Ambon, 29/11 (Antara Maluku) - Komunitas Bengkel Sastra Maluku dan Perhimpunan Pemuda Sadar Wisata, Pecinta Alam - Kreativitas Anak-Anak Alam (PPSWPA-KANAL) Ambon merenovasi makam penyair Dominggus Willem Syaranamual atau yang lebih dikenal dengan nama pena Dewesy.

Perbaikan makam Dewesy yang berada di komplek persekolahan Muhammadiyah Mamala, Kabupaten Maluku Tengah telah dilakukan lebih dari sepekan lalu.

"Kami menyadari adanya satu tokoh penting yang terlupakan, setelah kami ke pergi ke Mamala dan menemukan kuburnya sudah terlalu tua dan rusak, kami berinisiatif untuk memugarnya," kata Rudi Fofid, penyair dari Bengkel Sastra Maluku, di Ambon, Sabtu.

Ia mengatakan perbaikan makam tersebut telah mendapatkan izin keluarga Dominggus Willem Syaranamual, keluarga Malawat yang menjadi persinggahan terakhir Dewesy, dan raja setempat.

Biaya perbaikan makam pun datang dari sumbangan berbagai pihak yang dikumpulkan selama setahun lamanya, sedangkan proses pengerjaanya melibatkan masyarakat dan TNI setempat.

"Pengumpulan dana dilakukan selama setahun, Prof. Riris Toha Sarumpaet menyumbang paling besar, sedangkan peletakan batu pertama sudah dilakukan setahun lalu oleh raja Desa Mamala dan dihadiri oleh banyak penyair, salah satunya Ivone deFretes," katanya.

Perbaikan makam itu, kata Rudi lagi, mengubah sedikit dari bentuk aslinya yang sederhana, yakni dengan menggunakan keramik dan memahat puisi terakhirnya "Pelarian Terakhir" pada kepala nisan.

"Kami membuat bentuk yang sedikit berbeda dari sebelumnya, kalau makam yang lama kami melihatnya seperti sebuah keranda di atas tanah, sekarang menjadi semacam monumen yang kami pahat puisinya, rencananya ini akan dijadikan taman ziarah sastra," katanya.

Dominggus Willem Syaranamual merupakan pegawai kantor cabang Kementerian Penerangan Negara Indonesia Timur (NIT), yang sering menulis puisi, esei dan artikel mendukung kemerdekaan NKRI dengan memakai nama pena Dewesy sejak masih duduk di bangku sekolah.

Akibatnya ia kerap kali diinterogasi Kempetai (tentara pendudukan Jepang) dan kemudian menjadi incaran bekas Het Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang mendukung berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS).

Setelah tiga kali lolos dari kejaran tentara RMS - Militair Inlechting Dien (MID), Dewesy memutuskan bersembunyi di rumah Mohammad Malawat, temannya di Desa Mamala dengan berjalan kaki selama berhari-hari dari tempatnya bersembunyi di komplek pemakaman Cina di Gunung Nona, Kota Ambon.

Tapi karena kondisi kelelahan, lapar dan sakit, empat hari setelah tiba di Mamala, Dewesy yang dilahirkan di Desa Itawaka, Saparua pada 19 Mei 1926 menghembuskan napas terakhir dalam usia 24 tahun di Desa Mamala pada 22 November 1950 akibat serangan malaria dan disentri.

"Sebelumnya ia dimakamkan di tengah-tengah kampung tapi karena semakin berkembangnya pemukiman penduduk, kuburnya kemudian dipindahkan ke komplek persekolahan Muhammadiyah pada 1970," kata Rudi.

Dewesy, Rudi mengisahkan, beragama Kristen tapi saat meninggal proses pemakamannya, mulai dari memandikan jenazah hingga mengantarkan ke kubur dilakukan oleh warga Mamala yang notabene beragama muslim, ini menjadi bukti indahnya persahabatan antara muslim dan kristiani di Maluku.

"Proses pemakamannya dilakukan oleh warga setempat tapi didoakan dengan cara Kristen oleh satu dari tiga orang guru beragama Kristen, Pak Siahaya yang saat itu bertugas di sana, melihat ini kami merasa makamnya tidak boleh dipindahkan dari Mamala karena akan mencabut akar sejarahnya," ucapnya.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2015