Umbar janji di musim kampanye apalagi menyangkut Pemilihan Presiden pasti marak, tidak saja di Ibu Kota Jakarta tetapi juga di berbagai daerah termasuk Kota Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.

Janji yang dilontarkan pun sangat menarik, sekadar untuk tidak mengatakannya sebagai "manis".

Di Maluku, isu yang dilontarkan bisa dikatakan strategis, yakni menyangkut kepercayaan kepada putera terbaik daerah ini untuk menduduki jabatan menteri kabinet dan hak kepesertaan dalam mengelola kandungan minyak dan gas bumi di Blok Masela, Maluku Tenggara Barat.

Dua hal itu sejak sepekan terakhir didengungkan Tim Pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai sesuatu yang akan diperoleh oleh Maluku, seandainya lewat Pilpres 9 Juli mendatang pasangan ini terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019.

Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta di Maluku, Hendrik Lewerissa, bahkan menyatakan Prabowo sangat mengerti proses pengelolaan migas, dan karena itu rakyat Maluku tidak perlu sangsi soal hak kepesertaan itu.

Berangkat dari janji tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipikirkan.

Pertama, kemenangan Prabowo-Hatta di Maluku yang memiliki DPT hanya berjumlah sekira 1,2 juta pemilih tidaklah dapat dijadikan alat ukur kemenangan secara nasional. Namun, pemikiran ini tentu tidak perlu menurunkan kepercayaan pada janji tersebut, karena memang kandidat Capres-Cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla secara kebetulan tidak tegas-tegas menjanjikan "pos menteri" maupun "PI 10 persen Blok Masela".

Kedua, jabatan menteri adalah hak prerogatif presiden, sehingga siapa pun yang terpilih nanti memegang hak penuh untuk memberikan atau tidak, dan keputusannya tidak dapat diganggu gugat.

Dalam hitungan politik, tentu saja ada pertimbangan-pertimbangan mengenai jatah untuk partai politik pendukung dan keterwakilan wilayah berdasarkan jumlah penduduk, dan populasi Maluku hanya sekira dua juta jiwa, sangat kecil dibandingkan populasi nasional yang lebih dari 150 juta jiwa.


Migas Masela

Nah, ketimbang memikirkan kursi menteri kabinet, yang memang tidak pernah diberikan untuk putra terbaik Maluku sejak G.A Siwabessy memegang jabatan Menteri Kesehatan di era Soekarno dan Soeharto, sebaiknya fokus rakyat Maluku ditujukan pada hak ikut mengelola kandungan migas di Blok Masela.

Hak pengelolaan Migas Blok Masela itu diberikan pemerintah pusat kepada perusahaan Jepang INPEX selaku pemenang tender.

Apa yang dijanjikan Tim Pemenangan Prabowo-Hatta di Maluku terkait dengan perjuangan Pemprov Maluku untuk mendapatkan hak kepesertaan mengelola migas tersebut, yang digadang-gadang bakal menghapus kemiskinan masyarakat daerah ini, atau setidak-tidaknya melepaskan Maluku dari predikat termiskin ketiga setelah Papua dan Maluku Utara.

Untuk mendapatkan hak itu Pemprov Maluku harus bisa menyediakan dana penyertaan modal sebanyak Rp14 triliun. Angka ini diperoleh dari kalkulasi sederhana, yakni 10 persen dari total investasi sebesar Rp140 triliun, berdasarkan hitungan INPEX sebagai pengelola.

Saat ini, INPEX memegang 65 persen saham, sisanya yang 35 persen dipegang oleh Shell (perusahaan Belanda), setelah PT EMP Energi Indonesia (EMPI) melepas 10 persen sahamnya di Proyek LNG Lapangan Abadi di Blok Masela, Laut Arafura tersebut.

Berdasarkan PP No.35 Tahun 2004, memang Maluku sebagai daerah penghasil dapat diikutsertakan sebagai pemegang saham sebesar 10 persen melalui pola "Participating Interest atau PI.

