"Kami tak ingin mengulangi konflik dan perang apa pun, serta ingin meniadakan faktor-faktor konflik,” demikian juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid dalam konferensi pers di Kabul, Selasa (17/8/2021).

Nada rekonsiliatif Taliban juga meliputi janji amnesti kepada siapa pun yang berseberangan dengan mereka, termasuk para penerjemah dan kontraktor yang bekerja untuk pasukan asing sejak 2001.

“Tak ada yang akan melukai Anda, tak ada yang akan mengetuk pintu Anda,” kata Mujahid.

Taliban juga berjanji akan memuliakan apa yang selama ini dikhawatirkan dunia, termasuk PBB, yakni kaum perempuan.

“Hak-hak perempuan akan dihormati. Mereka boleh bekerja, belajar dan aktif bermasyarakat tetapi menurut syariat Islam,” kata Mujahid.

Baca juga: Diplomat Afghanistan puji masyarakat Ambon dalam toleransi beragama

Sekalipun masih disertai kata “tetapi”, pernyataan ini merupakan kemajuan besar untuk kelompok yang selama ini dicap tidak toleran dan tidak mengakui hak-hak perempuan seperti mereka tunjukkan saat berkuasa dari 1996 sampai 2001.

Berubahkah Taliban? Banyak yang pesimistis, tapi tak sedikit pula yang optimistis bahwalplll Taliban sudah berubah. Rusia bahkan melihat wajah "lebih pragmatis" dari Taliban, tidak seperti saat pertama kali mereka berkuasa pada 1996-2001 itu.

Pernyataan Mujahid sendiri sedikit memperkuat bahwa yang selama ini terjadi di lapangan di mana cara Taliban menguasai Afghanistan kali ini lebih elok ketimbang akhir 1990-an.

Mereka kini memadukan diplomasi dan senjata, dengan mau berbicara sama siapa pun, bukan hanya Pakistan, Amerika Serikat dan Qatar, tetapi juga Rusia, Iran dan China.

Salah satu contoh pragmatisme itu terlihat dari cara mereka melancarkan operasi militer yang tak begitu menumpahkan darah, termasuk sewaktu menguasai ibu kota Kabul.

Taliban sekarang berbeda dengan Taliban era 1990-an. Taliban yang sekarang mahir mengintegrasikan instrumen kekuatan militer dan non-militer dalam meluluskan tujuan politiknya, kata Benjamin Jensen, pakar hubungan internasional pada Scowcroft Center for Strategy and Security seperti dikutip Atlantic Council.

Pemerintah Afghanistan dikalahkan oleh sebuah organisasi militer yang lebih adaptif, selain karena korupsi yang akut. Taliban tak perlu teori-teori militer canggih dari pakar-pakar strategis seperti Carl von Clausewitz. Mereka hanya mengandalkan teori kemenangan menyeluruh yang dipandu oleh gabungan ofensif politik dan manuver militer.

Taliban pun berubah menjadi kelompok militer yang bisa merangsek segala lini. Mereka tak lagi mengandalkan penyergapan dan teror bom untuk melemahkan musuh, melainkan dengan mengelola 80.000 laskarnya yang piawai memanfaatkan media sosial sama terampilnya dengan mengokang AK-47.

Mereka menggabungkan operasi informasi, termasuk memanfaatkan seruan tetua-tetua suku dan rangkaian pesan teks serta Twitter, dengan perintah terdesentralisasi yang membuat komandan-komandan lapangan yang mengetahui medan dan politik di wilayahnya bisa mengidentifikasi peluang dari setiap inisiatif.

Begitu operasi militer berhasil, mereka menguatkan operasi militer itu dengan menggelarkan pasukan semacam komando untuk memacu tempo ofensif militer.

Baca juga: Mantan Presiden Sepak Bola Afghanistan kena skors seumur hidup
 
Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani bertemu dengan Mullah Abdul Ghani Baradar, kepala biro politik Taliban, di Doha, Qatar, Selasa (17/8/2021). Qatar News Agency/Handout via REUTERS/HP/djo (VIA REUTERS/QNA)

Implikasi geopolitis

Aspek pragmatisme Taliban lain yang bisa disebut adalah mengawinkan sukses di medan perang dengan sukses di meja perundingan, paling tidak dengan mengelola waktu demi mencegah manuver militer dari musuh utama (Amerika Serikat) yang memang sudah ingin meninggalkan Afghanistan setelah menghabiskan 2 triliun dolar AS (Rp28.794 triliun) selama 20 tahun bercokol di negeri ini.

