Menko Polhukam Wiranto diserang orang tak dikenal, menderita dua tusukan di bagian perut sebelah kiri saat berada persis di pinggir lapangan Alun-Alun Menes, Pandeglang, pada 10 Oktober 2019 siang.
Meskipun menjelang akhir masa sama kabinet pertama Jokowi, totalitas Wiranto tetap stabil, fokus bekerja memberikan yang terbaik sebagai wujud pengabdiannya bagi negeri ini. Sehari sebelumnya ia masih berada di Wamena, Papua untuk memastikan masyarakat yang terdampak kerusuhan terlayani dengan baik. Tak terbayangkan, betapa lelahnya Wiranto sepulang dari Wamena. Sebagai orang yang menjunjung tinggi komitmen ia tetap meluangkan waktu menghadiri undangan pengurus Universitas Mathla'ul Anwar. Meskipun Sekretaris Pribadinya sempat mengusulkan agar kunjungan itu diwakilkan. Tapi beliau memutuskan untuk hadir. Baginya komitmen adalah harga diri.
Selepas acara, tak lama menjejakkan langkah turun dari mobil menuju helikopter yang akan ditumpanginya guna menghadiri acara lain di Jakarta, tiba-tiba seorang pria secara brutal menghunuskan sebilah pisau, sigap ia lekas menghindar. Sayangnya pisau terlanjur menusuk bagian perutnya. Beruntung Wiranto selamat.
Lekas ia diamankan ke dalam mobil. Bagian perut dirasakan cukup sakit, ternyata ada luka cukup dalam, ia menutupi luka dengan pakaian dari ajudannya, menahan darah yang mengucur cukup deras. Dalam kondisi sadar, sepanjang jalan Wiranto terus beristighfar, diselingi dzikir “Subhanallah” serta mengucapkan kalimat _“Laa hawla wa laa quwwata Illa billah”_. Lafadz itu terus terucap dari mulutnya, sambil menahan rasa sakit.
Apapun alasannya, tidak pantas pelaku berbuat demikian meskipun atas dasar urusan personal sekalipun. Menyerang Wiranto sama saja menghantam simbol aparatur negara. Belum diketahui persis motif pelaku. Tentu ini problem serius; entah apa yang menggerakkan pelaku hingga nekat melakukan tindakan konyol itu.
Ada dugaan mendasar sebetulnya: lantaran kebencian yang tertanam doktrin seakan Wiranto adalah musuh yang dihalalkan darahnya. Doktrin yang disebarkan dan ditanamkan secara massif oleh orang-orang yang sudah terpapar radikalisme. Hal itu diperparah oleh pemahaman sebagian orang yang tidak bisa menerima adanya perbedaan, sehingga sanggup berbuat keji.
Wiranto tak gentar. Penuh ketabahan. Tiada umpatan kasar yang terdengar dari mulutnya. Tentu terbayang oleh kita, bagaimana rasanya menahan sakit selama hampir satu jam perjalanan menuju rumah sakit.
Tiba di RSUD, Pandeglang, luka tusukan di bagian perut langsung mendapat penanganan awal. Setelah itu, Wiranto segera diterbangkan ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Jarak tempuhnya membutuhkan waktu 30 menit. Bagian perut yang luka akibat tusukan senjata tajam kembali mengeluarkan darah. Dalam perjalanan kondisinya tetap sadar, tentu sambil menahan rasa sakit yang luar biasa.
Setibanya di RSPAD, langsung ditangani secara intensif dan dokter memutuskan untuk mengambil tindakan operasi di bagian perut lantaran akibat tusukan ditemukan luka di bagian usus halus, sehingga usus halusnya mesti dipotong sepanjang 40 cm.
Entah setan apa yang merasuki pelaku penusukan. Agaknya orang yang tidak siap menerima perbedaan, dan merasa memperjuangkan kebenaran absolut justru tergerak untuk melakukan sesuatu yang paling tidak manusiawi. Padahal, kenyataan mutlak bersifat plural. Pelaku seolah terjebak pada ‘logika fragmentaris’ di mana merasa alergi menjumpai yang lain; seperti yang berbeda agama, suku, ras atau perbedaan keyakinan dan seterusnya. Mereka lupa, perbedaan adalah anugrah pemberian Tuhan yan harus disyukuri.