Menurut Manager Communication & Relation INPEX Corporation, Alfred Menayang, angka 10 persen untuk Maluku itu berasal dari pengurangan saham INPEX dan Shell sesuai komposisi, yakni 6,5 persen dan 3,5 persen.

Sungguhpun demikian, PI 10 persen itu baru bisa diberikan setelah ada persetujuan dari Kementerian ESDM, yang mendasari keputusannya berdasarkan pertimbangan SKK Migas (PP No.35 Tahun 2004).

Sekretaris SKK Migas Dr Ir Gede Pradnyana, dalam satu sarasehan industri hulu migas yang digelar di Jakarta, Selasa (20/5), menyatakan pihaknya masih kesulitan dalam mempertimbangkan pemberian hak untuk Maluku itu, antara lain karena berdasarkan UU Pemerintahan Daerah kewenangan daerah atas wilayah laut terbatas pada jarak 12 mil dari garis pantai, sementara Blok Masela letaknya kurang lebih 150 kilometer atau sekira 75 mil dari garis pantai.

"Kami belum tahu formulanya seperti apa. Kami tidak bisa melawan Undang Undang," katanya.

Apa yang dikatakan Gede Pradnyana kemungkinan terkait penafsiran, apakah PP No. 35 Tahun 2004, yang mewajibkan perusahaan pemegang hak memberikan saham kepesertaan kepada BUMD penghasil, bisa menabrak atau mengabaikan peraturan dalam UU Tentang Pemerintahan Daerah khususnya mengenai hak mengelola wilayah laut, atau tidak.

Secara hirarki, kedudukan Undang Undang berada di atas Peraturan Pemerintah (PP).


Padat risiko

Di luar perkara aturan hukum menyangkut bisa tidaknya Maluku memperoleh hak kepesertaan mengelola migas di Blok Masela, ada hal lain yang harus dipikirkan menyangkut untung rugi kepemilikan saham tersebut.

Sesuai aturan, setiap pemegang saham memiliki hak dan kewajiban dalam suatu usaha. Hak yang dimaksud adalah menikmati keuntungan sementara kewajiban adalah menyetor dana untuk kegiatan eksplorasi (pengeboran) dan eksploitasi (produksi).

Persoalan lain yang timbul adalah setiap pemegang saham juga wajib menanggung risiko apabila usaha yang diyakini menguntungkan tiba-tiba mengalami kegagalan dan rugi, seperti terjadi di Lapindo.

Di dalam industri migas dikenal istilah "3P", yakni Padat Investasi, Padat Teknologi, dan Padat Risiko.

Patut dipertanyakan disini, dari mana uang Rp14 triliun harus didatangkan Pemprov Maluku untuk modal keikutsertaan mengelola migas Blok Masela?

Pertanyaan berikutnya, siapa yang harus bertanggung jawab apabila terjadi "lost"? Di sini perlu dipahami bahwa modal Rp14 triliun itu hampir 10 kali lipat Pendapatan Asli Daerah Maluku per tahun. Artinya, puluhan tahun harus dikumpulkan sebelum mendapat angka tersebut, karena PAD itu tidak melulu ditabung tetapi digunakan untuk kerja pemerintahan dan pembangunan.

Dari perspektif yang lain, kegiatan produksi migas Masela sampai sekarang belum bisa dipastikan kapan akan dimulai. Ini dikatakan langsung oleh Direktur Utama INPEX Indonesia Shunichiro Sugaya, saat pameran industri migas di Balai Sidang Senayan,Jakarta 21 Mei 2014.

Kapan kegiatan produksi bisa dimulai sangat tergantung dari hasil kegiatan ekplorasi yang saat ini masih terus dilakukan oleh INPEX Masela Ltd.

