Ambon, 19/9 (Antara Maluku) - Anggota Tim Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Prof Dr John Pieris mengusulkan ke pemerintah pusat untuk melakukan moratorium infrastruktur berskala besar di pulau Jawa, selama lima tahun.
"Saya mengusulkan ke pemerintah pusat, supaya dilakukan moratorium infrastruktur besar di pulau Jawa selama lima tahun. Stop bangun jalan tol dan bangun kereta api cepat," kata John Pieris, di Ambon, Jumat.
Ia mengatakan hal itu, pada pertemuan bersama pemerintah Provinsi Maluku yang dipimpin Wakil Gubernur setempat, Zeth Sahuburua dan didampingi Ketua Tim Komite IV DPD -RI, Drs.H.A.Budiono, dalam rangka menyosialisasikan RUU APBN Tahun 2016.
Menurut dia, sekiranya kalau pembangunan infrastruktur berat dipaksakan tidak boleh dibiayai dengan dana APBN, tetapi harus diserahkan ke pihak swasta.
"Harus swasta murni, bukan swasta BUMN seperti, Nindya Karya (NK), Hutama Karya (HK), Wijaya Karya (Wika), karena dana yang mereka kelola juga bersumber dari APBN," kata John.
Dia juga menyinggung produksi ikan di Maluku, di mana ada bagi hasil antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
"Saya mau tanya kepada masyarakat Maluku, apakah yang dibagi hasil itu?, kalau ada yang belum tahu, bagi hasil itu hanya ada pada izin usaha, sedangkan hasil produksi diambil pemerintah pusat. Bagi hasil izin usaha nilainya sangat kecil untuk daerah," ujar John.
Ia juga memberi contoh, kalau hasil produksi 10 kilo gram dan izin usaha satu meter, bagaimana kontribusinya, apakah izin usaha atau produksi ikan?.
"Hasil produksi ikan di Maluku mencapai 1,6 - 1,8 juta ton/ tahun, itu pun bervariasi. Inilah total produksi nasional, apalagi produksi ikan di Maluku lebih tinggi dari daerah lain.
"Tetapi anehnya, Maluku tidak mendapatkan hasil produksi dan hanya dapat hasil izin usahanya saja," tegasnya.
Semua izin usaha perikanan, lanjut John, sudah dicabut oleh Menteri Kelautan dan PerikananSusi Pudjiastuti dan apa yang terjadi?, awalnya ada daerah-daerah yang mengamuk, seperti yang terjadi di Banyuwangi dan Jember, Jawa Timur.
Tetapi sekarang hasil ikan di daerah tersebut melimpah.
Kalau ikan hasil tangkap nelayan kecil melimpah, pemerintah harus bertanggungjawab, untuk menampung hasil yang banyak itu," katanya.
Otonomi khusus
Senator mewakili Provinsi Maluku selama dua periode itu yaitu 2009 - 2014 dan 2014 -2019 dengan mendapatkan 63.016 suara itu memandang perlu untuk memperjuangkan konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) Otonomi Khusus Provinsi Kepulauan.
"Saya mengangkat kembali konsep RUU otonomi khusus provinsi kepulauan, bukan UU Provinsi Kepulauan, perlu ada penekanan pada khususnya," kata John.
Ia memberi contoh, Aceh dan Papua ternyata pemerintah memberikan otonomi khusus. Perlu diketahui, bahwa ada beberapa pertimbangan Maluku diberikan otonomi khusus, pertama, perlu menghitung Indeks Kemahalan Konsumsi (IKK), Indeks Kemahalan Transportasi (IKT) dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
"Kalau menghitung IKT di Maluku biayanya sangat tinggi. Bayangkan saja, kalau ada orang yang sakit di Kabupaten Kepulauan Aru, naik pesawat ke Saumlaki, ke Tual atau ke Ambon, biayanya sangat mahal," ujarnya.
