Miris. Tidak sampai enam bulan, ada enam teman baik yang telah pergi meninggalkan jagat kewartanan di Jawa Timur, yang alami lonjakan kasus COVID-19. Perginya pun bersama virus yang datang tanpa kompromi dan tanpa kecuali.

Sebuah media online mencatat 38 wartawan Jatim meninggal dunia pada masa pandemi Covid-19, termasuk beberapa teman baik penulis yang harus kalah dalam "perang" antara jurnalis versus Covid-19. Innalillahi...

Pertama, Yuyung Abdi, fotografer senior di Surabaya, yang meninggal dunia saat dirawat di RS Unair, Surabaya pada Selasa (16/2/2021) pukul 09.00 WIB. Ia sempat mendapat perawatan intensif selama dua minggu karena positif Covid-19.

Siapa yang tidak kenal dengan koordinator foto di Jawa Pos yang juga penulis buku "Prostitusi 60 Kota" itu. Dosen fotografi yang doktor lulusan sosiologi bidang fotografi di Unair itu dikenal rendah hati, ulet, sopan, lembut, dan tidak pernah merasa senior.

Baca juga: Dengan protokol COVID-19, Istri Gubernur Sultra dimakamkan di samping pusara neneknya

Kedua, mantan Wakil Ketua PWI Jawa Timur, H Abu Bakar Yarbo yang meninggal dunia pada Jumat (19/2/2021) pukul 19.10 WIB. Ia sempat terpapar Covid-19 setelah mengikuti rombongan KONI Jawa Timur ke Papua, karena dia juga merupakan Humas KONI Jawa Timur.

Saat menjalani tes Covid-19 di Jayapura, jurnalis yang juga wartawan senior di Harian Memorandum itu sempat dinyatakan negatif, namun sepulang dari Jayapura menjalani tes Covid-19 lagi dan hasilnya positif COVID-19. Almarhum sempat dirawat intensif di RS Unair Surabaya selama sekitar tujuh hari.

Ketiga, mantan Kepala Biro Detikcom Surabaya, Budi "Uglu" Sugiharto (47), yang mengembuskan nafas terakhir pada Selasa (16/3/2021) sekitar pukul 06.00 WIB di RS PHC Surabaya.

Mantan fotografer senior di Surabaya Post dan Memorandum itu mengembuskan nafas terakhir setelah berjuang melawan penyakit stroke yang dideritanya dalam beberapa waktu terakhir. Tim medis menyatakan kondisi dia negatif Covid-19, meski sempat dinyatakan positif Covid-19 setelah vaksinasi PWI Jawa Timur, 27 Februari 2021.

Lulusan Stikosa-AWS jurusan jurnalistik yang pernah menjadi stringer jurnalis foto kantor berita asing seperti Reuters, AP, maupun AFP untuk Jawa Timur, sempat meliput demo reformasi tahun 1998 di Surabaya, kasus Bom Bali 1 pada 2002, Lumpur Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo dan sempat menggelar pameran foto bersama dan tunggal.

Teman seperjuangan penulis di dunia jurnalistik dan terakhir mengikuti vaksinasi bersama oleh PWI Jawa Timur itu merupakan pendiri media online bernama Jatimnow dan menjadi pimpinan redaksi. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak.

Baca juga: Berpulangnya Bupati Bekasi yang wafat akibat COVID-19

Keempat, satu lagi sahabat yang sama dengan penulis bekerja di LKBN ANTARA yakni Saiful Bahri, pewarta foto yang ditugaskan LKBN ANTARA di Pulau Madura, pun telah meninggal dunia di RSUD dr Slamet Martodirjo, Pamekasan, Pulau Madura, pada Kamis pagi, 1 Juli 2021.

Senin, 21 Juni 2021, dia masih sempat mengabadikan foto yang memberitakan lonjakan kasus infeksi virus Korona di Kabupaten Pamekasan, Pulau Madura. Foto liputan di RSUD itu ternyata menjadi karya jurnalistik terakhirnya dan almarhum juga meninggal di RSUD itu.

Tragisnya, foto tentang kondisi penanganan pasien yang diduga terpapar varian baru Covid-19 itu "dibayar" almarhum dengan jiwanya, suatu tindakan yang sangat berani dan berisiko tinggi untuk masuk rumah sakit guna mengambil foto penanganan pasien Korona.

Keesokan harinya selepas liputan di RSUD, dia merasakan kondisi badannya mulai sakit dengan gejala batuk-batuk, kemudian dia berinisiatif diuji usap polymerase chain reaction dan hasilnya keluar pada 25 Juni 2021 dengan dinyatakan positif Covid-19.
Covid-19. Pria kelahiran Sampang, 3 Maret 1968, yang bersama keluarganya telah lama tinggal di Kabupaten Pamekasan itu memutuskan menjalani isolasi mandiri di rumah. Namun, karena kondisi kesehatannya tak kunjung membaik, pada 29 Juni 2021, Saiful Bahri pun dirawat di RSUD dr Slamet Martodirjo, Pamekasan.

