Terlambat bangun sahur untuk puasa Ramadhan hampir tidak pernah dialami warga Ternate, Maluku Utara, karena di daerah ini ada tradisi membangunkan warga untuk sahur yang disebut gendang sahur.

Tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun silam ini tetap dilestarikan warga Ternate, walaupun kini banyak alat teknologi untuk membangunkan orang yang tidur, seperti jam waker atau alarm telepon genggam.

"Bagi warga Ternate tradisi gendang sahur dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari Ramadhan, oleh karena itu sampai kapanpun warga di daerah ini akan selalu menghidupkan tradisi gendang sahur setiap Ramadhan," kata salah seorang tokoh masyarakat di Ternate, Sanusi.

Tradisi gendang sahur melibatkan sekelompok remaja yang masing-masing memiliki peran berbeda, ada yang sebagai pemukul tifa atau penabuh rebana, ada yang sebagai penyanyi, ada yang sebagai gerinjing dan ada yang sebagai pemitik gambus atau gitar.

Mereka akan berkeliling kampung atau kompleks pemukiman dan di tempat tertentu akan menyanyikan lagu-lagu islami atau pantun dengan diiringi alat musik tersebut, sehingga sepintas seperti grup kasidah.

Salah seorang pemain gendang sahur di Ternate Ramli menuturkan ia dan sejumlah rekannya tidak pernah absen membangunkan warga untuk sahur di bulan Ramadhan dengan menggunakan gendang sahur, karena selain untuk mendapatkan pahal, juga untuk meleslarikan tradisi para leluhur.

Mereka berkeliling membangunkan warga dengan gendang sahur mulai pukul 03.00 WIT sampai 04.00 WIT, namun ada pula yang memulainya pada pukul 02.30 WIT dengan tujuan membangunkan warga untuk melaksanakan shalat tahajud karena di bulan Ramadhan banyak warga yang melakukan shalat malam.

Warga yang terbangun karena mendengar gendang sahur tersebut biasanya memberikan uang kepada grup gendang sahur sebagai tanda terima kasih, walaupun mereka tidak meminta uang kepada warga atas jasanya membangunkan warga untuk sahur.

"Walaupun tidur saya nyenyak sekali, kalau di depan rumah saya lewat grup gendang sahur, saya dan keluarga pasti terbangun. Sair lagu dan irama musik yang terdengar dari grup gendang sahur itu sepertinya memiliki kekuatan spritual untuk membangunkan saya makan sahur," kata salah seorang warga Kelurahan Salahuddin Ternate, Ibrahim.

Kemajuan teknologi musik tampaknya mempengaruhi pula tradisi gendang sahur daerah bekas pusat pemerintahan Kesultanan Ternate ini, terbukti alat musik yang digunakan semula hanya rebana, grinjing dan gitar, sekarang ada yang menggunakan keyboard, namun lagunya tetap lagu islami.

Bahkan belakangan ini ada pula grup gendang sahur di Ternate yang menggunakan CD, sehingga mereka hanya memutar CD yang diletakan di atas gerobak dan kemudian berkeliling kampung atau kompleks permukiman warga.


Festival Gendang Sahur

Pemerintah Kota Ternate melihat tradisi gendang sahur sebagai kearifan lokal peninggalan leluhur yang memiliki nilai yang sangat tinggi, oleh karena itu pemkot setempat berupaya melestarikannya, di antaranya melalui penyelenggaraan festival gendang sahur.

Melalui festival gendang sahur itu diharapkan warga Ternate, khususnya kalangan generasi muda untuk tetap menjadikan tradisi gendang sahur sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan sekaligus memetik berbagai nilai dan filosofi dari tradisi itu.

Menurut Wali Kota Ternate Burhan Abdurrahman, tradisi gendang sahur tidak hanya berfungsi membangunkan warga untuk bangun sahur, tetapi juga membawa pesan spritual yang jika dhayati dan diamalkan dapat membentuk karakter yang sesuai dengan ajaran agama dan norma-norma setempat.

Tradisi gendang sahur tersebut juga menunjukan identitas Ternate sebagai salah satu daerah di Indonesia yang sangat berperan dalam penyebaran Islam, khususnya di wilayah Indonesia Timur, bahkan sampai ke wilayah Filipina Selatan.

Bahkan Pemkot Ternate juga menjadikan tradisi gendang sahur sebagai salah satu kegiatan wisata religi, yang diharapkan bisa menjadi salah satu daya tarik wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri untuk berkunjung ke daerah ini di bulan Ramadhan.

"Ternate ditetapkan sebagai salah satu kota pusaka di Indonesia, jadi semua tradisi peninggalan leluhur di daerah ini akan dilestarikan, terutama tradisi yang memiliki nilai dan filosofi yang tidak bertentangan dengan agama, budaya dan hukum yang berlaku, seperti tradisi gendang sahur tersebut," kata Burhan Abdurrahman.

Tradisi lainnya terkait Ramadhan yang juga dilestarikan warga Ternate adalah ela-ela yakni ritual menyambut turunnya malam lailatul qadar, yang sangat dinantikan setiap umat muslim karena jika beribadah di malam itu sama dengan beribadah selama 1.000 bulan.

Tradisi ela-ela itu biasanya dilaksanakan pada malam 27 Ramadhan, warga di daerah ini meyakini bahwa malam itu adalah malam turunnya lailatul qadar dengan berbagai kegiatan seperti membakar obor atau lampiun dan damar di depan setiap rumah warga atau tempat-tempat tertentu.

Tujuan membakar obor dan lampion dalam ritual tradisi ela-ela itu adalah untuk menunjukkan kepada malaikat yang turun ke bumi malam lailatul qadar bahwa warga siap menyambut turunnya lailatul qadar itu, sedangkan membakar damar untuk mengharumkan aroma kampung.

Di Indonesia, menurut Wali Kota Burhan Abdurrahman, hanya ada di Ternate tradisi menyambut malam lailatul qadar yang unik dan khas seperti itu sehingga tradisi ela-ela itu juga diharapkan bisa menjadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Ternate pada Ramadhan.

Pewarta: La Ode Aminuddin

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015