Karena itu, pemerintah perlu memberikan kemudahan kepada pengusaha-pengusaha lokal untuk membuka bisnis pesawat-pesawat kecil yang disubsidi oleh pemerintah.
"Biarlah pemerintah memberikan subsidi bahan bakar aftur saja. Katakan, contoh kalau pesawat satu kali penerbangan membutuhkan 100 liter aftur, pemerintah daerah bisa mensubsidi 20 liter aftur. Tidak boleh menghitung untung-rugi, karena ini bentuk pelayanan kepada masyarakat," tandasnya.
John menuturkan, bahwa pernah dirinya berkunjung ke Kupang, NTT, melihat banyak wisatawan asing naik pesawat kecil dari Kupang ke Labuan Bajo atau pulau Komodo, setiap hari. Dari Labuan Bajo mereka terbang ke Wakatobi karena jaraknya dekat.
Lalu di Maluku bagaimana?, wisatawan mau terbang ke Banda saja tidak ada pesawat. Akhirnya, mereka terbang lagi ke Bunaken dan Raj Ampat, Papua Barat.
Padahal, ada saja orang yang mau ke Banda setiap hari, tetapi tidak ada pesawat.
"Karena itu, pesawat-pesawat kecil di Maluku harus banyak," kata John.
Jadi, sektor swasta harus dikasih peran untuk membangun infrastruktur di Maluku, sementara pemerintah sendiri sebagai regulator.
Dia juga menyinggung soal dana desa yang sekiranya penyerapannya rendah, lebih baik dikembalikan ke pemerintah pusat. Itu berarti pertumbuhan ekonomi di desa itu kurang baik.
Karena itu, kata dia, perlu dibangun sistem birokrasi di pemerintahan desa, bukan soal penyerapan dana desa saja, tetapi yang terpenting adalah pertanggungjawaban.
"Saya mengusulkan supaya ada bendahara desa yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), dengan kualifikasi berpendidikan SMK Akutansi. Sebab tidak mungkin dana ratusan juta bisa dipertanggungjawabkan dengan baik oleh aparatur desa," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015
"Saya mengusulkan ke pemerintah pusat, supaya dilakukan moratorium infrastruktur besar di pulau Jawa selama lima tahun. Stop bangun jalan tol dan bangun kereta api cepat," kata John Pieris, di Ambon, Jumat.
Ia mengatakan hal itu, pada pertemuan bersama pemerintah Provinsi Maluku yang dipimpin Wakil Gubernur setempat, Zeth Sahuburua dan didampingi Ketua Tim Komite IV DPD -RI, Drs.H.A.Budiono, dalam rangka menyosialisasikan RUU APBN Tahun 2016.
Menurut dia, sekiranya kalau pembangunan infrastruktur berat dipaksakan tidak boleh dibiayai dengan dana APBN, tetapi harus diserahkan ke pihak swasta.
"Harus swasta murni, bukan swasta BUMN seperti, Nindya Karya (NK), Hutama Karya (HK), Wijaya Karya (Wika), karena dana yang mereka kelola juga bersumber dari APBN," kata John.
Dia juga menyinggung produksi ikan di Maluku, di mana ada bagi hasil antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
"Saya mau tanya kepada masyarakat Maluku, apakah yang dibagi hasil itu?, kalau ada yang belum tahu, bagi hasil itu hanya ada pada izin usaha, sedangkan hasil produksi diambil pemerintah pusat. Bagi hasil izin usaha nilainya sangat kecil untuk daerah," ujar John.
Ia juga memberi contoh, kalau hasil produksi 10 kilo gram dan izin usaha satu meter, bagaimana kontribusinya, apakah izin usaha atau produksi ikan?.
"Hasil produksi ikan di Maluku mencapai 1,6 - 1,8 juta ton/ tahun, itu pun bervariasi. Inilah total produksi nasional, apalagi produksi ikan di Maluku lebih tinggi dari daerah lain.
