Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) dr. Dian Pitawati, SpKJ mengatakan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober merupakan momen untuk menyuarakan dan mengedukasi pentingnya kesehatan mental bagi seluruh masyarakat dunia.
"Setiap tanggal 10 Oktober itu kita peringati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, peringatan ini untuk menyuarakan, mengedukasi tentang kesehatan mental demi kondisi jiwa yang baik bagi seluruh dunia," kata Dian yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) itu saat acara bincang-bincang yang digelar virtual, diikuti di Jakarta pada Senin.
Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini mengusung tema "Make Mental Health and Well-being for all a Global Priority" atau "Jadikan Kesehatan Jiwa dan Kesejahteraan untuk Semua sebagai Prioritas Global".
Dalam menjadikan kesehatan jiwa sebagai isu prioritas, Dian mengatakan edukasi dan sosialisi kepada masyarakat masih sangat diperlukan dengan melibatkan berbagai stakeholder. Apalagi, stigma-stigma negatif mengenai kesehatan mental masih banyak ditemukan di tengah masyarakat Indonesia.
Baca juga: Dokter sampaikan olahraga bermanfaat bagi kesehatan jiwa
"Hambatan dan tantangan kita adalah stigma dan diskriminasi. Kalau misalnya orang sudah menyadari, punya awareness kalau dia harus datang ke praktisi kesehatan mental, tapi ketika ada stigma kemudian diskriminasi, dia akan berpikir ulang untuk pergi konsultasi (takut disebut gila)," kata Dian.
Wanita yang kini membuka praktik di RSUP Fatmawati itu menambahkan, fasilitas kesehatan seperti puskesmas sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kesehatan jiwa.
"Bisa juga (edukasi) dilakukan di suatu kegiatan yang digelar di posyandu, posbindu, itu harus masuk ke situ. Kita enggak bisa jalan sendirian. Misalnya psikiater ada di RS tipe A, bagaimana agar edukasi sampai ke keluarga? Berarti ada kewajiban dari fasilitas kesehatan mulai dari tersier, sekunder, sampai primer, nyambung terus sampai ke bawah," tambah Dian.
Selain itu, ia melanjutkan, keluarga juga harus kompak dan saling mendukung jika ada anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan jiwa dan membutuhkan pertolongan.
"Harapan saya, keluarga-keluarga bisa lebih memahami bahwa peran psikiater maupun psikolog ini harus bisa difungsikan. Jadi (pasien) enggak perlu malu lagi, enggak perlu takut dibilang gila," katanya.
Baca juga: Gawat! Pasien Bunuh Orang, Psikiater yang Dipenjara
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022
"Setiap tanggal 10 Oktober itu kita peringati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, peringatan ini untuk menyuarakan, mengedukasi tentang kesehatan mental demi kondisi jiwa yang baik bagi seluruh dunia," kata Dian yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) itu saat acara bincang-bincang yang digelar virtual, diikuti di Jakarta pada Senin.
Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia tahun ini mengusung tema "Make Mental Health and Well-being for all a Global Priority" atau "Jadikan Kesehatan Jiwa dan Kesejahteraan untuk Semua sebagai Prioritas Global".
Dalam menjadikan kesehatan jiwa sebagai isu prioritas, Dian mengatakan edukasi dan sosialisi kepada masyarakat masih sangat diperlukan dengan melibatkan berbagai stakeholder. Apalagi, stigma-stigma negatif mengenai kesehatan mental masih banyak ditemukan di tengah masyarakat Indonesia.
Baca juga: Dokter sampaikan olahraga bermanfaat bagi kesehatan jiwa
"Hambatan dan tantangan kita adalah stigma dan diskriminasi. Kalau misalnya orang sudah menyadari, punya awareness kalau dia harus datang ke praktisi kesehatan mental, tapi ketika ada stigma kemudian diskriminasi, dia akan berpikir ulang untuk pergi konsultasi (takut disebut gila)," kata Dian.
Wanita yang kini membuka praktik di RSUP Fatmawati itu menambahkan, fasilitas kesehatan seperti puskesmas sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kesehatan jiwa.
"Bisa juga (edukasi) dilakukan di suatu kegiatan yang digelar di posyandu, posbindu, itu harus masuk ke situ. Kita enggak bisa jalan sendirian. Misalnya psikiater ada di RS tipe A, bagaimana agar edukasi sampai ke keluarga? Berarti ada kewajiban dari fasilitas kesehatan mulai dari tersier, sekunder, sampai primer, nyambung terus sampai ke bawah," tambah Dian.
Selain itu, ia melanjutkan, keluarga juga harus kompak dan saling mendukung jika ada anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan jiwa dan membutuhkan pertolongan.
"Harapan saya, keluarga-keluarga bisa lebih memahami bahwa peran psikiater maupun psikolog ini harus bisa difungsikan. Jadi (pasien) enggak perlu malu lagi, enggak perlu takut dibilang gila," katanya.
Baca juga: Gawat! Pasien Bunuh Orang, Psikiater yang Dipenjara
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022