Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Trubuk yang kami tumpangi agak terlambat bertolak dari dermaga Pelabuhan Hunimua, karena mesin pengerek pintu feri itu macet sehingga tidak mau menutup.

Hari itu, Sabtu (12/3), kami hendak ke Pulau Osi, satu dusun kecil di Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku.

Sesuai aturan, kerja perbaikan seharusnya dilakukan sebelum kapal meninggalkan dermaga. Namun teknisi, ABK dan kapten tampaknya sudah terbiasa menghadapi gangguan seperti itu. Mereka memutuskan memperbaikinya dalam perjalanan.

Dan betul, di tengah gerutuan seorang penumpang yang ngotot minta kapal kembali ke dermaga, pintu tersebut akhirnya terangkat dan menutup dengan sempurna. Baling-baling pun dipacu hingga feri melaju dalam kecepatan normalnya menuju Pelabuhan Waipirit.

Perjalanan lewat darat dari Pulau Ambon ke Pulau Seram memang harus menggunakan jasa feri yang dikelola ASDP dengan semboyan utama "Bangga Menjembatani Nusantara".

Sedikitnya ada tiga armada yang melayani rute Hunimua-Waipirit pergi-pulang. Lama pelayaran berkisar antara 1,5 hingga 2 jam dengan jadwal keberangkatan setiap tiga jam. Pelayaran terakhir pukul 18.00 WIT. Kendaraan roda empat dikenakan tarif Rp150.000-Rp200.000, sedangkan sepeda motor Rp55.000 (berboncengan).

Jarum di lonceng tangan telah menunjukkan pukul 10.00 WIT ketika feri sandar di dermaga Waipirit. Kami pun keluar bersama penumpang lain, lalu memacu "Kuda Jepang" yang kami gunakan dengan kecepatan santai, 40-60 kilo meter per jam, berharap bisa tiba di Pulau Osi saat jam makan siang.


Jalan SS

Informasi tentang apa dan dimana gerangan Pulau Osi berada hanya kami dapat dari cerita sejumlah tetangga yang pernah piknik ke sana.

Beruntung, di atas feri kami duduk dekat seorang penumpang yang kebetulan berasal dari Piru, Ibu Kota Kabupaten Seram Bagian Barat. Dia pun menjelaskan bahwa perjalanan dari Waipirit ke Pulau Osi sekira 60 menit, jika kendaraan dipacu serius (cepat), tetapi harus hati-hati karena jalan banyak berkelok.

Kota Piru adalah daerah yang pasti dilewati untuk menuju ke Pulau Osi.

"Terima kasih pak. Kami ini ibarat buta pimpin tuli (tidak tahu sama sekali)," kata seorang perempuan, dan kami pun tertawa bersama.

Keluar dari area pelabuhan, kami melaju ke jalan raya dan mengikuti petunjuk arah ke Kota Piru. Aspal yang relatif mulus membuat perjalanan terasa nyaman. Sejumlah negeri (desa) yang kami lewati di antaranya Hatusua, Waihatu, Nuruwe, dan Waisarisa.

Lepas pilar "Amatoo" (selamat jalan, sampai jumpa) negeri Waisarisa, jalan yang kami lewati mulai berkelok-kelok dan naik turun. Banyak pula tikungan tajam sehingga pengendara harus berhati-hati dan memperhatikan betul rambu-rambu lalu lintas di pinggir jalan.

Ini mungkin yang banyak orang bilang "Jalan SS". Selain tebing, di tepi jalan juga banyak rumput alang-alang yang tumbuh tinggi sehingga menghalangi pandangan.

Pendengaran yang terasa agak tuli menandakan daerah itu merupakan daratan tinggi.

Tepat pukul 11.00 WIT tiba di Piru, langit di atas kota itu tertutup awan cukup gelap, dan kemudian turun hujan. Kami pun memutuskan beristirahat sejenak sambil menikmati makanan di Warung Arema.

Warung yang menyajikan masakan khas Jawa Timur itu ramai pengunjung, terletak di sebelah kanan jalan setelah melewati dua patung yang menjadi ikon Ibu Kota Seram Bagian Barat.

Setengah jam berlalu, kami pun memutuskan meneruskan perjalanan kendati hujan masih rintik.


Pulau Kecil

Waktu menunjukkan pukul 12.00 WIT ketika kami tiba di Dusun Pelita Jaya, Kecamatan Seram Barat. Dusun itu berada di badan Pulau Seram dan merupakan tetangga terdekat Dusun Pulau Osi, yang memang terpisah dari Nusa Ina.