"Tetapi anehnya, Maluku tidak mendapatkan hasil produksi dan hanya dapat hasil izin usahanya saja," tegasnya.
Semua izin usaha perikanan, lanjut John, sudah dicabut oleh Menteri Kelautan dan PerikananSusi Pudjiastuti dan apa yang terjadi?, awalnya ada daerah-daerah yang mengamuk, seperti yang terjadi di Banyuwangi dan Jember, Jawa Timur.
Tetapi sekarang hasil ikan di daerah tersebut melimpah.
Kalau ikan hasil tangkap nelayan kecil melimpah, pemerintah harus bertanggungjawab, untuk menampung hasil yang banyak itu," katanya.
Otonomi khusus
Senator mewakili Provinsi Maluku selama dua periode itu yaitu 2009 - 2014 dan 2014 -2019 dengan mendapatkan 63.016 suara itu memandang perlu untuk memperjuangkan konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) Otonomi Khusus Provinsi Kepulauan.
"Saya mengangkat kembali konsep RUU otonomi khusus provinsi kepulauan, bukan UU Provinsi Kepulauan, perlu ada penekanan pada khususnya," kata John.
Ia memberi contoh, Aceh dan Papua ternyata pemerintah memberikan otonomi khusus. Perlu diketahui, bahwa ada beberapa pertimbangan Maluku diberikan otonomi khusus, pertama, perlu menghitung Indeks Kemahalan Konsumsi (IKK), Indeks Kemahalan Transportasi (IKT) dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK).
"Kalau menghitung IKT di Maluku biayanya sangat tinggi. Bayangkan saja, kalau ada orang yang sakit di Kabupaten Kepulauan Aru, naik pesawat ke Saumlaki, ke Tual atau ke Ambon, biayanya sangat mahal," ujarnya.
Karena itu, pemerintah perlu memberikan kemudahan kepada pengusaha-pengusaha lokal untuk membuka bisnis pesawat-pesawat kecil yang disubsidi oleh pemerintah.
"Biarlah pemerintah memberikan subsidi bahan bakar aftur saja. Katakan, contoh kalau pesawat satu kali penerbangan membutuhkan 100 liter aftur, pemerintah daerah bisa mensubsidi 20 liter aftur. Tidak boleh menghitung untung-rugi, karena ini bentuk pelayanan kepada masyarakat," tandasnya.
John menuturkan, bahwa pernah dirinya berkunjung ke Kupang, NTT, melihat banyak wisatawan asing naik pesawat kecil dari Kupang ke Labuan Bajo atau pulau Komodo, setiap hari. Dari Labuan Bajo mereka terbang ke Wakatobi karena jaraknya dekat.
Lalu di Maluku bagaimana?, wisatawan mau terbang ke Banda saja tidak ada pesawat. Akhirnya, mereka terbang lagi ke Bunaken dan Raj Ampat, Papua Barat.
Padahal, ada saja orang yang mau ke Banda setiap hari, tetapi tidak ada pesawat.
"Karena itu, pesawat-pesawat kecil di Maluku harus banyak," kata John.
Jadi, sektor swasta harus dikasih peran untuk membangun infrastruktur di Maluku, sementara pemerintah sendiri sebagai regulator.
Dia juga menyinggung soal dana desa yang sekiranya penyerapannya rendah, lebih baik dikembalikan ke pemerintah pusat. Itu berarti pertumbuhan ekonomi di desa itu kurang baik.
Karena itu, kata dia, perlu dibangun sistem birokrasi di pemerintahan desa, bukan soal penyerapan dana desa saja, tetapi yang terpenting adalah pertanggungjawaban.
"Saya mengusulkan supaya ada bendahara desa yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), dengan kualifikasi berpendidikan SMK Akutansi. Sebab tidak mungkin dana ratusan juta bisa dipertanggungjawabkan dengan baik oleh aparatur desa," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015