Ambon, 2/6 (Antaranews Maluku) - Warga muslim dan kristiani Desa Wayame, Kecamatan Teluk Ambon, memperkuat jalinan persaudaraan dan toleransi antarsesama dengan menggelar iftar atau buka puasa bersama, Sabtu.

Digelar di halaman Masjid Daarun Na`im Desa Wayame, acara "Buka Puasa Salam-Sarane" tersebut digagas oleh Ketua Majelis Jemaat Gereja Pniel Wayame, Pdt. Christin Tetelepta dan pelaksanaannya dengan panitia oleh warga kristiani.

Tak kurang dari 400-an warga muslim dan kristiani setempat turut serta dalam buka puasa yang juga dihadiri oleh Ketua I Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku Abidin Wakano dan Wakil Ketua Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) Pdt. P. Refialy.

Kapolres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease AKBP Sutrisno Hadi Santoso dan beberapa pejabat di jajaran TNI/Polri lainnya juga tampak hadir dalam kegiatan keagamaan bertema "Merawat Kehidupan Orang Basudara" itu.

Tak sekedar buka puasa bersama, kegiatan itu juga dimeriahkan oleh penampilan kelompok paduan suara gabungan jemaat Gereja Pniel dan beberapa pemuda muslim. Mereka menghibur para tamu dengan menembangkan "Kalam Allah Sudah Disampaikan" dan "O, Betapa Indah".
 
Suasana buka puasa bersama Salam-Sarane di Masjid Daarun Na'im, Sabtu (2/6) (Shariva Alaidrus)

Syair dua tembang ciptaan Brackley E. Picanussa, warga jemaat Gereja Pniel, itu menggambarkan kebersamaan dan persaudaraan antarumat beragama di Desa Wayame.

Lagu "O, Betapa Indah" yang intronya dimulai dengan azan misalnya, terdapat kalimat "betapa indah hidup dalam persaudaraan di antara orang beragama walau kita berbeda, Allahu akbar".

Wakil Ketua Sinode GPM Pdt. P. Refialy dalam kesempatan itu mengatakan sebagai pimpinan GPM, pihaknya sangat berterima kasih kepada jemaat Gereja Pniel yang telah menghidupkan kembali semangat persaudaraan melalui buka puasa bersama.

Agama, kata dia, dalam implementasinya haruslah menjadi berkat bagi sesama dan semesta, hal ini sebagaimana telah diajarkan dalam kepercayaan Kristen maupun Islam.

Ia berharap, kegiatan buka puasa bersama dapat dilangsungkan setiap tahunnya, dan bukan hanya aspek seremonialnya yang ditonjolkan tapi hakekat kehidupan beragama yang harus diutamakan.

"Saya sangat bersuka cita dengan acara ini. Kemajemukan adalah anugerah, sudah ada sejak Allah menciptakan bumi, hanya saja bagaimana kita sebagai manusia bisa memaknai kemajemukan itu sendiri. Semoga ini bukan yang pertama dan terakhir," ucap Pdt. P. Refialy.

Senada dengan Pdt. Refialy, Ketua I MUI Maluku Abidin Wakano dalam tausiahnya menyampaikan bahwa salah satu makna dari tradisi berpuasa dalam kehidupan adalah mendidik kepekaan sosial umat muslim, guna bisa menjadi sumber rahmat dan berkah bagi sesama.

Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadist Nabi Muhammad SAW, bahwa "tidaklah beriman seorang di antara kamu sebelum dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri", itu mengartikan bahwa ikatan persaudaraan haruslah dijaga.

Dalam terminologi "ukhuwwah" yang artinya persaudaraan, menurut Abidin, bukanlah sebatas hubungan kekerabatan karena faktor keturunan, tetapi bermakna luas. Karena itu persaudaraan bisa terbentuk dari berbagai hubungan sosial, seperti pertemanan, hubungan antar tetangga dan lain sebagainnya.

Jika dilihat dari konteks hubungan sosial masyarakat, warga Desa Wayame dapat dikatakan bersaudara, karena mereka adalah tetangga antar satu dengan yang lainnya, dan bukan hanya karena mereka seiman.

"Rasulullah berkata tetanggamu adalah saudara terdekatmu, jadi jangalah kamu menyakiti tetanggamu. Dari sini bisa tersirat bahwa orang Wayame semuanya adalah saudara," ujarnya.

Kendati ini adalah kali pertama buka puasa di bulan Ramadhan antarwarga berbeda keyakinan digelar oleh warga Wayame, desa tersebut sebelumnya sudah terkenal dengan kuatanya ikatan persaudaraan, keberagaman dan toleransi yang tinggi.

Saat konflik horisontal tahun 1999 di Maluku, Wayame yang penduduknya merupakan percampuran berbagai suku bangsa di Indonesia, menjadi satu-satunya desa di Kota Ambon yang tetap menjaga kebersamaan dan mampu menyikapi konflik kemanusiaan tersebut.

Dalam sejarahnya, Desa Wayame sebelumnya bernama kampung Nipa karena wilayahnya ditumbuhi oleh pepohonan nipah. Namanya kemudian berubah menjadi Wayame terkait erat dengan sebuah sungai atau kali yang disebut "wai" atau air dan "ame" atau harapan.

Penulisan nama Wayame dipengaruhi oleh pengucapan sehari-hari masyarakat setempat dan mulai secara resmi digunakan pada 1977.

Desa Wayame memiliki satu mataruma parentah atau garis keturunan keluarga yang secara turun-temurun menjadi pemimpin negeri adat, yakni Hunihua (sembunyi pinang) dari Soa atau rumah adat Hukuinalo (gunung ibu).

Hunihua merupakan adik bungsu dari bersaudara. Saudara tertuanya adalah Semang di Desa Wakal dan Angkoa Meteng di Desa Hitumesing, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.

Dalam laporan Asisten Residen Ambon HJ. Schmidt pada 23 September 1924, di masa pemerintahan Hindia-Belanda, Kampung Nipa atau Wayame merupakan satu dari 12 kampung orang burger (kampongburger) yang sudah berdiri sendiri.

Sebagai kampongburger, Nipa dipimpin oleh seorang wijkmeester atau kepala kampung bernama Ph. Kastanja. Tokoh inilah yang mengusahakan pembangunan gereja Pniel pada 1923.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2018