Peristiwa penyerangan secara brutal terhadap kantor Majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis, oleh sejumlah orang pada 7 Januari 2015, menimbulkan keprihatinan berbagai pihak termasuk para pemimpin dunia.

Tragedi penembakan yang menewaskan 12 orang, termasuk Pemimpin Redaksi Majalah Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier serta tiga kartunis yang dikenal dengan Cabu, Tignous dan Wolinski.

Reaksi keras pun muncul dari berbagai pihak di dunia. Presiden Amerika Serikat Barack Obama juga mengutuk serangan terhadap kantor surat kabar di Paris itu sebagai "serangan teroris" serta menjanjikan bantuan AS.

"Kami berhubungan dengan pejabat Prancis dan pemerintah AS akan memberikan bantuan yang diperlukan untuk membawa teroris ini ke pengadilan," ucapnya.

Presiden Rusia Vladimir Putin mengutuk keras kejahatan keji itu dan menegaskan kesiapannya melanjutkan kerja sama dalam pertempuran melawan ancaman terorisme.

Kecaman keras juga datang dari Donald Tusk, presiden baru Dewan Eropa (kelompok pemimpin 28 negara Eropa Bersatu), Liga Arab dan Al-Azhar.

Bahkan di Paris, sekitar 1,5 juta warga dan lebih dari 50 pemimpin dan pejabat tinggi negara asing menggelar Marche Republicaine atau gerak jalan (long march) dari Place de la Republique sepanjang tiga kilo meter menuju Place de la Nation, sebagai bentuk keprihatinan.

Turut hadir dalam acara gerak jalan tersebut antara lain Presiden Prancis Francois Hollande, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita, Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk, Perdana Menteri Italia Matteo Renzi, Presiden Swiss Simonetta Sommaruga, serta Sekjen PBB Ban Ki-Moon.

         Meski sejumlah kalangan menilai reaksi tersebut sebagai sesuatu yang "berlebihan", mengingat hal yang sama tidak dilakukan ketika tentara Israel membombardir Palestina hingga menewaskan ratusan orang, namun peristiwa tersebut menjadi bagian penting dalam menyikapi toleransi antarumat beragama.

         Majalah Charlie Hebdo sendiri memang dikenal sebagai majalah Prancis yang kerap memuat kartun-kartun satir, laporan, polemik hingga lelucon. Media tersebut dikenal anti-agama dan sayap kiri, memuat artikel terkait kaum ekstrim kanan, Katolik, Islam, Yahudi, politik, budaya, dan lain-lain.

Sebelumnya, Charlie Hebdo juga pernah menampilkan karikatur Nabi Muhammad SAW hingga menuai kecaman keras dari umat Islam.

Serangan atas kantor Charlie Hebdo itu merupakan serangan dengan korban yang terbesar di Prancis sejak tahun 1961.

Sejak lama, majalah mingguan Charlie Hebdo diketahui publik di Prancis sebagai majalah sarkastik yang menampilkan nada-nada provokatif dan dibumbui dengan dominasi kartun sarkastik yang vulgar, berita, polemik dan "jokes-jokes" satire ala Charlie Hebdo.

Publik pun menilai majalah itu telah melakukan "blunder" dengan gaya pemberitaannya yang demikian vulgar dan provokatif.

Namun, seakan tidak pernah belajar dari kejadian sebelumnya, beberapa hari setelah peristiwa penyerangan 7 Januari 2015, Charlie Hebdo kembali menerbitkan edisi terbaru majalah itu dengan gambar sampul kartun yang disebut sebagai Nabi Muhammad dengan membawa tulisan "Je Suis Charlie" yang berarti "Aku adalah Charlie".

Di atas figur bersorban putih itu juga terdapat tulisan "Tout Est Pardonne" yang berarti "Semua telah dimaafkan".

Edisi terbaru itu dicetak tiga juta eksemplar, jauh melebihi oplah majalah tersebut yang biasanya hanya 60 ribu, dalam 16 bahasa dan akan diedarkan di 25 negara.

Tampaknya, insiden penembakan di kantor Majalah Charlie Hebdo bukan terjadi karena tindakan yang tanpa sengaja, melainkan merupakan "bom waktu" yang diciptakan sendiri oleh Charlie Hebdo.

