Ambon (ANTARA) - Komando Daerah Militer (Kodam) XV Pattimura menyelidiki dugaan penyimpanan dan kepemilikan sianida milik oknum TNI AD dalam kegiatan ilegal di Pulau Buru Maluku.
“Kami berkoordinasi dengan staf intel Kodam untuk melakukan pendalaman dan mencari bukti tentang kebenaran adanya dugaan keterlibatan oknum anggota TNI AD dalam kegiatan ilegal yang dimaksud,” kata Kapendam XV/Pattimura, Kolonel Inf Heri Krisdianto, di Ambon, Kamis.
Hal itu diutarakannya setelah dugaan tersebut mencuat ke permukaan atas temuan masyarakat.
Bahkan dalam proses peliputan, awak media setempat pun mendapatkan teror dan intimidasi dari oknum tak dikenal yang berkaitan dengan hal tersebut.
“Kami pastikan akan menyelidiki kasus ini sampai tuntas agar tak menimbulkan keresahan di masyarakat,” ujar Kapendam.
Kapendam juga mengimbau kepada seluruh elemen masyarakat termasuk wartawan untuk membantu mengawasi adanya praktek kegiatan tambang ilegal di Pulau Buru, dan apabila ada keterlibatan oknum Anggota TNI AD masyarakat diminta melapor kepada Polisi Militer setempat dengan menunjukkan bukti dan saksi yang kuat untuk diproses sesuai dengan ketentuan hukum.
Selain itu, dirinya menegaskan apabila ada oknum TNI AD yang terbukti melakukan kegiatan ilegal akan di proses sesuai dengan hukum yang berlaku dan akan diberikan sanksi hukum secara tegas, hal tersebut sesuai dengan perintah Pangdam XV/Pattimura.
Berdasarkan aturan hukum yang berlaku apabila yang bersangkutan terbukti melakukan penyimpanan dan kepemilikan arsenik sianida maka berisiko pasal yang dipersangkakan kepada pelaku yakni Pasal 23 jo Pasal 9 (1) UU nomor 9 Tahun 2008 tentang penggunaan bahan bahan kimia dan penggunaan Bahan Kimia Untuk Senjata Kimia dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Atau, Pasal 106 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan dan atau UU nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar.