Sudah sejak kurang lebih 20 tahun yang lalu, sudah diberlakukan aturan, seharusnya perawat dalam melakukan asuhan keperawatan wajib memiliki STRP dan SIPP. Namun, kenyataannya masih ditemukan perawat yang belum memiliki STRP dan SIPP dalam menjalankan praktik keperawatan. Siapakah yang bertanggungjawab dalam kondisi seperti ini?
 
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pasal 63 tentang kesehatan dinyatakan bahwa penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengendalian, pengobatan dan atau perawatan serta dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.

Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

Idealnya, perawat dalam memberikan asuhan keperawatan sudah memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat (STRP) dan Surat Ijin Praktik Perawat (SIPP) sebagai bentuk perlindungan dan kepastian hukum bagi perawat dan klien, serta untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan keperawatan.  
 
Untuk memberikan legislasi bagi setiap perawat dalam pemberian asuhan keperawatan, maka diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan N0.647/Menkes/SK/IV/2000 tentang Registrasi dan Praktik Perawat dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001. Demikian pentingnya registrasi dan ijin praktik bagi perawat ini sehingga termuat juga pada Undang-Undang No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, dan pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2019 sebagai peraturan pelaksanaan UU Nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan.

Walaupun peraturan tentang registrasi dan praktik perawat ini telah berlaku di Indonesia sejak 20 tahun yang lalu, tetapi kenyataannya belum dapat diterapkan secara merata di seluruh pelosok negeri ini. Di Rumah Sakit Tingkat III Brawijaya (2019), hanya terdapat 87,97 % STR aktif dari 133 bidan dan perawat (Safitri, 2020).

Di institusi pelayanan kesehatan lainnya, terdapat 124 perawat yang memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Namun, hanya terdapat 39 % perawat yang memiliki STR aktif  dan 21 % perawat yang memiliki SIPP perawat aktif (Data Rumah Sakit X, 2020).

Yang menjadi pertanyaan pada kondisi seperti ini adalah siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah pemerintah daerah? Apakah dinas kesehatan? Apakah institusi tempat bekerja? Apakah organisasi profesi? Atau apakah perawat sendiri? Atau.... pertanyaan lainnya adalah mengapa kondisi ini dapat terjadi? Apakah ada sistem yang seharusnya dapat diperbaiki? Jika terdapat masalah dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan, apakah yang dapat melindungi perawat? Apakah perawat sudah mengetahui perundangan ini? Bagaimana dengan institusi tempat bekerja, apakah sudah mengetahui sanksi dari memperkerjakan perawat tanpa STR?

Ketidakpemilikan STRP ini juga terjadi pada perawat E dan D di RSU Y, Meulaboh Kabupaten Aceh Barat (2018), yang akhirnya dipenjara 2 tahun akibat terjadi dugaan kelalaian yang telah dilakukan. (Detik.com, 2020).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 pasal 39, menyatakan bahwa pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang mempekerjakan perawat tanpa izin dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada UU Keperawatan Nomor 38 tahun 2014, pasal 38, dinyatakan bahwa terhadap perawat yang sengaja melakukan praktik keperawatan tanpa izin (tidak memiliki STR, SIK atau SIP), dipidana sesuai ketentuan pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 yaitu dipidana denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Sedangkan UU RI nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan pasal 85 ayat 1 yang menyatakan setiap tenaga kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Jika institusi tempat perawat bekerja, menegakkan aturan registrasi dan adanya ijin perawat sesuai peraturan yang berlaku, maka timbul masalah baru yakni siapakah yang akan melakukan asuhan keperawatan bagi klien? Namun, jika peraturan ini belum diterapkan, apakah institusi tetap akan melanggar aturan? Jika terjadi kelalaian atau malpraktik yang dilakukan perawat saat bekerja, siapakah yang akan bertanggungjawab? Perawatkah atau institusi tempat bekerja?

Kondisi belum adanya STR dan SIPP bagi perawat ini tidak terlepas juga dari tanggung jawab organisasi profesi. Apakah organisasi profesi (PPNI) telah bekerja maksimal sebagai pemersatu, pembina, pengembang, dan pengawas keperawatan di Indonesia khususnya di wilayah atau daerah masing-masing? Apakah organisasi profesi sudah memiliki data tentang keanggotaannya? Ataukah kondisi ini dapat terjadi karena sikap anggota profesi sendiri yang tidak pro aktif dalam menerapkan aturan ini? Atau perolehan 25 SKP sebagai salah satu persyaratan dalam pengurusan STR menjadi terkendala?

Perolehan 25 SKP sebelum masa pandemic covid 19 kemungkinan bisa dianggap sebagai penghalang dalam persyaratan pengurusan STR. Tetapi, sekarang dalam masa pandemic covid 19 ini, dengan begitu banyak zoomminar atau webinar yang diselenggarakan oleh PPNI pusat, perolehan 25 SKP bukan merupakan penghalang lagi. Tetapi, mengapa tenaga profesi perawat belum juga memiliki STR? Apakah karena perawat belum menyadari atau mengetahui pentingnya legislasi dalam kepemilikan STRP atau SIPP? Ataukah belum secara tegas diterapkan aturan ini?

Untuk mengatasi permasalahan ini, maka penulis merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut :  
1.    Bagi pemerintah, perlu mengisyaratkan salah satu persyaratan mutlak dalam penerimaan test CPNS maupun tenaga honorer yaitu adanya persyaratan memiliki STR bagi tenaga kesehatan  
2.    Bagi institusi tempat pelayanan kesehatan, dapat membantu perawat dalam mengurus kepemilikan STRP dan SIPP dengan bekerja sama dengan DPD atau DPW PPNI dalam jangka waktu yang disepakati. Jika telah melewati jangka waktu yang disepakati, institusi tempat pelayanan, wajib menerapkan peraturan registrasi dan perijinan bagi perawat sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum.
3.    Organisasi profesi seyogyanya dapat mensosialisasikan peraturan registrasi dan perijinan kepada anggota profesi dalam menjalankan fungsi sebagai pembina, pengembang, dan pengawas keperawatan.  
 
Sumber :  
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No__26_Th_219_ttg_Peraturan_Pelaksanaan_UU_Nomor_38_Tahun_2014_tentang_Keperawatan.pdf diakses tanggal 28 Desember 2020
KMK-No-HK-01-07-MENKES-425-2020-ttg-Standar-Profesi-Perawat.pdf diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt506c3ff06682e/pembuatan-undang-undang/#_ftn1
Safitri, W, et all. 2020. Analisis Faktor Kedisiplinan Perpanjang STR Perawat dan Bidan. Jurnal Keperawatan dan Profesi Ners IJPN Vol 1 NO 1, Juni 2020 diakses dari journal.umg.ac.id tanggal 27 Desember 2020
 

*) Penulis : Susana Helen Tanlain, S.Kep.,Ns - Mahasiswa Magister Ilmu Keperawatan Peminatan Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Universitas Indonesia

Pewarta: Susana Helen Tanlain

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2020