Sekelompok wisatawan lokal begitu asyiknya bercengkarama di unggukan bebatuan yang banyak terdapat di sungai air deras Sungai Kembang, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).

Bebatuan yang berlumut di kawasan destinasi wisata Kalsel tersebut dianggap seperti batu kebanyakan sehingga ada yang sudah rusak, diambil, dan diinjak-injak begitu saja.

Ternyata hasil sebuah penelitian batuan kawasan yang tak jauh dari bendungan Riam Kanan itu bernilai sangat tinggi untuk sebuah penelitian, khususnya sejarah terbentuknya bumi Kalsel.

Hasil sebuah penelitian ternyata batuan Sungai Kembang termasuk batu sekis hijau yang sangat langka di dunia.

"Aku pikir batuan di Sungai Kembang, ya, seperti batu cadas biasa, atau unggukan batubara yang muncul di permukaan sungai, tidak tahu kalau batu tersebut termasuk yang langka," kata seorang pengunjung ketika berada di lokasi tersebut, belum lama ini.

Memang bagi para pengunjung yang datang dari berbagai arah menikmati di Sungai Kembang setelah parkir kendaraan di tebing, turun ke sungai lalu bercebur atau berendam di air deras di banyak bebatuan kawasan tersebut.

"Kami sering sering mandi di Sungai Kembang karena airnya sejuk alamnya indah, dan hanya satu setengah jam dari Banjarmasin," kata Murjani asal Banjarmasin.

Baca juga: Rekam jejak sejarah gempa merusak di Selat Sunda sejak 1851

Sungai Kembang adalah destinasi wisata Kalsel yang banyak didatangi orang untuk menyegarkan badan dan pikiran karena dekat dari perkotaan. Jalan dari Banjarmasin menuju ke objek wisata itu mulus, hingga mudah dari pengendara menjangkau kawasan yang berada di Geopark Meratus itu.

Kepala Bidang Air Tanah, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalsel, Ali Mustofa, ketika dikonfirmasi mengenai uniknya bebatuan Sungai Kembang saat kunjungan Dangsanak Geopark Meratus ke Mandiangin baru-baru ini tak membantah jika bebatuan di lokasi itu bernilai tinggi untuk penelitian asal bumi.

Lokasi Sungai Kembang

Lantaran batuan Sungai Kembang termasuk batu unik dan langka dan tak ditemui di daerah lain, yakni jenis sekis hijau/biru (blue sekis) yang terbentuk akibat penunjaman lempeng pada awal terbentuknya Pegunungan Meratus sekitar 180 juta tahun yang lalu.

Berdasarkan literatur, sekis (bahasa Inggris: schist) adalah salah satu dari jenis batuan metamorf. Batuan ini terbentuk pada saat batuan sedimen atau batuan beku yang terpendam pada tempat yang dalam mengalami tekanan dan temperatur yang tinggi.

Berdasarkan komposisi utama penyusun batuannya yang klorit dapat diketahui bahwa mineral ini terbentuk dari batuan beku basa ataupun ultra basa yang mengalami metamorfosa, dengan pengaruh yang dominan adalah pengaruh tekanan.

Klorit sendiri merupakan mineral ubahan dari olivine ataupun piroksen, mineral ini sangat melimpah pada batuan beku basa ataupun ultra basa. Tekanan mengakibatkan penjajaran-penjajaran mineral pipih dan mineral prismatic.

Diperkirakan batuan ini terbentuk karena metamorfosa regional pada zona penunjaman lempeng, karena metamorfisme pada daerah ini memiliki pengaruh tekanan yang tinggi.

Baca juga: Arkeolog: Morotai bisa jadi koridor wisata wilayah terluar Indonesia, begini penjelasannya

Menurut Ali Mustofa, bukan bebatuan Sungai Kembang saja yang unik di gugusan Geopark Meratus ini, tetapi juga bebatuan yang lain, termasuk salah satunya adalah Jenis batuan plagiogranit yang ditemukan di Gunung Batu Besar Mentewe, Kabupaten Tanah Bumbu.

Batuan di Mentewe juga termasuk langka karena berdasarkan data hanya ada di Athena, Yunani, dan Perancis, katanya.

Ia mengakui memang harus dipastikan lagi, melalui penelitian apakah pasti itu bebatuan plagiogranit, jika itu benar maka Indonesia adalah negara ketiga punya bebatuan jenis itu.

Seorang ahli, Profesor Ibrahim Komoo yang melakukan verifikasi dan meninjau di Kalsel selama empat hari terkait Geopark Pegunungan Meratus untuk menuju UNESCO Global Geopark (UGG) sudah melakukan serangkaian penelitian yang menyebutkan bebatuan tersebut mengarah ke batuan plagiogranit.

Semoga saja itu benar, maka terdapat warisan dunia bernilai tinggi, ujarnya seraya menyebutkan hal tersebut terjadi lantaran proses geologi sejak 180 jt tahun yang lalu. Bumi Kalsel ada pulau Jawa belum ada, kehidupan manusia pun belum ada, katanya sambil tersenyum.

Bumi Kalsel dengan Pegunungan Meratusnya sangat kaya dengan warisan kejadian bumi. Dan ini sudah sangat cocok jika terdaftar UGG, katanya lagi.

Ia juga menuturkan, batuan di bukit Langgara Loksado HSS termasuk jenis batu gamping paling tua di Meratus yang terbentuk sejak zaman kapur. Batu gamping ini merupakan batuan yg terbentuk di laut hasil pengendapan hewan laut jenis orbitulina.

Hasil penelitian menyebutkan batu gamping di Bukit Langara berasal dari fosil binatang laut yang membeku.

"Batu kapur tersebut merupakan yang tertua di wilayah ini," kata Ali Mustofa.

Baca juga: Sultan lantik perangkat adat Kesultanan Ternate, junjung tinggi sejarah dan budaya

Batu ini sudah terbentuk sejak lempeng benua Australia yang bergerak dan menumbuk lempeng Sunda Land yang sekarang berada di lingkungan bersama dengan ofiolit Meratus.

Ali mengungkapkan, Batu Bukit Langara beda dibandingkan batu gamping di daerah lain, seperti batu gamping di daerah Bajuin, Kabupaten Tanah Laut.

Batu Langara dari hasil penelitian geologi justru adalah binatang kerang yang membatu. "Batuan ini sama persis seperti batu gamping yang ada di Australia, rupanya saat jutaan tahun lalu, batu Australia ini migrasi atau terpental ke Gunung Langara ini," tuturnya.

Dengan keunikan serta langka bebatuan di kawasan geopark meeratus ini sudah selayaknya dipublikasikan lagi secara luas, untuk sebuah penelitian, pendidikan, dan objek wisata, tinggal bagaimana memanajemen kawasan Geopark Meratus ini sebagai kawasan yang terpelihara yang akan memberikan manfaat sebesar besarnya pada masyarakat setempat.*

Baca juga: Pengelolaan situs sejarah di Morotai perlu pendekatan partisipatif

Pewarta: Imam Hanafi/hasan zainuddin

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022