Namun, takdir berbicara lain, fotografer yang dikenang sebagai jurnalis senior yang tidak pernah meninggalkan para juniornya di medan liputan konflik itu mengembuskan nafas terakhir pada 1 Juli 2021 sekitar pukul 07.00 WIB. Ya, tidak ada berita seharga nyawa, tapi dia justru "membayar" foto pasien varian baru COVID-19 itu dengan nyawanya!.

Baca juga: Erick Thohir berduka atas meninggalnya dr Novilia, ketua uji klinis vaksin Sinovac

Kelima, mantan wartawan Karya Dharma dan SCTV Biro Surabaya, Hansen (Hasan Sentot), meninggal dunia pada 5 Juli 2021, meski kehilangan atas kepergian sederetan rekan penulis yang sebelumnya itu pun belum sepenuhnya hilang.

Jurnalis senior asal Banyuwangi itu sempat meninggalkan dunia kewartawanan menjelang wafat dan sempat ingin merintis media online lokal di Banyuwangi dengan meminta rekan-rekan wartawan seperjuangannya untuk membantu media rintisannya itu menjadi anggota AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia), namun cita-citanya belum sempat terwujud.

Keenam, berita duka datang dari Tempo. Seorang wartawan senior Tempo, Zed Abidin (Mojokerto), meninggal dunia pada Sabtu (17/7/2021) subuh. Berita duka itu dibenarkan seorang teman Tempo bahwa almarhum wafat akibat Covid-19.

Peliputan "perlawanan" COVID-19

Tentu, teman-teman baik yang pergi itu tidak harus bertambah terus dan terus. Perginya teman-teman baik penulis itu melengkapi 38 wartawan Jawa Timur yang tercatat wafat akibat terpapar Covid-19, di antaranya Peter A Rohi (Surabaya), Bondet Hardjito (Sidoarjo), dan jurnalis Jatim lainnya di Pulau Madura, Malang, Pasuruan, Lumajang, dan sebagainya.

Untuk itu, kepergian mereka harus "dibayar" dengan kemenangan dalam peliputan "perang" melawan Covid-19 yang solutif. Sejatinya, Covid-19 itu disebut para ahli sebagai virus yang masih satu rumpun dengan influenza, bahkan merupakan influenza generasi kesekian dari regenerasi influenza dari waktu ke waktu.

Namun, merebaknya virus COVID-19 agak berbeda dengan virus-virus influenza sebelumnya, karena virus Covid-19 datang tidak sendirian, melainkan Covid-19 datang ke tengah-tengah masyarakat dengan ditemani media sosial yang menebarkan "virus" Medsos berupa hoaks-hoaks Covid-19 yang justru "memecah" dan mempersulit "perang" melawan Covid-19.

Teman-teman baik yang akhirnya gugur itu sudah berjibaku menyajikan peliputan informasi dan foto yang akurat di tengah "perang" melawan virus Covid-19, namun keberadaan "virus" hoaks Covid-19 yang menyertai justru mendatangkan kesulitan dalam bentuk kecemasan dan kepanikan manusia dimana-mana hingga manusia akhinya kehilangan logika.

Ya, hoaks sekarang sudah melebihi untuk minum obat yang dosisnya adalah tiga kali sehari, karena hoaks Covid-19 sekarang sudah tercatat lima kali sehari. Faktanya, Kominfo mencatat 1.387 hoaks selama periode Covid-19 pada Maret 2020 hingga Januari 2021. Edan, bukan?!

Baca juga: Kenang Jane Shalimar, AHY: sosok yang baik

Artinya, jurnalisme dengan sajian-sajian informasi yang akurat masih "kalah" dengan virus menewaskan jutaan rakyat Indonesia dan juga ratusan jurnalis yang harus "kalah" melawan Covid-19 itu. Namun, penulis tidak rela dengan "kekalahan" teman-teman jurnalis itu.

Bagaimanapun, jurnalis "harus menang" melawan Covid-19 dengan melipatgandakan peliputan yang "mengalahkan" Covid-19, karena perginya beberapa teman baik karena Covid-19 harus ditebus dengan perlawanan dalam pemberitaan dalam melawan Covid-19 yang semakin "darurat" ini.

Apalagi, bencana merupakan salah satu dari tiga zona peliputan yang harus disikapi "ektra cerdas" karena ada dampak/risiko yang besar bila salah atau keliru dalam kalkulasi peliputan/pemberitaan. Tiga zona peliputan yang perlu "ekstra cerdas" adalah zona bencana, zona konflik, dan zona pariwisata.

Nah, apa peliputan yang "mengalahkan" Covid-19 itu ?! "Virus" berbentuk hoaks-hoaks Covid-19 itu memang merepotkan peperangan melawan virus Covid-19 yang sesungguhnya, karena perlawanan harus "terbagi" dan menguras energi, namun kini sudah saatnya perlawanan dilakukan dengan fokus pada tiga ikhtiar peliputan Covid-19.

