Mahkamah Konstitusi akhirnya mengabulkan sebagian gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva saat membacakan amar putusan di gedung MK.

Menurut MK, Pasal 3 ayat 5, Pasal 12 ayat 1 dan 2, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah menilai pemilihan umum untuk anggota DPR, DPD, DPRD, serta pemilihan presiden dan wakil presiden mesti serentak.

Oleh karena itu, Mahkamah menilai pasal-pasal itu tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, keputusan Mahkamah ini tak akan diterapkan pada Pemilu 2014. "Berlaku untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 dan pemilu seterusnya," ujar Hamdan.  
    
Uji materi tersebut diajukan Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dan  Effendi Gazali sebagai representasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak. Menurut pengacara Effendi, permohonan uji materi sesungguhnya sudah diajukan sejak Januari 2013. Namun, setelah beberapa kali disidangkan, perkara itu tak kunjung diputus.

Tetapi, mantan Ketua MK Mahfud MD menyebutkan, MK telah memutuskan hasil gugatan UU Pilpres itu dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Namun, setelah Mahfud tak lagi menjadi hakim konstitusi, sidang putusan tak pernah digelar.

Sebelumnya, Effendi menilai, ada kejanggalan dalam proses pengambilan keputusan, karena pada 19 Maret 2013, saat dia memasukkan kesimpulan dalam surat permohonan Koalisi, tercantum dengan jelas permintaan kepada MK agar segera memutus permohonan itu.

Dia menyatakan, di halaman 10 tertulis bahwa pemohon meminta agar MK mengeluarkan putusannya sebelum 9 April 2014 sehingga tidak mengganggu persiapan pemilu. Namun, putusan belum juga dibuat.

"Para hakim lainnya berjanji kepada Mahfud akan membacakan putusan bulan April 2013. Ini adalah janji yang lalu dilanggar sehingga terlihat bahwa memang ada niat untuk menunda pembacaan putusan ini," ujarnya.

Maklum, mungkin saat itu sedang terjadi gejolak di MK setelah ditinggal Mahfud. Kemudian, penggantinya, Akil Mochtar, tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap penanganan hasil sengketa pilkada.

Dia menduga, hakim MK waktu itu sengaja mencari momentum yang tepat untuk mengeluarkan putusannya sehingga tak bisa dilaksanakan pada Pemilu 2014. MK berdalih persiapan pemilu yang sempit menjadi alasan bahwa pemilu serentak dilaksanakan tahun 2019.

Pakar hukum tata negara, Refly Harun malah menduga adanya upaya jual-beli putusan pemilu serentak pada 2019. Hal ini dikuatkan dengan mundurnya jadwal pembacaan putusan MK yang seharusnya dilakukan pada April 2013 menjadi 23 Januari 2014.

Dia berpendapat, saat pemilu serentak disepakati, parliamentary  threshold (PT) atau ambang batas perolehan suara di parlemen seharusnya juga dihapuskan. Pada saat itulah, ada peluang bagi MK mendekati calon presiden dari partai kecil dan menengah yang sudah sangat mapan. "Dugaan saya keputusan ini ingin digoreng sejak awal, tapi kemudian tidak terlaksana karena Pak Akil tertangkap," katanya.

Refly mengkritik sikap hakim konstitusi lainnya yang juga bertanggung jawab menunda pembacaan putusan MK soal pemilu serentak. "Penundaan pengambilan putusan pemilu serentak sama saja dengan tidak memedulikan keadilan. Jalan terbaiknya, lebih baik putusan MK ini diajukan saja ke dewan etik," ujarnya.

Terkait dengan keputusan MK bahwa pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada 2019, Yusril berpendapat, hal itu menyebabkan adanya kevakuman hukum dalam pelaksanaan pemilu. "Ini disebabkan Effendi dan kawan-kawan tidak memberikan jalan keluar setelah pasal-pasal UU Pilpres yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945," ujar dia.

Menurut Ketua Dewan Syuro PBB itu, dalam gugatannya kepada MK, dia menunjukkan jalan keluar untuk mencegah kevakuman hukum. Yusril meminta MK menafsirkan secara langsung maksud Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945.

