"Menyatakan permohonan pra peradilan yang diajukan oleh pemohon Antasari Azhar tidak dapat diterima," kata Hakim Ketua Suprapto yang memimpin sidang gugatan praperadilan Antasari Azhar kepada Kapolri di Jakarta, Selasa.

Seketika, Antasari menunjukkan wajah kecewa. Dia mengetahui, perjuangannya mencari keadilan kembali kandas.

Namun di tengah kekecewaannya, ia berusaha tegar dan mencoba berlapang dada menerima putusan tersebut.

"Hakim serba sulit, mau mengabulkan permohonan saya tapi dalam UU tidak mengatur, jadi hakim di tengah-tengah," ujar terpidana kasus pembunuhan terhadap Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnain itu usai sidang.

Dalam sidang putusan yang melibatkan mantan Ketua KPK tersebut, dua gugatan Antasari ditolak oleh hakim dengan alasan penyidik masih terus menangani kasus pembunuhan itu dan belum menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3).

Antasari, terpidana 16 tahun atas dakwaan yang diakuinya tidak pernah dia lakukan, bukan hanya kali ini melakukan gugatan atas laporannya kepada kapolri.

Tahun lalu, dia juga menggugat kapolri karena menelantarkan laporannya, namun juga kandas.

Dia menggugat Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) cq Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) dan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya dalam sidang pra peradilan penghentian penyidikan kasus pemberi keterangan palsu dan pembuktian sms gelap dalam dua berkas yang terpisah.

Dalam kasus laporan palsu, Antasari melaporkan Jeffry Lumempouw dan Etza Imelda Fitri Mumu pada 18 Juni 2013 kepada Bareskrim yang dilimpahkan ke Polda Metro Jaya dengan dugaan memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.

Sementara dalam kasus sms gelap, Antasari telah melaporkan dugaan teror dengan mengirimkan sms, tertanggal 25 agustus 2011 kepada Bareskrim Polri yang dilimpahkan kemudian ke Polda Metro Jaya.

Kedua kasus tersebut, menurut Antasari, tidak dilakukan penyelidikan dan penyidikan dengan semestinya, karena itu pihaknya melakukan gugatan pra peradilan.

Dalam gugatan pra peradilannya, Antasari Azhar sebagai pemohon menyebutkan bahwa termohon I yaitu Kapolri cq Kabareskrim dan termohon II Kapolri cq Kapolda Metro Jaya tidak melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan berkait laporan pokok perkara a quo untuk menemukan tersangka.

Selain itu, termohon disebutkan juga tidak pernah memberikan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) kepada Antasari.

Sehingga dalam gugatan praperadilannya, Antasari berkesimpulan, para termohon telah menghentikan penyidikan atas Laporan Polisi yang diajukan oleh pemohon secara tidak sah dan melawan hukum (onrechtmatige overheidaad).

    
Didakwa dengan asumsi

Antasari mengatakan, dirinya dihukum hanya berdasarkan dakwaan yang bersifat asumsi, karena pada persidangan saat itu pihak jaksa penuntut umum tidak dapat menghadirkan bukti sms ancaman yang dilakukannya kepada korban Nazarudin.

"Jadi dakwaan kepada saya (saat itu, red) hanya berdasarkan asumsi," katanya.

Dia mengungkapkan, dalam sidangnya dahulu, dirinya dikatakan mengancam korban Nasarudin, dan ada dua saksi di bawah sumpah mengatakan mereka pernah melihat sms ancaman itu di hp korban.

Kemudian, karena merasa tidak pernah mengirimkan sms, Antasari minta kepada jaksa penuntut umum saat itu untuk menghadirkan bukti hp korban dan melihat bagaimana pesan singkat ancamannya.

"Namun jaksa berkilah bahwa hp itu rusak, dan sampai hari ini tidak pernah dibuka apa isi sms tersebut," katanya.

Padahal, menurut saksi ahli dari ITB yang menganalisa CDR Telkomsel nomor hp korban, dia mengatakan, tidak ada sms dari dirinya.

"Berarti saksi ini memberikan keterangan palsu," katanya.

Berdasarkan fakta-fakta inilah Antasari melakukan laporan ke Bareskrim Mabes Polri mengenai sumpah palsu dan dugaan sms gelap.

Selain itu, dalam sidang praperadilan, Antasari juga mengungkapkan sejumlah keganjilan.

"Kuasa hukum Kapolri meminta barang bukti hp agar disertakan dalam laporan, padahal hp sudah disita sebelumnya oleh pihak termohon yakni Kapolri cq Kabareskrim dan Kapolda Metro Jaya," katanya.

Karena itu dia mengatakan, hal ini menjadi aneh dan tidak masuk akal apabila pihak termohon meminta hp dari pihaknya.

"Malah sekarang pertanyaannya hp itu ada dimana?," katanya.

Kemudian dia menambahkan keganjilan lain, pihak kapolri menyebutkan proses penyidikan masih berjalan dan belum diberhentikan.

"Namun selama beberapa tahun, saya sebagai saksi pelapor belum pernah sekalipun dimintai keterangan," katanya.

Dari sejumlah fakta yang telah disebutkan, Antasari mengungkapkan kekecewaannya kepada pihak kapolri karena mempersulit pihaknya dalam mencari keadilan.

"Karena hasil penyidikan mempengaruhi nasib kami selanjutnya," katanya.

    
Mencari keadilan ke Jokowi

"Sekecil apa pun pembuktian, akan kami lakukan," katanya penuh semangat usai sidang.

Hal tersebut seakan menegaskan kembali pernyataannya yang menyatakan tidak akan berhenti mencari keadilan atas kriminalisasi yang dialaminya meskipun hingga kini dirinya melalui jalan yang sangat terjal.

Kandasnya gugatan praperadilan dan mandeknya penyelesaian kasusnya di Polri, membuat Antasari berencana mencari keadilan ke Presiden Jokowi.

Namun, opsi ini akan dilakukan sebagai langkah terakhir apabila seluruh langkah hukum yang dilakukan kembali kandas.

Kuasa hukum Antasari, Boyamin Saiman mengatakan, upaya untuk melapor pada Presiden Joko Widodo akan ditempuh jika upaya-upaya hukum lanjutan seperti pelaporan ke Divisi Propam Mabes Polri dan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung melalui PN Jakarta Selatan tetap tidak membuahkan hasil.

"Sebelum menghadap presiden, kami harus melengkapi fakta-fakta lain selain dua putusan sidang hari ini," katanya.

Fakta lain tersebut, katanya, adalah putusan mengenai kasus hilangnya baju korban yang merupakan barang bukti utama kasus pembunuhan mantan Direktur PT. Rajawali Putra Banjaran itu.

Pihak Antasari dan keluarga korban menuntut keberadaan baju korban yang selama ini tidak pernah dihadirkan sebagai bukti dalam persidangan.

"Dalam hal ini kami menggugat RS Mayapada yang menjadi rumah sakit pertama tempat korban ditangani dan pihak penyidik kepolisian yang seharusnya mengetahui keberadaan barang bukti utama ini," ujar Boyamin.

Dan, katanya, apabila kembali menemui jalan buntu, maka pihaknya akan berusaha menemui Presiden Joko Widodo untuk mencari keadilan.

Pewarta: Akbar Nugroho Gumay

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014