Maka bagi mereka yang fanatik, mengobarkan permusuhan jadi satu-satunya jalan menegakkan kebenaran versinya. Kendati sungguh mengherankan, betapa tidak, bayi yang lahir dari ayah dan rahim Ibu yang sama saja pasti berbeda. Tugas kemanusiaan kita adalah berusaha memahami yang liyan, dan pentingnya mengedepankan etika resiprokal.
Patut selalu diingat bahwa agama apapun mengajarkan toleransi, rasa persaudaraan, dan kedamaian. Membunuh bukan sesuatu yang dikehendaki Tuhan. Membuat orang lain menderita tentu tidak diajarkan agama apapun.
Desas-desus rencana pembunuhan Wiranto memang sempat ramai, sayangnya itu tidak membuat Wiranto khawatir. Dan tetap melaksanakan aktivitas tanpa pengawalan yang ketat. Peristiwa penyerangan dan penusukan itu telah terjadi, hampir merenggut nyawanya.
Tindakan upaya percobaan pembunuhan Wiranto jelas sangat keji. Tetapi tak kalah biadab lagi, mereka yang memfitnah Wiranto bahwa kejadian itu sekedar _framing_ dan sandiwara belaka. Bahkan ada yang lebih sadis lagi, menuduh peristiwa penusukan itu hanya settingan untuk mencari perhatian. Entah sebutan apa yang pantas untuk mereka yang sengaja menebar fitnah keji itu.
Alhamdulillah, pasca operasi kondisi Wiranto membaik, meski tetap harus menjalani perawatan. Ia percaya, bahwa Tuhan sebaik-baiknya tempat bersandar. Semoga Allah SWT tetap mencurahkan kasih sayang-Nya. Dan semoga Tuhan melindungi Wiranto, menyelamatkannya dari tindakan jahat orang-orang yang sesat.
*) Penulis adalah tenaga ahli Menkopolhukam
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
Meskipun menjelang akhir masa sama kabinet pertama Jokowi, totalitas Wiranto tetap stabil, fokus bekerja memberikan yang terbaik sebagai wujud pengabdiannya bagi negeri ini. Sehari sebelumnya ia masih berada di Wamena, Papua untuk memastikan masyarakat yang terdampak kerusuhan terlayani dengan baik. Tak terbayangkan, betapa lelahnya Wiranto sepulang dari Wamena. Sebagai orang yang menjunjung tinggi komitmen ia tetap meluangkan waktu menghadiri undangan pengurus Universitas Mathla'ul Anwar. Meskipun Sekretaris Pribadinya sempat mengusulkan agar kunjungan itu diwakilkan. Tapi beliau memutuskan untuk hadir. Baginya komitmen adalah harga diri.
Selepas acara, tak lama menjejakkan langkah turun dari mobil menuju helikopter yang akan ditumpanginya guna menghadiri acara lain di Jakarta, tiba-tiba seorang pria secara brutal menghunuskan sebilah pisau, sigap ia lekas menghindar. Sayangnya pisau terlanjur menusuk bagian perutnya. Beruntung Wiranto selamat.
Lekas ia diamankan ke dalam mobil. Bagian perut dirasakan cukup sakit, ternyata ada luka cukup dalam, ia menutupi luka dengan pakaian dari ajudannya, menahan darah yang mengucur cukup deras. Dalam kondisi sadar, sepanjang jalan Wiranto terus beristighfar, diselingi dzikir “Subhanallah” serta mengucapkan kalimat _“Laa hawla wa laa quwwata Illa billah”_. Lafadz itu terus terucap dari mulutnya, sambil menahan rasa sakit.
Apapun alasannya, tidak pantas pelaku berbuat demikian meskipun atas dasar urusan personal sekalipun. Menyerang Wiranto sama saja menghantam simbol aparatur negara. Belum diketahui persis motif pelaku. Tentu ini problem serius; entah apa yang menggerakkan pelaku hingga nekat melakukan tindakan konyol itu.