"Kalau MK tafsirkan maksud Pasal 6A ayat (2) parpol peserta pemilu mencalonkan pasangan capres sebelum pileg, maka tak perlu UU lagi untuk melaksanakannya. Jika MK tafsirkan Pasal 22E ayat (1) bahwa pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun berarti pileg dan pilpres disatukan, tak perlu mengubah UU untuk melaksanakannya. Maka, penyatuan pileg dan pilpres dapat dilaksanakan tahun 2014 ini juga," katanya.


    
Uji materi terlama


Namun, apa boleh buat meski MK sudah memutuskan gugatan atas UU Pilpres sejak setahun lalu, putusannya baru dibacakan akhir Januari ini. "Banyak orang mencurigai saya mengapa baru sekarang ajukan uji UU Pilpres dengan sejuta purbasangka. Seolah karena kini Hamdan yang jadi Ketua MK, maka dia akan bantu saya," ujar Yusril.

Dia balik bertanya, mengapa tidak mencurigai Akil sebagai eks Golkar yang menahan-nahan pembacaan putusan permohonan Efendi Ghazali hampir setahun lamanya?"
    
Menanggapi pertanyaan ini hakim konstitusi Harjono mengklaim bekas Ketua MK Akil Mochtar menghambat pembahasan uji materi UU Pilpres. Putusan uji materi UU Pilpres soal pemilu serentak sejatinya bisa dirampungkan sedini mungkin tahun lalu. "Sejak Akil jadi Ketua MK, dia sibuk dengan sengketa Pemilukada.¿
    
Menurut Harjono, pada RPH 26 Maret 2013, sembilan hakim sebenarnya sudah sepakat mengabulkan gugatan pemohon untuk menjadikan pelaksanaan pemilu presiden dan legislatif secara serentak. Namun untuk poin-poin lainnya seperti aturan presidential threshold dan pelaksanaan pemilu serentak, belum diperoleh kesepakatan antarhakim.

Pembahasannya makin lambat, setelah Akil ditangkap KPK karena terlibat suap sengketa Pilkada Lebak, Banten, dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Kasus Akil membuat MK keteteran karena selain punya pekerjaan rumah menyelesaikan uji materi dan sengketa Pilkada,  juga harus mengembalikan kepercayaan publik yang mulai tergerus.

"Ini termasuk uji materi yang paling lama karena ada kendala teknisnya," katanya dan menambahkan bahwa pensiunnya dua hakim konstitusi - Ketua MK (pada waktu itu) Mahfud MD dan Achmad Sodiqi yang sedari awal ikut terlibat dalam uji materi UU Pilpres ikut memperlambat keputusan.

Sementara itu anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hayono Isman menyatakan partainya merasa rugi bila gugatan Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dikabulkan untuk Pemilu 2014. Alasannya, penggabungan pemilu legislatif dengan pemilihan presiden memakan banyak biaya.

Menurut dia, masa sosialisasi partai akan menjadi lebih panjang dan banyak mengeluarkan biaya. Di sisi lain, perlu ada sosialisasi baru mengenai jadwal pemilu dan cara memilih. Karena itu peraturan baru diberlakukan untuk pemilihan umum 2019 saja agar KPU tidak kesulitan menyelenggarakan pemilu 2014 yang waktu penyelenggaraan sebentar lagi. Sebagai pemilih  rakyat juga akan kesulitan karena sistem yang berganti-ganti.

Hayono juga menepis anggapan bahwa perubahan sistem itu akan menguntungkan Demokrat,  karena partainya tetap tak ingin parliamentary  threshold atau ambang batas perolehan suara di parlemen dihapus. "Kalau berpikiran jangka pendek, kami senang. Tapi kami berpikir jangka panjang agar demokrasi tak hancur," katanya.

Bagi KPU sendiri pemilu serentak pada 2019 akan menambah beban kerja. Anggota KPU  Arief Budiman menyebutkan, dengan sistem pemilu serentak pekerjaan KPU bakal lebih berat. Dia menunjuk proses rekapitulasi penghitungan suara yang saat ini saja sudah memakan waktu 24 jam. "Waktunya pasti akan bertambah seiring dengan bertambahnya pekerjaan," kata Arief.

Masih bagus sistem baru tidak diberlakukan pada Pemilu 2014. Dengan pemilu serantak tentu diharapkan anggaran pesta demokrasi pada 2019 bisa jauh berkurang, sehingga sebagian dananya bisa digunakan untuk membiayai program-program yang bermanfaat bagi rakyat banyak.

Pewarta: Illa Kartila

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014