Ahli geologi dari Universitas Pattimura Zain Tuakia mengatakan gempa tektonik dengan magnitudo 6,5 yang melanda Pulau Ambon dan sekitarnya pada 26 September 2019, berbeda dengan gempa besar pada tahun 1674 dan 1950 yang menyebabkan terjadinya tsunami.
"Setiap gempa memiliki karakteristik dan mekanisme yang berbeda, tapi kadang orang mengingat-ngingat masa lalu dan menyambung-nyambungkan," kata Zain di Ambon, Selasa.
Ia memisalkan gempa yang menyebabkan tsunami pada 1950, sumbernya berasal dari pergerakan sesar aktif di selatan Pulau Ambon dengan kekuatan gempa magnitudo 7,3 yang menyebabkan gelombang tsunami melanda Desa Hutumuri, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon.
Sedangkan gempa yang terjadi pada 26 September 2019, berlokasi pada patahan di darat dengan mekanisme geser mendatar dan tidak berpotensi tsunami.
Dikatakannya lagi, gempa tektonik yang terjadi pada 1674, juga memiliki sistem yang berbeda. Berdasarkan sejarah, gempa besar tersebut mengakibatkan gelombang tsunami dan menyebabkan beberapa daerah ambles. Namun belum ada data pasti mengenai kekuatan gempa tersebut.
"Kalau kita mau mempelajarinya bisa dengan melakukan kajian paleoseismologi dengan melakukan galian pada lokasi yang tepat berdasarkan sejarah yang kita miliki," ujar Zain.
Doktor dari Universitas Akita, Jepang, tersebut menambahkan, teknologi dan ilmu pengetahuan kegempaan saat ini belum bisa memprediksikan secara pasti dan tepat kapan gempa akan terjadi, baik waktu maupun lokasinya.
Sementara itu, menanggapi asumsi yang beredar di masyarakat bahwa gempa yang mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya beberapa hari lalu, ada kaitannya dengan fenomena kematian massal ikan demersal yang terjadi antara 12 hingga 15 September 2019.
Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI) Nugroho Dwi Hananto mengatakan hasil penelitian menyimpulkan bahwa fenomena kematian massal ikan tidak terkait dengan gejala gempa bumi atau tsunami, pemboman dan gejala keracunan, termasuk juga aktivitas vulkanik.
"Pada saat di Aceh ada gempa besar air surut duluan, ikan-ikannya kelihatan dan orang-orang jadi mencari ikan duluan baru tsunaminya datang, kalau di Ambon fenomenanya berbeda," ujarnya.
Menanggapi polemik mengenai gempa Palu pada 2018 yang mirip dengan gempa Ambon bisa tiba-tiba saja menyebabkan tsunami, Nugroho menegaskan gempa tektonik yang terjadi di dua wilayah tersebut memiliki sistem yang sama sekali berbeda.
"Gempa Palu ada satu gempa utama dan setelahnya memang mirip dengan di Ambon, tapi sistemnya tidak sama. Jangan dibandingkan karena di Palu ada banyak sesar mendatar, sesar Palu Koro dari selatan naik ke utara, sesar Tambarama dari atas naik ke utara lagi, di sana ketemu dengan zona subduksi," ujar ahli geologi dan juga peneliti tsunami ini.
Ia menjelaskan selama ini pakar dan ahli gempa maupun tsunami berpatokan bahwa peristiwa tsunami hanya bisa terjadi apabila gempa terjadi di laut dengan magnitudo lebih dari 7,00, dan sumber gempa adalah pergerakan bidang patahan dengan mekanisme sesar naik.
Setelah gempa Palu terjadi, kata dia, pengetahuan mengenai kegempaan dan model pemetaan gempa dan tsunami di seluruh dunia diperbaiki kembali.
