Jakarta, 24/6 (Antara Maluku) - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden KH Ahmad Hasyim Muzadi berpendapat bahwa pemahaman kihad dalam revisi undang-undang antiteorisme harus proporsional agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
"Ya proporsional saja, jihad adalah perjuangan dan teror bukan perjuangan, tapi merusak. Jadi dikembalikan saja jihad sebagaimana aslinya," ujar Hasyim saat ditemui dalam sebuah agenda di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan segala macam bentuk perjuangan sesuai Islam adalah jihad, sedangkan jihad melalui peperangan memiliki nama khusus yaitu qital.
Untuk teror, ujarnya, tidak memiliki kriteria karena dalam ajaran agama Islam hanya dikenal istilah peperangan atau perdamaian.
Dalam Islam, jika menjalankan peperangan harus dilakukan secara terang-terangan dengan mengindahkan tata cara atau aturan perang dan dilaksanakan apabila kaum muslimin mendapat tekanan dari musuh.
"Kalau teror kan tidak, yang tidak berdosa, tidak tahu apa-apa ikut diserang, dibunuh. Itu kan tidak berjiwa ksatria, kalau perang kan memang satu pihak melawan pihak yang lain," ujarnya.
Oleh sebab itu Hasyim menyarankan, dalam UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ada baiknya jika teror tidak dimasukkan sebagai bagian dari jihad.
Perbedaan pandangan mengenai jihad antara aparat antiterorisme dengan aktivis Islam di Indonesia memunculkan perdebatan yang meruncing dalam wacana RUU antiterorisme.
Pengamat terorisme dari PP Muhammadiyah Mustofa B. Nahrawardaya mengakui revisi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih terkendala dengan perbedaan pemahaman arti jihad dengan teror.
Mustofa pun menilai, penindakan oleh pemerintah dinilai tidak adil karena hanya menyasar pemeluk agama Islam, sedangkan dalam suatu kasus pemboman yang dilakukan oleh nonmuslim tidak dilabeli sebagai teroris.
"Ingat kejadian yang di Alam Sutera (Tangerang), bahkan BNPT mengakui itu bom terbesar tapi tidak pernah disebut sebagai teroris. Perlakuan yang diterima tidak sama, ini menimbulkan ketidakadilan," kata Mustofa mencontohkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016
"Ya proporsional saja, jihad adalah perjuangan dan teror bukan perjuangan, tapi merusak. Jadi dikembalikan saja jihad sebagaimana aslinya," ujar Hasyim saat ditemui dalam sebuah agenda di Jakarta, Kamis.
Dia menjelaskan segala macam bentuk perjuangan sesuai Islam adalah jihad, sedangkan jihad melalui peperangan memiliki nama khusus yaitu qital.
Untuk teror, ujarnya, tidak memiliki kriteria karena dalam ajaran agama Islam hanya dikenal istilah peperangan atau perdamaian.
Dalam Islam, jika menjalankan peperangan harus dilakukan secara terang-terangan dengan mengindahkan tata cara atau aturan perang dan dilaksanakan apabila kaum muslimin mendapat tekanan dari musuh.
"Kalau teror kan tidak, yang tidak berdosa, tidak tahu apa-apa ikut diserang, dibunuh. Itu kan tidak berjiwa ksatria, kalau perang kan memang satu pihak melawan pihak yang lain," ujarnya.
Oleh sebab itu Hasyim menyarankan, dalam UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ada baiknya jika teror tidak dimasukkan sebagai bagian dari jihad.
Perbedaan pandangan mengenai jihad antara aparat antiterorisme dengan aktivis Islam di Indonesia memunculkan perdebatan yang meruncing dalam wacana RUU antiterorisme.
Pengamat terorisme dari PP Muhammadiyah Mustofa B. Nahrawardaya mengakui revisi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih terkendala dengan perbedaan pemahaman arti jihad dengan teror.
Mustofa pun menilai, penindakan oleh pemerintah dinilai tidak adil karena hanya menyasar pemeluk agama Islam, sedangkan dalam suatu kasus pemboman yang dilakukan oleh nonmuslim tidak dilabeli sebagai teroris.
"Ingat kejadian yang di Alam Sutera (Tangerang), bahkan BNPT mengakui itu bom terbesar tapi tidak pernah disebut sebagai teroris. Perlakuan yang diterima tidak sama, ini menimbulkan ketidakadilan," kata Mustofa mencontohkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016