidak sedikit kapal ikan yang masih parkir di perairan Teluk Dalam Ambon, sementara raksasa perusahaan ikan Maritim Timur Jaya di Kota Tual, Maluku Tenggara belum terdengar sudah kembali beroperasi, dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di kawasan Tantui, Kota Ambon pun sepi kegiatan.

Satu catatan yang penting untuk diperhatikan, Data BPS Maluku menyebutkan ikan dan udang yang merupakan primadona ekspor Maluku menurun nilainya dari 90,10 juta dolar AS pada 2014 (pra moratorium) menjadi 3,75 juta dolar AS pada 2015, dan nihil pada 2016.

Karena itu, keinginan membangun industri perikanan di pulau-pulau terluar tentu diharapkan mencakup wilayah Maluku dan memberi dampak positif, termasuk menyerap tenaga kerja lokal dan kembali menggairahkan ekonomi sektor perikanan provinsi ini.


Blok Masela

Hal lain yang juga menyedot perhatian besar masyarakat Maluku adalah kandungan minyak dan gas bumi (migas) di Blok Masela, terletak pada jarak 75 mil lepas pantai kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat.

Sejak diperkirakan memiliki potensi yang dapat memberikan keuntungan Rp400 triliun hingga penemuan 22 cekungan, migas Blok Masela hingga kini belum jelas kapan akan diproduksi.

Paling akhir, SKK Migas bersama dua kontraktor asing (INPEX Masela dan Shell) saat sosialisasi di Kota Ambon menyatakan belum ada dokumen resmi dari pemerintah pusat mengenai pembangunan kilang darat (onshore) untuk menampung gas (bukan lagi migas) yang diproduksi dari Blok Masela.

Semula, kegiatan produksi gas itu direncanakan memakai skema kilang terapung (offshore) yang lebih murah. Namun, setelah mendengar berbagai masukan, Presiden Joko Widodo akhirnya memutuskan untuk membangun kilang darat, dengan asumsi dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.

Keputusan itu juga menuntut Maluku untuk menyiapkan tenaga-tenaga siap pakai, yang sementara ini dibaca sebagai pembukaan Fakultas Pertambangan di Universitas Pattimura (Unpatti).

Dengan skema kilang darat, maka produksi gas Blok Masela yang semula diperkirakan bisa dimulai tahun 2024 kemungkinan mundur selama tiga tahun. Bila benar, maka waktu penyiapan putra daerah untuk mengisi formasi lapangan kerja di proyek tersebut masih cukup, sekurang-kurangnya 7-9 tahun dari sekarang.

Menurut Rektor Unpatti Prof. M.J Sapteno, pembukaan fakultas itu masih dalam proses perizinan di Kementerian Pendidikan Tinggi. Bila dihitung waktu kuliah tercepat 3,5 tahun, maka universitas ini kemungkinan sudah bisa memproduksi insinyur-insinyur pertambangan pada 2021, dengan catatan fakultasnya mulai menerima mahasiswa baru pada tahun ajaran 2017-2018.

Dengan demikian, pada 2024 sudah cukup banyak tenaga kerja lulusan universitas tersebut yang bisa mengisi pekerjaan di proyek Blok Masela.

Hal yang juga penting, selain tenaga kerja formal, proyek Blok Masela juga akan menyedot tenaga kerja informal.

Bila semua berjalan baik, dapat diharapkan perekonomian Maluku akan terdongkrak dari sektor ini, karena selain menyerap banyak tenaga kerja lokal, hasil ekploitasinya pun akan dirasakan oleh masyarakat daerah penghasil.

Pewarta: John Nikita Sahusilawane

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016