"Menurut pengetahuan sebelumnya, gempa seperti yang terjadi di Palu tidak akan terjadi tsunami karena kejadiannya di darat, magnitudnya rendah dan tipenya sesar mendatar, di manapun di dunia orang bilang tidak ada tsunami, makanya BMKG mencabut peringatan dini tsunami karena memang tidak ada yang seperti itu sebelumnya," ujar Nugroho.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
"Setiap gempa memiliki karakteristik dan mekanisme yang berbeda, tapi kadang orang mengingat-ngingat masa lalu dan menyambung-nyambungkan," kata Zain di Ambon, Selasa.
Ia memisalkan gempa yang menyebabkan tsunami pada 1950, sumbernya berasal dari pergerakan sesar aktif di selatan Pulau Ambon dengan kekuatan gempa magnitudo 7,3 yang menyebabkan gelombang tsunami melanda Desa Hutumuri, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon.
Sedangkan gempa yang terjadi pada 26 September 2019, berlokasi pada patahan di darat dengan mekanisme geser mendatar dan tidak berpotensi tsunami.
Dikatakannya lagi, gempa tektonik yang terjadi pada 1674, juga memiliki sistem yang berbeda. Berdasarkan sejarah, gempa besar tersebut mengakibatkan gelombang tsunami dan menyebabkan beberapa daerah ambles. Namun belum ada data pasti mengenai kekuatan gempa tersebut.
"Kalau kita mau mempelajarinya bisa dengan melakukan kajian paleoseismologi dengan melakukan galian pada lokasi yang tepat berdasarkan sejarah yang kita miliki," ujar Zain.
Doktor dari Universitas Akita, Jepang, tersebut menambahkan, teknologi dan ilmu pengetahuan kegempaan saat ini belum bisa memprediksikan secara pasti dan tepat kapan gempa akan terjadi, baik waktu maupun lokasinya.
Sementara itu, menanggapi asumsi yang beredar di masyarakat bahwa gempa yang mengguncang Pulau Ambon dan sekitarnya beberapa hari lalu, ada kaitannya dengan fenomena kematian massal ikan demersal yang terjadi antara 12 hingga 15 September 2019.
Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI) Nugroho Dwi Hananto mengatakan hasil penelitian menyimpulkan bahwa fenomena kematian massal ikan tidak terkait dengan gejala gempa bumi atau tsunami, pemboman dan gejala keracunan, termasuk juga aktivitas vulkanik.
"Pada saat di Aceh ada gempa besar air surut duluan, ikan-ikannya kelihatan dan orang-orang jadi mencari ikan duluan baru tsunaminya datang, kalau di Ambon fenomenanya berbeda," ujarnya.
Menanggapi polemik mengenai gempa Palu pada 2018 yang mirip dengan gempa Ambon bisa tiba-tiba saja menyebabkan tsunami, Nugroho menegaskan gempa tektonik yang terjadi di dua wilayah tersebut memiliki sistem yang sama sekali berbeda.
"Gempa Palu ada satu gempa utama dan setelahnya memang mirip dengan di Ambon, tapi sistemnya tidak sama. Jangan dibandingkan karena di Palu ada banyak sesar mendatar, sesar Palu Koro dari selatan naik ke utara, sesar Tambarama dari atas naik ke utara lagi, di sana ketemu dengan zona subduksi," ujar ahli geologi dan juga peneliti tsunami ini.
Ia menjelaskan selama ini pakar dan ahli gempa maupun tsunami berpatokan bahwa peristiwa tsunami hanya bisa terjadi apabila gempa terjadi di laut dengan magnitudo lebih dari 7,00, dan sumber gempa adalah pergerakan bidang patahan dengan mekanisme sesar naik.
Setelah gempa Palu terjadi, kata dia, pengetahuan mengenai kegempaan dan model pemetaan gempa dan tsunami di seluruh dunia diperbaiki kembali.
"Menurut pengetahuan sebelumnya, gempa seperti yang terjadi di Palu tidak akan terjadi tsunami karena kejadiannya di darat, magnitudnya rendah dan tipenya sesar mendatar, di manapun di dunia orang bilang tidak ada tsunami, makanya BMKG mencabut peringatan dini tsunami karena memang tidak ada yang seperti itu sebelumnya," ujar Nugroho.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019