Taliban mematuhi syarat-syarat AS di meja perundingan, tetapi di lapangan mereka melancarkan ofensif militer yang terukur. Ketidakhadiran pemerintah Afghanistan dalam meja perundingan yang diperantarai Qatar telah dimanfaatkan betul oleh Taliban untuk membuat pemerintah dan militer Afghanistan mengalami disorientasi sehingga selalu kehilangan momentum dalam menjawab aksi Taliban.

Menurut Jensen, strategi militer Taliban berpijak kepada empat hal, yakni (1) mengisolasi militer Afghanistan sehingga rantai komando mereka terputus tak bisa berkomunikasi, (2) memadukan ancaman dan seruan untuk memutus dukungan publik kepada pemerintah, (3) menerapkan bentuk baru teror dengan cara membunuh sasaran-sasaran penting seperti komandan-komandan militer dan para pilot pesawat tempur Afghanistan di rumahnya sehingga mesin-mesin perang tak bisa dioperasikan manakala pasukan darat Afghanistan membutuhkan dukungan udara, dan (4) bernegosiasi untuk mengulur-ulur waktu sembari terus melancarkan manuver militer tanpa melanggar komitmen tidak menyerang pasukan AS.

Metode ini menunjukkan Taliban beradaptasi baik dengan situasi yang berbeda dengan saat mereka pertama kali berkuasa pada 1996. Pragmatisme ini mencerminkan pemahaman Taliban bahwa mereka paham Afghanistan era ini tak bisa ditaklukkan dengan memakai cara-cara era 1990-an.

Mujahid menyatakan Taliban akan menghormati hak-hak perempuan, tapi menekankan“syariat Islam". Ini juga bentuk pragmatisme yang berusaha menyeimbangkan aspirasi ideologis Taliban dan kesediaan menjawab realitas zaman yang berubah.

Mereka meminta pejabat-pejabat pemerintah tetap pada posisi teknisnya guna memastikan layanan dasar dan ekonomi terus berfungsi. Dengan cara ini, mereka tak mengulangi kesalahan 1996 yang mengesampingkan hampir siapa pun yang akibatnya tak bisa memperbaiki kehidupan empat puluh juta penduduk negeri ini.

Sejarah membuktikan memenangkan perang itu lebih mudah daripada merawat kemenangan. Inggris, Uni Soviet dan AS dengan mudah menguasai Afghanistan tapi mereka tak bisa mengelola kemenangan itu dan akhirnya dipaksa angkat kaki dengan cara yang memalukan.

Tetapi pemerintahan- pemerintahan Afghanistan sebelum ini, entah dengan atau tanpa patronasi asing, juga selalu sulit mempersatukan dan membangun negeri ini. Korupsi dan sektarianisme yang akut telah membunuh kesempatan negeri ini dalam membangun diri.

Situasi itu diperumit oleh kepentingan baik langsung maupun tidak langsung negara-negara tetangga yang secara geopolitis dan ekonomi berkepentingan dengan apa yang terjadi di Afghanistan.

Afghanistan memang dikepung oleh tetangga-tetangga yang kepentingannya menjalar ke mana-mana. Di selatan dan timur, mereka berbatasan dengan Pakistan dan China di daerah otonomi Xinjiang di mana gerakan minoritas etnis Uighur menciptakan masalah tersendiri bagi China.

Di utara, Afghanistan berbatasan dengan tiga negara Asia Tengah bekas satelit Uni Soviet yang menginvasi mereka dari 1978 sampai 1992.

Ketiga negara Asia Tengah itu adalah Tajikistan yang mayoritas etnisnya sama dengan 20 persen penduduk etnis Tajik di Afghanistan. Negara ini adalah satu dari enam negara anggota Organisasi Pakta Keamanan Kolektif pimpinan Rusia yang memiliki pasukan dan pangkalan militer di Tajikistan.

Dua lainnya adalah Turkmenistan dan Uzbekistan yang cenderung membina hubungan baik dengan AS dan Barat, selain Turki.

Sedangkan di barat, Afghanistan berbatasan dengan Iran yang memiliki kesamaan bahasa dan agama dengan etnis Hazara yang merupakan minoritas ketiga terbesar di sana.

Baca juga: Taliban Attacks Afghan Lawmaker's House in Kabul: Police
 
Dipaksa cermat berhitung

Realitas internal dan eksternal ini memaksa Taliban cermat berhitung. Apalagi semua negara ini tak mau kekacauan yang bisa terjadi di Afghanistan membuat repot mereka, termasuk masalah banjir pengungsi.