    
Kebebasan Pers

Berbeda dengan fungsi kebebasan pers di Prancis, Indonesia sangat menjunjung tinggi hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan pers. Terbukti dengan tidak ada lagi pembredelan dan campur tangan pemerintah dalam hal ini.

Namun, kebebasan Pers di Indonesia dilaksanakan dengan berpegang erat pada fungsi kebebasan pers sendiri yakni tidak hanya menjalankan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, tetapi dituntut pula untuk menghormati hak asasi setiap orang.

Oleh karena itu, pers di Indonesia dituntut untuk bersikap profesional dan terbuka terhadap kontrol masyarakat.

Dewan Pers telah menegaskan bahwa kontrol masyarakat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan Hak Jawab dan Hak Koreksi, guna menghindari media pers yang menyimpang dan menciderai arti kebebasan pers yang sesungguhnya.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Slamet Effendy Yusuf menilai majalah Charlie Hebdo tidak belajar dari kejadian penyerangan terhadap kantor redaksinya.

"Charlie Hebdo tidak cerdas, tidak mau belajar dari kejadian yang juga menjadikan kawan-kawannya sebagai korban. Keliru kalau semua orang kemudian disamakan dengan Charlie Hebdo. Barat harus belajar menghargai pemikiran Timur bahwa kebebasan harus disertai tanggung jawab dan empati terhadap apa yang diyakini orang lain," tuturnya.

Menurut Slamet yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Barat harus bisa mengoreksi prilaku-prilaku tersebut. Di Barat pun sudah banyak artikel yang mengkritisi kebebasan berekspresi dengan menyebut kebebasan harus diikuti tanggung jawab dan moralitas.

"Kebebasan berekspresi seharusnya tidak boleh memberi ruang untuk melakukan penghinaan dan pelecehan terhadap apa yang dianggap suci oleh miliaran orang di dunia. Itu akan terus terjadi kalau media membiasakan diri dan publik membiarkan," ujarnya.

Presiden Joko Widodo pun mengingatkan media massa di Tanah Air agar tak kebablasan dalam berekspresi.

Menurut Presiden, peristiwa penyerangan kantor majalah di Prancis itu merupakan "pesan" bahwa dalam rangka berekspresi, menulis dan sebagainya, harus saling menghormati dan menghargai.

    
Kasus Jakarta Post

Oleh karena itu, rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa warga Negara Indonesia dipandang "lebih dewasa" dalam menyelesaikan permasalahan kasus penistaan agama, karena jika ada masalah maka dipilih pola penyelesaian melalui jalur hukum.

Hal tersebut dibuktikan dengan langkah yang dilakukan Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta yang melaporkan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat kepada pihak kepolisian terkait kasus dugaan penistaan agama.

Kasus yang dimaksud adalah gambar karikatur "Islamic State of Iraq and Syria" (ISIS) yang dimuat dalam media The Jakarta Post edisi 3 Juli 2014. Karikatur itu menggambarkan bendera berlambang tengkorak dengan kalimat Tauhid di atasnya.

"Karakter warga negara Indonesia tidak pendendam dan melakukan penyerangan sporadis dengan cara-cara seperti yang terjadi di Prancis itu," ucap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Martinus Sitompul.

Kombes Pol Martinus Sitompul menjelaskan apabila ada permasalahan dalam pemberitaan pers, maka penyelesaian sesuai mekanisme Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yakni melalui lembaga Dewan Pers. Penyelesaian sengketa pers mempunyai mekanisme.

Terkait dengan kegiatan jurnalis dan keberatan atas apa yang dimuat media massa, katanya, maka polisi akan menyarankan untuk hak jawab atau melalui Dewan Pers.

Setiap perbuatan pasti dituntut pertanggungjawaban di negara hukum Indonesia, termasuk pemberitaan pers yang dianggap menyimpang apalagi menyinggung perasaan umat beragama.

Kritik pedas melalui karikatur dan juga reportase media pers yang tajam serta menyinggung, juga hal yang bisa terjadi di negara manapun. Tetapi tentunya bukan berarti kebebasan pers bisa seenaknya disalahartikan dan dijadikan tempat untuk memancing perpecahan bangsa.

Pewarta: Arief Mujayatno

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015