Pagi itu terik matahari di Pantai Kola, Desa Nggodimeda, Rote Tengah, Kabupaten Rote, Nusa Tenggara Timur, sangat menyengat. Padahal jarum jam  baru menunjukkan pukul 08.30 Wita.

Puluhan nelayan mulai berdatangan ke Pantai Kola, mereka membantu mendirikan tiga tenda dan menyusun kursi yang nantinya untuk upacara adat di pantai tersebut.

Lokasi itu digunakan sebagai tempat Deklarasi Penerapan Kearifan Lokal dan Pengukuhan Hoholok/Papadak (Hukum Adat) yang bertujuan menjaga laut, khususnya laut Rote yang menjadi bagian langsung dari Taman Nasional Laut Sawu.

Dari kejauhan, sekitar 40 tokoh adat berkemeja putih berselendang kain tenun serta sarung tenun sambil menenteng Ti'i Langga (topi khas Rote yang dibuat dari anyaman daun lontar) mulai berdatangan ke lokasi acara.

Di pojokan kanan ada pula puluhan tokoh adat yang duduk mengenakan topi Ti'i Langga, berbaju ungu,  berkain tenun, serta berselendangkan kain tenun.

Gadis-gadis Rote yang dikenal dengan Nona Nusa Lontar juga terlihat mulai berdatangan dan mencari posisi yang pas untuk bersama-sama mengikuti upacara penjagaan laut atau yang dikenal dengan bahasa daerahnya, Papadak/Hoholok.

Papadak atau Hoholok adalah konsep hukum adat untuk pengelolaan sumber daya alam di wilayah pertanian sawah, mamar (tanaman produksi jangka panjang, antara lain kelapa, pinang, rambutan, nangka, pisang, kenari, dan lontar), dan wilayah mata air untuk pengairan sawah dan air minum masyarakat.

Pengelolaan berbasis Papadak/Hoholok merupakan warisan leluhur masyarakat adat di wilayah bekas Kerajaan Rote Ndao (Nusak). Secara harfiah, Papadak atau Hoholok merupakan dua kata yang pengertiannya sama.

Penggunaan kata "Papadak" diterapkan oleh masyarakat adat dari Rote Tengah mulai Kecamatan Rote Tengah ke wilayah timur (Pantai Baru, Rote Timur, dan Landuleko), sedangkan penamaan "Hoholok" diberikan oleh masyarakat Kecamatan Lobalain ke wilayah barat (Rote Selatan, Rote Barat Laut, Rote Barat, dan Rote Barat Daya).

Penerapan Papadak/Hoholok bertujuan mencegah timbulnya konflik di kalangan petani dan peternak, rusaknya sumber air mengatasi pencurian hasil perkebunan dan persawahan, membangun etika dan nilai-nilai kebersamaan, membedakan mana yang boleh atau tidak boleh, serta mengelola hasil pertanian sehingga terjalin hubungan harmonis antara sesama pengguna sumber daya alam.

Menyadari akan nilai positif pemberlakuan Papadak/Hoholok, maka dalam rangka mendukung pengembangan Taman Nasional Perairan Laut Sawu di Kabupaten Rote Ndao, Forum Komunikasi Tokoh Adat Peduli Budaya (FKTAPB) Kabupaten Rote Ndao menginisiasi penerapan Papadak/Hoholok untuk pengelolaan sumber daya alam di pesisir dan laut secara berkelanjutan.

"Pembentukan Papadak/Hoholok ini bertujuan agar tidak boleh lagi masyarakat atau nelayan di Pulau ini melakukan hal-hal yang merusak lingkungan laut yang berujung pada perusakan ekosistem laut," kata Ketua FKTAPB Yohanes Ndolu.

Untuk tahap awal, hukum adat tersebut diterapkan di tiga  Nusak (wilayah kerajaan) dengan program mulai dari sosialisasi, penyusunan dan konsultasi aturan Papadak/Hoholok, penetapan lokasi untuk Papadak/Hoholok, pembentukan Manoholo (pengawas wilayah Papadak/Hoholok), serta ritual adat pemberlakuannya.

Ada sembilan aturan adat Papadak/Hoholok yang telah disepakati antara para tokoh adat, pemerintah daerah, pemangku kepentingan, dan masyarakat pesisir di tiga Nusak, di antaranya pelarangan penambangan pasir pantai tanpa izin, penebangan mangrove dan pepohonan lainnya di pesisir pantai lokasi Papadak.

Selain itu, penangkapan penyu dan telur penyu, pengambilan, perusakan lamun, teripang, karang, batu laut, akar bahar di perairan sekitar area papadak, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, penangkapan, pembunuhan hewan laut dan ikan laut yang dilindungi oleh negara, seperti paus, buaya, lumba-lumba dan duyung, serta pembuangan sampah di pesisir dan laut.

Dendanya juga bervariasi mulai dari denda Rp100 juta bagi para penangkap paus dan buaya, memotong atau memangkas dahan pohon mangrove atau bakau dan jika aturan itu dilanggar, maka akan dikenai denda Rp10 juta.

Sejumlah larangan lainnya, yakni menangkap dan membunuh kera di hutan mangrove didenda Rp10 juta, mengambil madu di hutan mangrove dengan cara pengasapan didenda Rp10 juta.

