Sedikitnya 600 Warga Negeri Naku, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon menggelar adat "cuci negeri", salah satu tradisi budaya yang digelar setiap tahun menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Pantauan ANTARA, Rabu, acara itu diawali berkumpulnya warga di masing-masing rumah Soa (rumah komunitas marga) untuk menggelar ritual adat masing-masing, sebelum kemudian berkumpul di Baileo (rumah adat). Di Desa Naku terdapat tiga Soa yakni Soa Patti (atau pemimpin), Soa Pessi (yang digolongkan sebagai kelompok kapitan atau panglima perang) dan Soa Huwae. Di Soa Patti berkumpul warga dari marga Pattileuw, de Fretes, Piries, Muskitta dan Gaspersz, sedangkan pada Soa Pessi terdapat empat marga yakni Pesiwerissa, Warella, Alfons dan Polwai. Sedangkan Soa Huwae seharusnya hanya warga dari marga Huwae saja, tetapi karena kebanyakan penduduk bermarga ini telah keluar dan berpencar di beberapa Desa dan Negeri di Ambon dan Maluku Tengah, sehingga dusun atau lahan usahanya dikelola oleh penduduk dari dua soa lainnya, dan mereka kemudian dikelompokkan dalam Soa Huwae. Setelah melakukan ritual di rumah Soa, warga kemudian berjalan menuju Baileo sambil bernyanyi lagu-lagu dalam bahasa adat setempat dan menari diiringi tabuhan alat musik tradisional "tifa", sedangkan kaum ibu membawa seserahan berupa sirih dan pinang serta minuman tradisional sopi. Seserahan ini akan dibagikan kepada warga saat adat cuci negeri dimulai. Setelah warga dari tiga Soa tiba di baileo, mereka diberi arahan dari Upu Latu Tita Parenta (Raja) yang umumnya mengingatkan mereka kembali tentang tradisi adat itu perlu dilakukan setiap tahun sebagai bentuk penghargaan sekaligus melestarikan budaya leluhur mereka. Pendeta kemudian memimpin doa untuk memohon perlindungan sekaligus penyertaan Sang Pencipta terhadap ritual adat itu dan setelah itu barulah tradisi cuci negeri itu dilaksanakan. Warga kemudian beramai-ramai membersihkan parigi (sumur) tua milik masing-masing Soa, sebagai sumber kehidupan, rumah tua dan batu Teung atau batu pamali yang sering digunakan marga atau soa masing-masing untuk melakukan pergumulan jika ada acara keluarga yang akan gelar. Selama prosesi cuci negeri itu berlangsung, semua warga yang terlibat diharuskan meminum kopi dan memakan sirih-pinang sebagai lambang persekutuan adat, sedangkan warga lainnya tetap mengiringinya dengan lagu adat dan tabuhan tifa. "Penyucian diri" Upu Latu Tita Parenta (Raja) Negeri Naku, Charles de Fretes menegaskan, ritual adat cuci negeri yang dilakukan setiap tahun itu, merupakan simbol dan lambang pembersihan dan penyucian diri warga serta dan lingkungan seluruh negeri tersebut menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. "Pembersihan dan penyucian diri ini perlu dilakukan setiap tahun terutama menjelang akhir tahun sehingga dapat menerima berkat saat memulai hidup di tahun yang baru," katanya. Pembersihan dan penyucian itu pun sebagai tanda kesiapan diri warga Naku untuk memasuki tahun yang baru, sekaligus membersihkan berbagai dosa yang dilakukan pada tahun sebelumnya. Dia menegaskan, ritual adat cuci negeri itu dilakukan setiap 29 Desember setiap tahun dan diikuti seluruh warga Negeri itu, termasuk para perantau dari negeri Naku yang pulang kampung untuk merayakan Natal dan Tahun Baru bersama keluarganya. "Adat ini dilakukan setiap tahun guna mengingatkan dan meningkatkan kecintaan anak-cucu negeri Naku akan budaya yang telah ditanamkan para leluhur sejak zaman dahulu, sehingga mereka tidak melupakan adat-istiadatnya," katanya. Dia berharap, ritual adat itu dapat menjadi salah daya tarik wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Ambon maupun Maluku pada umumnya di masa mendatang.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2010