Ada tiga ikhtiar peliputan "perlawanan" Covid-19 yang harus menjadi fokus saat ini yakni:
a. peliputan terkait ikhtiar medis,
b. peliputan terkait ikhtiar teologis,
c. peliputan terkait ikhtiar psikologis.

Terkait peliputan "perlawanan" untuk Ikhtiar Medis, maka fokus ikhtiar medis yang penting dioptimalkan dalam peliputan adalah protokol kesehatan (prokes/PPKM/lockdown), vaksinasi, dan obat (belum ditemukan), karena prokes, vaksinasi, dan obat itulah yang dapat menjadi "kunci" dalam pengendalian maraknya penularan Covid-19.

"Prokes dalam ikhtiar medis antara lain istirahat yang cukup atau tidak tidur terlalu larut malam, makanan bergizi seimbang, minum air minimal 1,5 liter atau enam gelas kecil, olahraga atau aktivitas ringan di rumah, dan minum multivitamin atau probiotik," kata Direktur RS 'Aisyiyah Siti Fatimah Tulangan, di Sidoarjo, Jawa Timur, dr Tjatur Prijambodo, MKes.

Terkait peliputan ikhtiar teologis yang penting dioptimalkan dalam peliputan adalah kegiatan doa/dzikir bersama untuk mendoakan pasien yang isolasi mandiri (isoman) atau wafat, seperti doa/dzikir/istighfar untuk pasien isoman, tahlil/pembacaan Alqur'an untuk pasien yang meninggal dunia, dan pandangan agama tentang Covid-19 sebagai takdir yang dihadapi dengan sabar, ikhtiar, dan tawakkal.

"Jadi, protokol medis dan teologisnya adalah memakai masker untuk melindungi fisik dan dzikir untuk melindungi Lahir-Batin, mencuci tangan dan ringan tangan (membantu/sedekah), menjaga jarak dan mmenjaga Iman, menjauhi kerumunan dan menjauhi kemaksiatan, membatasi mobilitas dan ke masjid dengan protokol kesehatan yang ketat, menghindari makan bersama di luar rumah dan jangan makan berlebihan," kata dia.

Terkait peliputan "perlawanan" untuk ikhtiar psikologis adalah mengangkat sisi optimisme dan positif dalam peliputan, seperti peliputan pengalaman pasien Covid-19 yang sembuh, pengalaman relawan atau tenaga kesehatan dalam penanganan pasien Covid-19, dan sisi-sisi kemanusiaan lainnya.

Khusus untuk peliputan ikhtiar psikologis, jurnalis harus piawai dalam melawan informasi hoaks yang merupakan "musuh utama" dalam melawan Covid-19, bahkan sisi-sisi pesimisme dalam penanganan Covid-19 pun wajib "dibuang jauh-jauh" dalam peliputan "perang" yang kini sudah dalam kondisi "darurat" iu.

"Masyarakat (Wuhan) saling menyemangati antar sesama, lalu media tidak meneror dengan pemberitaan negatif, justru menyajikan informasi yang menumbuhkan optimisme, semangat, dan kesembuhan, atau membagikan berita positif dan penuh semangat," kata seorang mahasiswa Indonesia yang sedang studi di China.

Baca juga: Jatuh sakit setelah pertunjukan wayang kulit, Dalang Ki Manteb Soedarsono meninggal dunia

Dalam bukunya berjudul "Bertahan di Wuhan: Kesaksian Wartawan Indonesia di Tengah Pandemi Corona", Kepala LKBN ANTARA Biro Beijing, M Irfan Ilmie, memaparkan cara China mengatasi Covid-19 yakni keputusan pemerintah (tutup wilayah total di Wuhan pada 24/1/2020) yang tanpa perdebatan di ruang publik, apalagi hoaks (halaman 7) disertai sanksi tegas (reward/punishment), seperti wali kota Wuhan dan gubernur Provinsi Hubei yang dicopot karena melanggar kebijakan pusat (halaman 76).

Ya, bencana Covid-19 sudah membuat puluhan dan bahkan ratusan jurnalis yang baik kehilangan nyawanya, karena itu bertambahnya jumlah jurnalis yang menjadi "korban" virus itu harus segera disetop dengan melakukan peliputan yang fokus pada solusi yakni ikhtiar medis, ikhtiar teologis, dan ikhtiar psikologis.

Hal itu sekaligus melakukan perlawanan terhadap virus "hoaks" medsos yang selalu "memainkan/membenturkan" antara kesehatan versus ekonomi dalam pandemi Covid-19. Ya, jurnalis harus "menang" melawan Covid-19 melalui peliputan yang mampu "menghentikan" perkembangan virus itu.

Baca juga: Beristirahatlah dengan damai, begini pengabdian mantan Menlu Mochtar Kusumaatmadja

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021