Nusa Ina atau Pulau Ibu adalah sebutan masyarakat Maluku untuk Pulau Seram, yang dipercaya sebagai tempat tinggal para nenek moyang sebelum sebagian di antaranya mencari permukiman baru di Pulau Ambon, Pulau Haruku, Pulau Saparua dan Nusalaut.

Dusun Pulau Osi berukuran kecil, panjangnya 600 meter sedangkan lebarnya 400 meter. Jumlah penduduk 300-an KK, umumnya bekerja sebagai nelayan. Mayoritas warga berasal dari Sulawesi Tenggara, yang mungkin sudah bermukim di sana turun temurun sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu.

Di tengah dusun terdapat sebuah masjid, yang kini sedang dalam perbaikan.

Untuk sampai di dusun itu, pengunjung harus melewati dua pulau karang tak berpenghuni lewat jembatan kayu yang dibangun warga Osi secara swadaya. Kayu yang digunakan baik untuk tiang maupun badan jembatan berasal dari pohon nisa, laharu dan nani (penghasil kayu merah).

Menurut Bapak Amu, pengelola vila panggung tempat kami menginap, dulunya warga dusun menggunakan perahu ketinting untuk mencapai daratan utama di Dusun Pelita.

"Tetapi setelah banyak wisatawan yang datang, warga berinisiatif untuk membangun jembatan demi mempermudah akses menuju ke sini," katanya.

Perairan pulau-pulau kecil tersebut sebenarnya dangkal, tetapi banyak ditumbuhi akar pohon bakau jenis mange-mange.

Pintu masuk Dusun Pulau Osi berupa sebuah gapura. Di sebelah kirinya terdapat pos ojek motor untuk mengantar pengunjung yang tidak ingin berjalan kaki. Ongkosnya Rp15.000 sekali jalan, belum termasuk pas (tol) jembatan Rp5.000. Tidak ada loket maupun karcis masuk, tetapi sebagian pendapatan diperuntukkan bagi kerja perawatan dan perbaikan jembatan.


Tiga Penginapan

Sadar akan potensi dusunnya sebagai destinasi wisata, sejumlah warga setempat membangun penginapan untuk pengunjung yang ingin tamasya dan bermalam di sana.

Seluruhnya ada tiga tempat menginap, satu di tengah dusun dan dua berupa rumah panggung di pantai. Tarif menginap di Pulau Osi ada dua tipe, yakni Rp150.000 dan Rp350.000 per malam.

Mengantisipasi listrik yang sering padam, setiap kamar dilengkapi dengan lampu darurat.

"Yang Rp350.000 itu fasilitasnya lengkap, kamar mandi pun di dalam," kata Pak Amu.

Selain rumah makan di dusun, di tempat penginapan juga ada restoran. Menu utama ikan bakar dan ikan kuah. Satu paket ikan bakar seberat 1 kilogram lengkap dengan nasi dan sayuran dipatok seharga Rp150.000, cukup untuk 2-3 orang.

Ikan yang disajikan "baru mati satu kali", artinya ikan hidup yang diangkat dari dalam air untuk dimasak. Pemesan bahkan boleh memilih jenis dan ukuran ikan yang diingini, ada bubara, sekuda, baronang, dan "ikan batu-batu" lainnya.

Selain penginapan dan makanan, Dusun Pulau Osi juga menyuguhkan lokasi berenang atau menyelam di Pulau Marsegu (Kalong/Kelelawar), terletak tidak jauh dari dusun itu. Pengunjung yang hendak ke sana harus menyewa perahu ketinting dengan harga yang bisa ditawar. Penawaran pertama biasanya Rp250.000.

Menurut Pak Amu, yang bernama asli La Ode Samsi, di pulau tak berpenghuni itu dulu sempat ada tempat penginapan yang dibangun oleh pemerintah daerah. Tetapi karena tidak ada tenaga pengelola atau pengawas, tempat itu sekarang hanya tersisa atap seng dan dindingnya saja.

"Yang lain diambil orang," katanya.

Pantai Dusun Pulau Osi setiap malam mengalami surut. Pagi hari, tatkala pasang mulai kembali, banyak burung elang mencari mangsa ikan-ikan kecil yang terperangkap di bagian yang kering.

Setidaknya, itulah pemandangan akhir yang kami nikmati sebelum meninggalkan dusun tersebut pada Minggu sekira pukul 9.30 WIT.

Pewarta: John Nikita Sahusilawane

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016