World Water Forum (WWF) Ke-10 di Bali membangun kerja sama Center of Excellence (CoE) atau Pusat Keunggulan di kawasan Asia Pasifik dalam merespons persoalan air yang dipengaruhi perubahan iklim.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati usai menghadiri panel diskusi terkait CoE di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) menyebut kehadiran aliansi itu akan membangun kolaborasi lintas negara dalam merespons penguatan mitigasi bencana.
"WWF sudah 30 tahun berjalan dan krisis air dunia sudah puluhan tahun, bahkan sudah 100 tahun. Tapi nyatanya kita selalu gagap menghadapi itu, meski banyak penelitian dan teknologi," katanya.
Ia mengatakan setiap negara sebenarnya sudah memiliki CoE masing-masing, misalnya Indonesia dengan CoE Weather and Climate yang dibentuk sejak 13 tahun lalu untuk melatih kepakaran SDM dengan dukungan organisasi meteorologi dunia.
"Sudah lebih dari 13 tahun juga sudah ada Sabo Center, dimana teknologi Sabo diperkenalkan kepada pakar-pakar muda di bidang terkait di Asia Pasifik dan Afrika," katanya.
Baca juga: Analis intelijen nilai Indonesia tunjukkan kepemimpinan isu air di WWF
Sabo berasal dari dua kata Jepang yaitu Sa yang berarti pasir dan Bo yang berarti pengendalian. Teknologi Sabo adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengantisipasi aliran debris dan pengendalian sedimen dalam suatu bentang alam, khususnya sungai pada gunung.
"Selain itu di BNPB juga ada center yang mendidik pelatihan para young future leaders dan future expert di bidang kebencanaan dari internasional," katanya.
Dikatakan Dwikorita, CoE itu hanya sebagian dari yang kini tersedia di berbagai lembaga di Indonesia, tapi semuanya masih bekerja sendiri-sendiri.
"Kita pikir kenapa demikian, barangkali sudah banyak yang dikerjakan oleh banyak sektor, tapi bergerak sendiri-sendiri, bahkan duplikasi, jadi boros energi dan pendanaan," katanya.
Baca juga: WWF: Penyu Belimbing dapat ditemui di dua tempat di perairan Maluku
CoE yang dibahas melalui WWF kali ini, kata dia, diarahkan pada praktik kolaborasi, tidak hanya di tingkat regional, tetapi juga lintas negara di Asia Pasifik.
"Saat ini baru regional Asia Pasifik, tapi kami juga dorong regional yang lain pun membangun, misalnya di Afrika sudah mulai merintis. Kami yakin di Eropa, Amerika juga banyak center, tapi aliansinya ini yang harus dibangun per regional, tidak langsung global," katanya.
Alasannya, kata Dwikorita, setiap regional memiliki karakteristik persoalan bencana yang berbeda-beda. "Tidak bisa dipaksakan solusi tunggal untuk seluruh dunia, itu terlalu menyederhanakan," katanya.
Hal lain yang juga turut dibahas dalam diskusi panel itu, berkaitan dengan iklim dan upaya mempersiapkan kemampuan mitigasi bencana dalam menjaga kepercayaan dan kualitas dari kinerja CoE.
"Itu tidak hanya didukung SDM dan skill, tapi juga pendanaan. Itu akan di bicarakan," kata Dwikorita.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: World Water Forum bangun kerja sama Center of Excellence Asia Pasifik
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2024
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati usai menghadiri panel diskusi terkait CoE di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) menyebut kehadiran aliansi itu akan membangun kolaborasi lintas negara dalam merespons penguatan mitigasi bencana.
"WWF sudah 30 tahun berjalan dan krisis air dunia sudah puluhan tahun, bahkan sudah 100 tahun. Tapi nyatanya kita selalu gagap menghadapi itu, meski banyak penelitian dan teknologi," katanya.
Ia mengatakan setiap negara sebenarnya sudah memiliki CoE masing-masing, misalnya Indonesia dengan CoE Weather and Climate yang dibentuk sejak 13 tahun lalu untuk melatih kepakaran SDM dengan dukungan organisasi meteorologi dunia.
"Sudah lebih dari 13 tahun juga sudah ada Sabo Center, dimana teknologi Sabo diperkenalkan kepada pakar-pakar muda di bidang terkait di Asia Pasifik dan Afrika," katanya.
Baca juga: Analis intelijen nilai Indonesia tunjukkan kepemimpinan isu air di WWF
Sabo berasal dari dua kata Jepang yaitu Sa yang berarti pasir dan Bo yang berarti pengendalian. Teknologi Sabo adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengantisipasi aliran debris dan pengendalian sedimen dalam suatu bentang alam, khususnya sungai pada gunung.
"Selain itu di BNPB juga ada center yang mendidik pelatihan para young future leaders dan future expert di bidang kebencanaan dari internasional," katanya.
Dikatakan Dwikorita, CoE itu hanya sebagian dari yang kini tersedia di berbagai lembaga di Indonesia, tapi semuanya masih bekerja sendiri-sendiri.
"Kita pikir kenapa demikian, barangkali sudah banyak yang dikerjakan oleh banyak sektor, tapi bergerak sendiri-sendiri, bahkan duplikasi, jadi boros energi dan pendanaan," katanya.
Baca juga: WWF: Penyu Belimbing dapat ditemui di dua tempat di perairan Maluku
CoE yang dibahas melalui WWF kali ini, kata dia, diarahkan pada praktik kolaborasi, tidak hanya di tingkat regional, tetapi juga lintas negara di Asia Pasifik.
"Saat ini baru regional Asia Pasifik, tapi kami juga dorong regional yang lain pun membangun, misalnya di Afrika sudah mulai merintis. Kami yakin di Eropa, Amerika juga banyak center, tapi aliansinya ini yang harus dibangun per regional, tidak langsung global," katanya.
Alasannya, kata Dwikorita, setiap regional memiliki karakteristik persoalan bencana yang berbeda-beda. "Tidak bisa dipaksakan solusi tunggal untuk seluruh dunia, itu terlalu menyederhanakan," katanya.
Hal lain yang juga turut dibahas dalam diskusi panel itu, berkaitan dengan iklim dan upaya mempersiapkan kemampuan mitigasi bencana dalam menjaga kepercayaan dan kualitas dari kinerja CoE.
"Itu tidak hanya didukung SDM dan skill, tapi juga pendanaan. Itu akan di bicarakan," kata Dwikorita.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: World Water Forum bangun kerja sama Center of Excellence Asia Pasifik
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2024