Ambon, 25/2 (Antara Maluku) - Peneliti senior Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Syamsuddin Harris mengatakan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia belum didesain untuk untuk kebutuhan sistem presidensial, dan masih bersifat parlementer.

"Pemilu di Indonesia belum menghasilkan lembaga politik yang memperjuangkan kepentingan publik," katanya dalam Seminar Tanwir Muhammadiyah "Kedaulatan Politik, Hukum, dan Ekonomi", di Ambon, Sabtu.

Hal itu, kata Syamsuddin, disebabkan oleh sistem pemilu di tanah air belum didesain sebagai kebutuhan untuk sistem presidensial, dan masih bernuansa parlementer.

Karena itu, perbaikan politik menjadi tantangan dalam konteks pemilu legislatif. Pembenahan pemilu sangat penting dilakukan, terutama pada kualitas partai dan politisi, sehingga tidak membuka peluang bagi siapa saja yang tidak amanah, kompeten dan akuntabel untuk maju menjadi wakil rakyat.

"Apabila kualitas partai politik baik, maka bangsa juga akan menjadi baik. Tantangannya adalah bagaimana pemilu ini akan menghasilkan tokoh yang amanah dan akuntabel serta memiliki visi kebangsaan dan komitmen untuk maju yang tetap didasar pada kedaulatan rakyat," katanya.

Menurut Syamsuddin, publik hendaknya lebih dilibatkan dalam proses pemilu, sehingga ada transparansi. Tapi umumnya partai politik tidak mampu mendiskusikan hal tersebut.

Terkait itu, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam yang besar di Indonesia diharapkan lebih berperan dalam perbaikan konstitusional di tanah air, dengan menempatkan kader terbaik melalui partai politik.

Karena keadilan yang dikemukakan berkali-kali tidak akan bisa berjalan sebaimana mestinya, tanpa perjuangan menuju kesana.

"Partai politik menikmati situasi ini sebagai berkah dan tak kunjung berubah. Di sini posisi penting Muhammadiyah dan NU, dalam memberikan tekanan publik," tandasnya.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017