Pengamat bidang ekonomi energi dari ReforMiner Insitute Dr.Komaidi Notonegoro menilai, penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi opsi yang cukup logis di tengah keterbatasan fiskal serta dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Kebijakan harga yang kurang proporsional dan terbatasnya anggaran subsidi berpotensi menimbulkan risiko ekonomi dan sosial yang besar akibat terganggunya keberlanjutan pasokan BBM di dalam negeri," ujar Komaidi dalam catatan kajian Reforminer Institute di Jakarta, Jumat.

Komaidi menguraikan, pelemahan nilai tukar rupiah telah berdampak terhadap keseimbangan fiskal karena mempengaruhi pos pendapatan dan belanja di APBN. Pelemahan rupiah juga memberikan dampak secara langsung terhadap harga energi di Indonesia.



Pelemahan nilai tukar rupiah berpotensi memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. Untuk APBN 2024, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp4 triliun.

Akan tetapi, pelemahan tersebut memberikan konsekuensi terhadap meningkatnya belanja negara sekitar Rp10,2 triliun. Artinya, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS berpotensi meningkatkan defisit APBN sekitar Rp6,2 triliun.

Selain pelemahan rupiah, peningkatan harga minyak (ICP) juga memberikan dampak negatif terhadap kondisi fiskal Indonesia. Setiap peningkatan harga minyak sebesar 1 dolar AS per barel memang berpotensi meningkatkan pendapatan negara sekitar Rp3,6 triliun. Namun di sisi lain, peningkatan tersebut memberikan dampak terhadap meningkatnya belanja negara sekitar Rp10,1 triliun.

"Ini bisa diartikan bahwa setiap peningkatan harga minyak sebesar 1 dolar AS per barel, berpotensi meningkatkan defisit APBN 2024 sekitar Rp6,5 triliun," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute ini mewanti-wanti.

Komaidi juga mengungkapkan, pelemahan rupiah dan peningkatan harga minyak (ICP) memberikan dampak langsung terhadap meningkatnya biaya pengadaan energi (listrik, BBM, gas) di Indonesia. Peningkatan biaya pengadaan energi di Indonesia dapat disebabkan oleh meningkatnya harga bahan baku dan selisih kurs rupiah.



Berdasarkan simulasi keterkaitan antara biaya pengadaan BBM dengan harga minyak mentah dan nilai tukar rupiah ditemukan bahwa setiap peningkatan harga minyak mentah sebesar 1 dolar AS per barel akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp150 per liter. Sementara, setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per dolar AS, akan meningkatkan biaya pengadaan BBM sekitar Rp100 per liter.

Jika mengacu pada hasil simulasi tersebut, menurut Komaidi, pelemahan rupiah memberikan dampak terhadap meningkatnya biaya pengadaan BBM sekitar Rp705 untuk setiap liter. Peningkatan biaya pengadaan BBM akan lebih besar lagi jika memperhitungkan realisasi rata-rata ICP, yang tercatat lebih tinggi dibandingkan asumsi APBN 2024.

Meskipun penyesuaian harga BBM bisa menjadi opsi kebijakan yang cukup logis, Komaidi mengingatkan bahwa pemerintah perlu mengantisipasi potensi risiko yang dapat ditimbulkan dari kebijakan penyesuaian harga BBM. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia baik berdasarkan pendekatan sektoral maupun kelompok pengeluaran memiliki keterkaitan yang kuat dengan harga energi.

"Berdasarkan kelompok pengeluaran, sekitar 55 persen PDB Indonesia merupakan kontribusi dari sektor konsumsi yang relatif sensitif terhadap tingkat inflasi," katanya.



Mencermati permasalahan tersebut, Komaidi berpendapat saat ini pemerintah menghadapi tantangan yang relatif sulit dalam membuat kebijakan harga BBM.

"Untuk dapat memformulasikan kebijakan fiskal dan kebijakan harga energi yang optimal demi mengantisipasi dampak negatif yang berpotensi muncul dari pelemahan nilai tukar rupiah," tutup Komaidi.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Penyesuaian harga BBM logis di tengah keterbatasan fiskal

Pewarta: Faisal Yunianto

Editor : Moh Ponting


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2024