Kabar terakhir menyebutkan perusahaan Jepang ini sedang melanjutkan kegiatan eksplorasi pada lapangan Gas Abadi di Blok Masela, tepatnya pada sumur eksplorasi di Prospek Berkat yakni sumur Berkat-1.

Sebelumnya, sudah diselesaikan pengeboran di tiga sumur delineasi yakni Abadi-8, Abadi-9, dan Abadi-10, yang dikerjakan sejak Juni 2013.

Menurut Alfred Menayang, kapan produksi bisa dilakukan tergantung dari rapat para pemegang saham untuk menetapkan keputusan akhir soal berapa banyak investasi yang harus dikucurkan (Final Investment Decision).

Berapa keuntungan yang diperoleh pun tergantung dari berapa banyak kuota produksi per tahun yang diizinkan oleh pemerintah pusat.

Satu hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah kabar bahwa Pemprov Maluku sudah mendirikan satu BUMD untuk mempersiapkan diri terjun di pengelolaan migas Blok Masela.

Kalau kabar itu benar, patut dipertanyakan perusahaan itu sekarang sedang melakukan kegiatan apa? Apa urgensinya? Apakah sudah ada direksi yang digaji dari APBD? Atau, apakah perusahaan itu kelak dapat menggandeng investor yang siap menyuntikkan dana Rp14 triliun? Bagaimana pula hitung-hitungan bisnisnya dengan BUMD yang dibentuk Pemprov Maluku?


Berhitung cermat

Berangkat dari fakta-fakta yang ada, nampaknya harus benar-benar dihitung secara cermat berbagai kemungkinan yang bisa terjadi sebelum memutuskan untuk menanamkan modal di Blok Masela.

Selain keuntungan yang belum bisa diramalkan atau diperkirakan, ancaman kerugian pun tidak bisa diabaikan.

Kalau mau main aman, maka pilihannya adalah menerima jatah "keuntungan" sebagai daerah penghasil sebagaimana diatur dalam mekanisme Bagi Hasil Pengelolaan Migas.

Dalam mekanisme Bagi Hasil seperti diterapkan pada perusahaan migas CITIC di Seram Timur, pemerintah daerah tidak keluar modal dalam usaha tersebut dan seluruh risiko berada di perusahaan pengelola.

Sebanyak 85 persen yang dihasilkan CITIC dalam pengelolaan migas itu diserahkan kepada Pemerintah Pusat, dan dari 85 persen itu (dihitung 100 persen), 15,5 persen diserahkan kepada pemerintah daerah berdasarkan ketentuan dalam UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD).

Kandungan migas Blok Masela memang diperkirakan besar, sekitar 14 triliun kaki kubik, yang bila diproduksi diperkirakan menghasilkan keuntungan Rp400 triliun. Itu berarti Maluku akan mendapat Rp40 triliun dari investasi Rp14 triliun.

Namun harus diingat, Rp400 triliun itu tidak muncul dalam satu tahun produksi, karena kontrak kerja INPEX Masela adalah 30 tahun sejak November 1998. Bila diasumsikan kegiatan produksi dimulai tahun depan, maka tersisa waktu kurang lebih 14 tahun untuk mendapat keuntungan Rp26 triliun tersebut, atau sekitar Rp1,9 triliun per tahun.

Jika Bagi Hasil yang dipilih, maka 15,5 persen dari pendapatan negara yang tentu jauh lebih besar dari Rp400 triliun akan menjadi pendapatan Pemerintah Provinsi Maluku sebanyak 3,1 persen, Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat 6,2 persen, dan pemerintah kabupaten- kota non penghasil 6,2 persen sebagaimana amanat UU PKPD.

Meskipun tidak ada pendapatan lebih dari kepemilikan saham (PI 10 persen), rasanya apa yang diperoleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten- kota di Maluku dari pola Bagi Hasil sudah cukup besar, dan tentu saja tanpa risiko kerugian dari penanaman modal.

Pewarta: John Nikita Sahusilawane

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014