Ada dugaan mendasar sebetulnya: lantaran kebencian yang tertanam doktrin seakan Wiranto adalah musuh yang dihalalkan darahnya. Doktrin yang disebarkan dan ditanamkan secara massif oleh orang-orang yang sudah terpapar radikalisme. Hal itu diperparah oleh pemahaman sebagian orang yang tidak bisa menerima adanya perbedaan, sehingga sanggup berbuat keji.
Wiranto tak gentar. Penuh ketabahan. Tiada umpatan kasar yang terdengar dari mulutnya. Tentu terbayang oleh kita, bagaimana rasanya menahan sakit selama hampir satu jam perjalanan menuju rumah sakit.
Tiba di RSUD, Pandeglang, luka tusukan di bagian perut langsung mendapat penanganan awal. Setelah itu, Wiranto segera diterbangkan ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Jarak tempuhnya membutuhkan waktu 30 menit. Bagian perut yang luka akibat tusukan senjata tajam kembali mengeluarkan darah. Dalam perjalanan kondisinya tetap sadar, tentu sambil menahan rasa sakit yang luar biasa.
Setibanya di RSPAD, langsung ditangani secara intensif dan dokter memutuskan untuk mengambil tindakan operasi di bagian perut lantaran akibat tusukan ditemukan luka di bagian usus halus, sehingga usus halusnya mesti dipotong sepanjang 40 cm.
Entah setan apa yang merasuki pelaku penusukan. Agaknya orang yang tidak siap menerima perbedaan, dan merasa memperjuangkan kebenaran absolut justru tergerak untuk melakukan sesuatu yang paling tidak manusiawi. Padahal, kenyataan mutlak bersifat plural. Pelaku seolah terjebak pada ‘logika fragmentaris’ di mana merasa alergi menjumpai yang lain; seperti yang berbeda agama, suku, ras atau perbedaan keyakinan dan seterusnya. Mereka lupa, perbedaan adalah anugrah pemberian Tuhan yan harus disyukuri.
Maka bagi mereka yang fanatik, mengobarkan permusuhan jadi satu-satunya jalan menegakkan kebenaran versinya. Kendati sungguh mengherankan, betapa tidak, bayi yang lahir dari ayah dan rahim Ibu yang sama saja pasti berbeda. Tugas kemanusiaan kita adalah berusaha memahami yang liyan, dan pentingnya mengedepankan etika resiprokal.
Patut selalu diingat bahwa agama apapun mengajarkan toleransi, rasa persaudaraan, dan kedamaian. Membunuh bukan sesuatu yang dikehendaki Tuhan. Membuat orang lain menderita tentu tidak diajarkan agama apapun.
Desas-desus rencana pembunuhan Wiranto memang sempat ramai, sayangnya itu tidak membuat Wiranto khawatir. Dan tetap melaksanakan aktivitas tanpa pengawalan yang ketat. Peristiwa penyerangan dan penusukan itu telah terjadi, hampir merenggut nyawanya.
Tindakan upaya percobaan pembunuhan Wiranto jelas sangat keji. Tetapi tak kalah biadab lagi, mereka yang memfitnah Wiranto bahwa kejadian itu sekedar _framing_ dan sandiwara belaka. Bahkan ada yang lebih sadis lagi, menuduh peristiwa penusukan itu hanya settingan untuk mencari perhatian. Entah sebutan apa yang pantas untuk mereka yang sengaja menebar fitnah keji itu.
Alhamdulillah, pasca operasi kondisi Wiranto membaik, meski tetap harus menjalani perawatan. Ia percaya, bahwa Tuhan sebaik-baiknya tempat bersandar. Semoga Allah SWT tetap mencurahkan kasih sayang-Nya. Dan semoga Tuhan melindungi Wiranto, menyelamatkannya dari tindakan jahat orang-orang yang sesat.
*) Penulis adalah tenaga ahli Menkopolhukam
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019