Negara-negara itu, seperti halnya Barat, PBB dan banyak negara lainnya di dunia ini, juga tak ingin Afghanistan kembali menjadi tempat bernaung kelompok-kelompok teror seperti Alqaeda dan apalagi ISIS.

China bahkan tak mau Afghanistan dimanfaatkan gerakan separatisme di Xinjiang. Kekhawatiran sama dipendam India yang walau tak berbatasan langsung namun secara geografis dekat dengan Afghanistan. India tak mau kelompok-kelompok ekstremis yang berbasis di Pakistan seperti Lashkar-e-Tayyiba memindahkan basis atau mendekat ke Afghanistan.

Hal lain yang memaksa Taliban pragmatis adalah dalam kerangka membangun ekonomi Afghanistan yang menurut Bank Dunia pada 2018 menghabiskan anggaran 11 miliar dolar AS (Rp158 triliun) yang 80 persen di antaranya berasal dari bantuan luar negeri.

Sementara menurut laporan PBB pada Juni 2021, Taliban membiayai dirinya dari produksi opium, perdagangan narkotika, dan penculikan bertebusan yang total memberikan 300 juta dolar AS sampai 1,6 miliar dolar AS (Rp4,3 triliun – Rp23 triliun) per tahun kepada Taliban.

Menepis soal itu, Zabihullah Mujahid memastikan Afghanistan akan bebas dari narkotika. Tapi dia meminta komunitas internasional membantu petani Afghanistan agar tak lagi tergantung kepada menanam opium.

Dari sini terlihat, menghadapi realitas internal dan eksternal yang dulu tak begitu dipedulikan, Taliban berusaha menempuh kompromi demi rekonstruksi Afghanistan.

Apalagi AS seperti dilaporkan AFP, bersumpah tak akan membiarkan Taliban mengakses rekening-rekening AS yang dipakai untuk menyimpan cadangan devisa bank sentral Afghanistan. IMF menaksir cadangan devisa ini mencapai 9,4 miliar dolar AS (Rp135 triliun).

Ini membuat Taliban dipaksa mencari alternatif. China menjadi kemungkinan terbesar yang paling ingin digandeng Taliban, kendati Arab Saudi dan Qatar tak bisa dikesampingkan.

China sendiri kemungkinan mengulurkan tangannya demi pemerintah yang stabil di Afghanistan karena stabilitas di Afghanistan bakal mengamankan asset-asset ekonomi dan Prakarsa Sabuk dan Jalan di Asia Tengah dan Pakistan.

China, Iran dan Rusia adalah pihak yang paling senang AS hengkang dari Afghanistan yang tepat berada di depan hidung mereka. Tetapi mereka, dan semua negara yang berkepentingan dengan Afghanistan, akan terus melihat apa yang akan dilakukan Taliban.

Jika benar berwajah rekonsiliatif, toleran dan inklusif, maka sikap negara-negara itu bakal benar-benar positif untuk kemudian membantu Taliban menggerakkan Afghanistan ke arah lebih baik.

Tapi jika pesan rekonsiliasi itu retorika belaka, maka negara-negara itu bakal mundur, bahkan mungkin bersiap menghadapi kemungkinan terburuk di mana Rusia saja sudah ancang-ancang dengan menggelar latihan bersama Tajikistan.

Bukan hanya itu, konflik internal bisa terus terjadi di Afghanistan, apalagi bibit konflik tetap besar, bahkan wakil presiden Afghanistan Amrullah Saleh bersumpah akan melawan Taliban dari Lembah Panjshir yang tak bisa dijamah siapa pun, termasuk Uni Soviet dan Taliban pada 1990-an.

Jika konflik sampai mengundang kembali masuknya terorisme ke sana, maka bukan hanya AS dan Barat, tapi tetangga-tetangga Afghanistan bakal bertindak dalam kapasitasnya masing-masing, walaupun intervensi tak lagi dilakukan dengan pendudukan militer dalam waktu lama.

Oleh karena itu, Taliban harus serius menunjukkan wajah rekonsiliatif dan inklusifnya seperti mereka janjikan dan diminta oleh negara-negara seperti Qatar dan Saudi yang sangat mereka dengar.

Taliban sendiri sepertinya sudah belajar dari pengalaman masa lalu bahwa negara majemuk seperti Afghanistan yang membutuhkan rekonsiliasi dan inklusivitas untuk mengakhiri perpecahan guna menyatukan dan memajukan dirinya yang sungguh tugas yang jauh lebih berat ketimbang ekspedisi militer.
 

Baca juga: Empat Tewas Dalam Penyerangan Konsulat AS di Afghanistan

Pewarta: Jafar M Sidik

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021