Hujan rintik-rintik yang membasahi Kota Ternate, Maluku Utara, malam itu tidak menjadi halangan bagi Ibrahim untuk pergi mengojek, setelah siang harinya menjalankan aktivitas sebagai karyawan sebuah perusahaan perdagangan.

Ayah tiga anak itu terpaksa melakukan kerja sambilan sebagai tukang ojek sepeda motor setiap malam mulai pukul 19.00 sampai 22.00 WIT, karena penghasilan yang diterima dari perusahaan tempatnya bekerja sangat minim untuk bisa menutupi kebutuhan hidup keluarga selama sebulan.

"Upah yang saya terima dari perusahaan tempat saya bekerja hanya Rp1.600.000 per bulan dan ini tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga selama sebulan, seperti sewa kamar kos dan untuk membeli kebutuhan pokok, yang harganya semakin mahal," ujar warga Kelurahan Salahuddin, Ternate itu.

Alumni salah satu sekolah menengah kejuruan di Ternate itu mengaku biaya hidup keluarga yang harus dikeluarkan setiap bulan sedikitnya Rp3 juta, itu sebabnya walaupun lelah setelah melakukan aktivitas di perusahaan tempatnya bekerja pada siang hari, ia menarik ojek pada malam hari.

Banyak pekerja perusahaan di Malut yang terpaksa melakukan kerja sambilan seperti Ibrahim, karena mereka tidak bisa menuntut upah dari perusahaan sesuai dengan kebutuhan hidup, apalagi upah minimum regional (UMR) di Malut memang sangat rendah yakni hanya Rp1.577.000.

Sulitnya lapangan kerja juga menjadi alasan bagi para pekerja untuk tetap bertahan dengan gaji rendah, karena mereka beranggapan itu lebih baik dari pada harus mengganggur.

Sejumlah organisasi pekerja di Malut ketika melakukan aksi dalam rangkaian peringatan hari buruh internasional tanggal 1 Mei 2015 di Ternate, menyoroti rendahnya upah pekerja di daerah ini.

Mereka menuntut UMR minimal Rp3 juta per bulan, karena Malut merupakan salah satu daerah di Indonesia yang biaya hidupnya sangat tinggi, bahkan khusus untuk harga kebutuhan pokok merupakan yang termahal di wilayah Indonesia Timur.

"Kami meminta kepada Pemprov Malut dan semua pihak terkait lainnya di daerah ini untuk meninjau ulang penetapan UMR tahun 2015 dan dalam menetapkan UMR jangan hanya mempertimbangkan kepentingan perusahaan, tetapi juga kepentingan pekerja," kata salah seorang pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Malut, Hasrul.

Sejumlah perusahaan di Malut enggan disalahkan terkait rendahnya upah pekerja, karena mereka beralasan upah yang dibayarkan kepada karyawannya sudah sesuai dengan UMR dan yang menetapkan UMR itu adalah pemerintah daerah setempat.

Perusahaan sebenarnya ingin memberi upah kepada karyawannya jauh di atas UMR, tetapi kondisi keuangan tidak memungkinkan akibat lesunya ekonomi nasional belakangan ini, selain itu juga karena semakin tingginya biaya produksi akibat adanya kenaikan harga BBM, listrik dan komponen lainnya.

Oleh karena itu, menurut salah seorang pengusaha di Malut, Awat Mustari, pemerintah daerah harus melakukan berbagai terobosan yang muaranya dapat memajukan akitivitas usaha di daerah ini sehingga pendapatan perusahaan bertambah dan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja.


Keberpihakan Pemda

Pemerhati ketenagakerjaan di Malut Hasbi Yusub mengatakan untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja di daerah ini, perlu ada keberpihakan dari pemda setempat, karena pemda memiliki kewenangan untuk mengarahkan perusahaan untuk memperhatikan kesejahteraan pekerjanya.

Keberpihakan pemda itu bisa dalam bentuk regulasi, misalnya peraturan daerah (perda) dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang, bisa pula dalam bentuk kebijakan.

Pemda juga dapat menunjukan keberpihakannya kepada pekerja saat penetapan UMR dengan cara memasukan berbagai variabel kebutuhan pekerja saat menghitung besaran UMR dan harus menolak pesanan perusahaan dalam penetapan besaran UMR.

"Saya melihat penetapan UMR di Malut selama ini tidak berpihak kepada pekerja, UMR tahun 2015 misalnya yang hanya Rp1.577.000 per bulan jelas jauh dari angka kebutuhan pekerja, apalagi kalau dikaitkan dengan biaya hidup di Malut yang sangat tinggi," katanya.

Ironisnya lagi, UMR yang hanya Rp1.577.000 itu belum semua perusahaan di Malut yang menerapkannya dengan alasan perusahaan belum mampu karena kondisi keuangannya belum memungkinkan.

Pemda seharusnya tidak bisa percaya begitu saja kepada perusahaan yang menunda penerapan UMR dengan alasan kondisi keuangan belum memungkinkan, karena bisa jadi itu hanya cara perusahaan untuk menghindari UMR yang baru, untuk itu perlu pengecekan langsung di perusahaan.

Menurut Hasbi Yusub, hal lain yang harus menjadi perhatian pemda di Malut adalah masih adanya berbagai kebijakan dari pemda yang cenderung membebani perusahaan, misalnya banyaknya biaya yang harus dikeluarkan perusahaan, terutama saat pengurusan izin.

Biaya yang membebani perusahaan, terutama yang tidak masuk dalam aturan yang ada dipastikan perusahaan akan memasukannya dalam biaya perusahaan, sehingga pendapatan perusahaan yang seharusnya bisa meningkatkan kesejahteraan pekerjanya terpaksa dialihkan untuk menutupi biaya itu.

Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba mengakui bahwa kesejahteraan pekerja di Malut masih jauh dari harapan, oleh karena itu akan berupaya melakukan berbagai terobosan yang diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan para pekerja.

Salah satu terobosan yang akan dilakukan adalah memberikan berbagai kemudahan kepada perusahaan yang berinvestasi di Malut, terutama dalam perizinan dan pajak, selain itu akan membangun infrastruktur penunjang yang dapat mengurangi biaya produksi perusahaan.

Melalui terobosan itu diharapkan perusahaan di Malut dalam mengembangkan usahanya tidak harus mengeluarkan biaya yang besar, selain itu keuntungan usahanya juga terus meningkat sehingga pada gilirannya perusahaan bisa memberikan upah yang layak kepada pekerjanya.

Pewarta: La Ode Aminuddin

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015