Kebijakan pemerintah atas penerapan satu harga bahan bakar minyak (BBM) tidak menjadi masalah bagi Ketua Himpunan Pengusaha Minyak dan Gas Bumi (Hiswana) Maluku Utara (Malut) Nasri Abubakar, karena kebijakannya telah lama diterapkan di Malut.

Seluruh pengusaha BBM anggota Hiswana Malut, baik pemilik SPBU maupun Agen Penyalur Minyak dan Solar (APMS) selalu menerapkan satu harga BBM sesuai ketentuan dari pemerintah di seluruh wilayah Malut.

"Saya selalu memantau baik harga BBM di setiap SPBU dan APMS seluruh wilayah Malut, sejauh ini tidak ada yang menjual BBM di luar harga yang ditetapkan pemerintah," ujar ayah empat anak kelahiran 18 November 1968 itu.

Ayah dari Dani Eka Putra ini mengakui, dengan terbentuknya Hiswana Migas ini akan membangun kemitraan dengan pihak Pertamina dan pemda setempat dalam memenuhi kebutuhan BBM kepada masyarakat secara tepat waktu.

"Malut masalah geografis sehingga pengaruh, jadi kordinasi dengan pemda sangat penting, karena sebagai pengusaha siap distribusi BBM ke masyarakat," katanya.

Selain itu, Hiswana juga akan memainkan perannya dalam membantu masyarakat mendapatkan BBM sesuai dengan HET, sehingga bisa menekan terjadinya inflasi.

Dia menyatakan, kehadiran Hiswana ini salah satunya bisa perjuangkan agar kuota BBM di Malut bisa bertambah, seiring dengan bertambahnya kendaraan dan jumlah penduduk, otomatis mobilitas masyarakat cukup tinggi, sehingga permintaan BBM juga akan naik.

Oleh karena itu, pihaknya berharap agar PT Pertamina bisa memenuhi kebutuhan kuota BBM, sehingga masyarakat bisa menikmati BBM seperti di daerah lainnya di Jawa.

Dia mencontohkan, keterlambatan pemasokan Pertalite ini terjadi bukan hanga di Ternate namun beberapa daerah termasuk Ambon juga mengalami kekosongan Pertalite, sehingga berpengaruh hingga ke Ternate.

Nasri Abubakar mengakui, harga BBM di tingkat pengecer memang di atas harga resmi, tetapi Hiswana tidak bisa berbuat banyak, karena keberadaan pengecer BBM merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota setempat.

Alumni Fakultas Pertanian Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar tahun 1993 mengaku hanya bisa mengimbau kepada pemda untuk melakukan pengawasan terhadap para pengecer BBM itu, baik dari segi batasan harga eceran maupun tempat mereka berjualan.

Pemerintah kabupaten/kota di Malut memang telah mengeluarkan regulasi mengenai penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) BBM di wilayah masing-masing, tetapi terkadang tidak disertai dengan pengawasan yang ketat, sehingga pengecer menjual di atas HET dan lokasi penjualannya tidak sesuai ketentuan.

Pengusaha BBM yang mengawali usahanya sebagai karyawan sebuah agen minyak itu mencontohkan, banyak pengecer di Malut yang berada dekat dengan SPBU, padahal seharusnya jauh dari SPBU, sehingga tidak jarang menimbulkan sorotan dari masyarakat, karena saat stok BBM di SPBU habis, tetapi pengecer terdekatnya memiliki stok BBM yang melimpah.

Nasri dapat memahami alasan pemerintah kabupaten/kota di Malut untuk tidak terlalu bertindak tegas terhadap para pengecer BBM itu, karena terkait dengan pertimbangan sosial, mengingat para pengecer tersebut umumnya menggantungkan penghasilan untuk biaya hidup keluarga dari hasil menjual BBM.

Suami dari Nusinta itu mengakui pula bahwa tidak jarang terjadi kelangkaan stok BBM setiap kabupaten/kota di Malut, tetapi itu dipastikan bukan karena permainan pengusaha SPBU atau APMS anggota Hiswana Migas, melainkan karena terjadinya keterlambatan pasokan BBM dari luar Malut, misalnya karena kapal tanker memuat BBM mengalami hambatan dalam pelayaran.

Pewarta: Abdul Fatah

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016