Willy melihat sampai saat ini pemerintah Indonesia masih berkomitmen untuk menyusun ulang RUU KKR guna membuat dasar hukum untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM, seperti sejumlah pelanggaran berat pada masa lalu.
"Pak Yusril (Menko Kumham Imipas) masih berkomitmen untuk menyusun ulang, cuma kalau itu sudah diputuskan oleh MK tidak dilanjut, itu bisa jadi kendala, artinya sudah ada keputusan MK, kalau sudah ada keputusan MK harus diperhatikan lagi," kata Willy kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Ia mengungkapkan bahwa UU KKR belum masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sehingga tidak ada rencana untuk dibahas.
"Belum, belum masuk Prolegnas. Kalau Prolegnas jangka menengah atau tidak, nanti saya harus cek lagi, soalnya saya sudah tidak di Baleg," ujar anggota dewan tersebut.
Meski begitu, lanjut dia, Pemerintah dan DPR tetap berkomitmen memperkuat pembangunan HAM di Indonesia sehingga ke depan akan lebih bersinergi atau berkolaborasi intens untuk menyelesaikan rencana itu.
Willy menambahkan bahwa penguatan HAM butuh dukungan dari semua pihak, baik dari sisi regulasi untuk penegakan maupun edukasi lebih lanjut kepada masyarakat maupun semua stakeholder, terkait dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Oleh sebab itu, keterlibatan membahas RUU itu tidak cukup hanya di Pemerintah dan DPR, tetapi harus melibatkan lembaga seperti Komnas HAM dan organisasi atau pegiat lainnya.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Pemerintah di bawah Presiden RI Prabowo Subianto berkomitmen membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) baru terkait hak asasi manusia (HAM).
Upaya itu, kata Yusril, untuk meneruskan kebijakan sebelumnya yang sudah dimulai pada pemerintahan presiden ke-7 RI Joko Widodo.
"Kemudian juga sudah ditindaklanjuti sebagian, dan masih akan terus dilanjutkan oleh Pemerintah yang baru sekarang ini. Dalam pada itu memang sudah ada draf atau konsep tentang Rencana Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang mudah-mudahan mengadopsi prinsip-prinsip universal tentang KKR ini yang dipelajari dari banyak negara," kata Yusril saat menghadiri peringatan Hari HAM Sedunia di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta, Selasa (10/12).
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi melalui Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006. MK menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaan norma yang ada di dalam UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak memiliki kepastian hukum untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan.
Putusan MK itu dibacakan dalam sidang pleno Kamis, 7 Desember 2006 yang dipimpin Ketua MK ketika itu Jimly Asshiddiqie. Sementara itu, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (sekarang Ketua Majelis Kehormatan MK) mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion).
Menurut Palguna, permohonan uji materi yang diajukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 65 (LPKP 65), dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB) itu seharusnya tidak dapat diterima.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ketua Komisi XIII: Putusan MK bisa jadi kendala dalam menyusun RUU KKR