Ambon, 25/8 (Antara) - Penggunaan media sosial untuk remaja pada kenyatannya lebih berisiko dari pada orang dewasa," kata Psikolog Elizabeth T Santosa, M.Psi, di Ambon, Selasa.

Psikolog yang akrab disapa Lizzie itu berada di Ambon atas undangan khusus dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Maluku, untuk menghadiri Peresmian Optimalisasi Perpustakaan BI, sekaligus membedah buku hasil karyanya yang berjudul Raising Children in Digital Era (Tantangan Remaja di Era Digital).

Lizzie juga seorang dosen yang sering diundang sebagai nara sumber pada acara Talkshow di sejumlah televisi nasional.

Dalam bukunya, Raising Children in Digital Era, ia menggabungkan pendekatan teoritis dan praktis agar mudah dipahami dan diaplikasi pada orangtua dalam mendidik anak di era modernisasi yang berkaitan erat dengan pesatnya perkembangan media dan teknologi.

"Apa saja risiko penggunaan media sosial yang tidak terkendali untuk remaja?," tanya dia kepada para siswa/siswi SMP maupun SMU utusan dari sejumlah sekolah di Kota Ambon, yang didampingi para guru menghadiri acara tersebut.

Menurut Lizzie, ada tiga maasalah yang mempengaruhi risiko penggunaan media sosial yang tidak terkendali bagi remaja, pertama, cyberbully, kedua sexting dan ketiga depresi facebook.

Ia menjelaskan, cyberbully atau pelecehan secara online adalah penggunaan media digital untuk mengkomunikasikan informasi yang salah, mempermalukan, dan mengintimidasi orang lain, umumnya antarteman sebaya.

"cyberbully merupakan risiko terbesar bagi remaja saat aktif dalam jariangan sosial media. Cyberbully dapat mengakibatkan gangguan psikis pada remaja sebagai korbannya," katanya.

Lizzie mengungkapkan, beberapa gangguan psikis tersebut mencakup depresi, gangguan keceemasan atau ketakutan yang berlebih, mengisolasi diri dari lingkungan, dan yang paling tragis adalah bunuh diri.

Selanjutnya, masalah sexting adalah perilaku mengirim, menerima atau meneruskan pesan dan foto berkonten seksual melalui telepon genggam, komputer, dan alat digital lain.

"Banyak konten gambar bersifat seksual disebarkan secara luas di jaringan telepon genggam, smartphone dan internet," ujarnya.

Fenomena ini, menurut dia, muncul dikalangan remaja, di mana suatu survei menyatakan bawa 20 persen populasi remaja pernah mengirimkan atau mem-poisting foto atau video, mulai dari semi telanjang atau telanjang diri mereka.

"Kejadian yang sebenarnya berdasarkan pengakuan dari remaja dan orangtua dari beberapa sekolah terkemuka di Jakarta," kata Lizzie.

Ia menuturkan, para remaja menceritakan, umumnya dalam satu kelas, terdapat remaja yang pernah mengirimkan foto tak berbusana dirinya kepada teman kelasnya. Hal ini disebarluaskan oleh teman lainnya melalui telepon genggam.

"Terkejutnya saya, fenomena ini tidak hanya terjadi di sekolah publik menengah atas, namun juga yang memiliki latar belakang sekolah agamais. Anehnya lagi, sebagai pembicara seminar mengenai pola asuh dan remaja, saya jarang sekali mendengar permintaan topik sexting dari pihak sekolah," ujarnya.

Selanjutnya, masalah depresi facebook, adalah karakteristik depresi yang muncul saat remaja menghabiskan waktu, berlebih pada situs media sosial seperti facebook, Path, dan Twitter.

"Pada masa remaja sebuah penerimaan dan pengakuan dari teman sebaya merupakan elemen penting agar mereka merasa bahagia. Intensitas yang terlalu tinggi dalam dunia maya menjadi faktor utama yang memicu depresi bagi beberapa orang remaja," kata Lizzie.

Karena itu, dalam keadaan depresi, tidak jarang remaja mencari jawaban dan bantuan melalui situs internet. Hal ini berisiko karena internet mempertemukan remaja dengan predator yang mempromosikan penyalahgunaan obat-obat terlarang, seperti narkoba, perilaku seksual bebas dan agresivitas atau perilaku yang merusak diri.

Pewarta: Rofinus E. Kumpul

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015