"Kami juga menerapkan larangan dan denda bagi mereka yang menangkap lobster atau teripang menggunakan racun akan didenda Rp10 juta," katanya.

Selain itu, berlalu lintas di area rumput laut didenda Rp250.000, membuang sampah ke laut Rp250.000, menangkap dan membunuh penyu didenda Rp5 juta, menangkap ikan menggunakan bahan peledak didenda Rp10 juta, menggunakan pukat harimau didenda antara Rp10 juta hingga Rp100 juta.

Bagi mereka yang merusak terumbu karang didenda Rp10 juta, mengambil pasir dengan alat berat dikenai denda mulai Rp10 juta sampai Rp100 juta, menambang pasir tanpa izin didenda Rp5 juta,  mengambil batang pohon Senggigi didenda Rp25 juta, mengambil telur penyu didenda Rp5 juta, merusak terumbu karang dan akar bahar didenda Rp25 juta.

"Saat ini ada kurang lebih 48 penjaga laut yang telah dikukuhkan oleh Bupati Rote, dan sudah mulai berjalan. Aturan dan denda yang diberikan semuanya berlaku bagi nelayan Rote serta nelayan-nelayan dari luar Rote yang mencarai ikan di perairan ini," tuturnya.

    
Respons Pemda

Keberadaan hukum adat dengan berbagai jumlah denda tersebut membuat Pemerintah Kabupaten Rote Ndao berusaha mempertahankan budaya tersebut, agar masalah laut bisa aman dari berbagai hal yang berkaitan dengan perusakan dan pencurian ikan di laut.

Bupati Rote Ndao Leonard Haning mengaku mendukung hal tersebut dan akan mengandeng Forum Komunikasi Tokoh Adat Peduli Budaya agar hal positif itu bisa diterapkan di semua wilayah pesisir kabupaten terselatan NKRI tersebut.

"Kita akan mengandeng forum ini agar nantinya bisa membantu pemda menjaga laut, serta ini juga dapat meringankan beban dari Pemda Rote sendiri dalam berpatroli," ujarnya.

Rote yang berada dekat dengan Perairan Nasional Laut Sawu itu, memang selalu menjadi incaran dari nelayan-nelayan, baik lokal maupun luar negeri, untuk mencuri dan menangkap ikan dengan jumlah yang besar.

Cara penangkapannya juga tidak ramah lingkungan. Justru terkadang ditemui aksi penangkapan ikan di wilayah perairan itu menggunakan alat tangkap cantrang atau pukat harimau yang akan merusak ekosistem laut, tempat ikan dan hewan laut lainnya yang sedang berkembang.

Leonard sendiri dengan tegas mengatakan larangan yang telah ditetapkan dan dijaga oleh pengawas laut yang dikukuhkan secara adat itu berlaku bagi nelayan-nelayan manapun yang masuk perairan laut Sawu atau ke perairan Pulau Rote.  

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Andi Rudsandi mengatakan saat ini pihaknya sedang mengidentifikasi sejumlah kearifan lokal daerah lain di Indonesia yang masih berhubungan dengan masyarakat pesisir.

"Melihat antusias masyarakat di kabupaten ini saya sangat kagum karena membuktikan semua pihak bisa terlibat menjaga laut. Oleh karena kita hingga kini masih mengidentifikasi daerah di Indonesia yang masyarakatnya peduli dengan laut," katanya.

Ia mengaku pernah mendengar beberapa wilayah di Indonesia yang mempunyai visi dan misi yang sama seperti yang diterapkan oleh masyarakat adat di Rote Ndao.

Bahkan, katanya, KKP mempunyai misi untuk membuat sebuah aturan yang mendorong masyarakat pesisir untuk wajib menjaga lautnya.

Namun, hal tersebut harus dipastikan lagi, karena bisa saja hanyalah sebuah seremonial biasa yang pada akhirnya akan hilang begitu saja ditelan waktu.

Andi menambahkan pemerintah baik pusat sampai daerah wajib mendukung apa yang telah dimulai oleh masyarakat adat tersebut karena memang sudah dimandatkan dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Hak-Hak Adat yang harus dilindungi pemerintah.

"Aturan-aturan yang dilahirkan oleh masyarakat adat itu jauh lebih baik dan lebih efektif dibandingkan dengan aturan yang ditetapkan oleh nasional karena tidak semua daerah mempunyai karakteristik yang sama dengan aturan yang ditetapkan pemerintah," tuturnya.

Ia bahkan optimistis bahwa persoalan-persoalan untuk pengelolaan sumber daya alam di daerah itu akan lebih efektif ketika hukum adat diterapkan.

Pemerintah pusat sendiri, menurutnya, sangat mendukung apa yang telah dilakukan oleh masyarakat adat yang mendapat dukungan dari pemda setempat.

"Kita mendukung dan kita tidak akan ikut campur dengan masalah adat. Karena mereka sudah mempunyai aturan dan kebijakan yang cukup arif," tambahnya.

Akan tetapi, pemerintah sendiri akan terus mengawal proses penjagaan laut itu, kemudian melalui Balai Kawasan Konservasi Laut Sawu akan membimbing serta mengawal secara langsung jalannya aturan tersebut.

"Jika ada hal-hal yang tidak mampu dijalankan oleh masyarakat adat maka akan kita bantu," demikian Andi.

Pewarta: Kornelis Kaha

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016