Bukanlah cerita baru jika ada yang mengatakan rupiah, mata uang NKRI, masih sering dipalsukan. Seorang kawan bercerita bahwa dirinya saat berada di Singapura pernah ditawari untuk menukar satu juta rupiah asli dengan tiga juta rupiah palsu.

Kawan lain menuturkan pengalaman menjengkelkan di Bangkok, Thailand, ketika ditolak mentah-mentah saat ingin menukar rupiah dengan bath di sebuah swalayan yang menyatu dengan hotel tempatnya menginap di negeri gajah putih itu.

Dua kisah tersebut mau tidak mau harus diterima sebagai potret mata uang Indonesia yang belum kuat. Potret itu juga harus mendorong semua pihak, tidak hanya pemerintah, untuk menjaga kewibawaan alat pembayaran sah negara ini di dunia, paling tidak di kawasan ASEAN.

Hal menjaga kewibawaan rupiah merupakan salah satu pesan utama yang dilontarkan Presiden RI Joko Widodo saat peluncuran uang baru NKRI di Jakarta, 19 Desember lalu (2016).

Dalam arahannya, Presiden meminta masyarakat untuk selalu menggunakan rupiah setiap kali bertransaksi di dalam negeri, menjaga wibawa rupiah dengan tidak menyebar gosip yang menyesatkan, dan menyimpan rupiah dalam tabungan.

Masih terekam dalam ingatan, ketika krisis moneter melanda pada tahun 1997 pemerintah saat itu mengimbau pemilik/penyimpan mata uang dolar Amerika Serikat untuk menukarkannya dengan rupiah.

Tindakan itu ternyata tidak banyak menolong, bahkan disinyalir cukup banyak spekulan yang menikmati melambungnya nilai tukar uang "Paman Sam" terhadap rupiah yang mencapai kisaran Rp18.000 per satu dolar.

Para spekulan itu memanfaatkan kesempatan di dalam kesempitan atau bisa juga diibaratkan menari di atas penderitaan masyarakat kebanyakan.

Betapapun harus diingat bahwa krisis ekonomi dan moneter itu dalam waktu singkat berubah menjadi gaduh politik yang memuncak menjadi kerusuhan besar pada 1998. Pak Harto (Presiden kedua RI) pun akhirnya menyatakan berhenti dari jabatannya dan digantikan oleh B.J Habibie yang saat itu menjabat Wakil Presiden.

Tentu saja peristiwa hampir 20 tahun lalu itu diharapkan tidak terulang kembali. Jangan lagi rupiah terpuruk dan ekonomi nasional kembali ke titik nadir.

Porak porandanya berbagai kota besar di Tanah Air akibat pembakaran dan penjarahan menyebabkan pengusaha asing lari keluar bersama uang mereka, begitu juga pengusaha nasional yang tidak ingin "konyol" di tengah kekacauan tersebut.


Rupiah Baru

Kerusuhan telah berlalu, dan Indonesia sampai saat ini sudah memiliki tujuh Presiden dan tiga rezim. 

Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden/Proklamator Soekarno berlangsung selama 1945-1965, Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto (1969-1998), dan Era Reformasi sampai saat ini dengan 5 presiden, masing-masing B.J Habibie (1998-1999), K.H Abdurahman Wahid (1999-2002), Megawati Soekarno Putri (2002-2004), Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), dan Joko Widodo (2014-sekarang).

Dalam sejarah Bank Indonesia, selama Era Reformasi telah dilakukan tiga kali penerbitan uang rupiah baru. Pertama pada 2004, kedua pada 2012, dan terakhir pada 19 Desember 2016.

Berbeda dari sebelumnya, uang rupiah baru Tahun Emisi 2016 ini ditandatangani oleh Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Ada tujuh pecahan uang rupiah kertas yang dicetak oleh Peruri, masing-masing bernilai Rp100.000, Rp50.000, Rp20.000, Rp10.000, Rp5.000, Rp2.000, Rp1.000, dan empat uang rupiah logam dengan nilai Rp1.000, Rp500, Rp200, Rp100. Semua alat pembayaran itu sah berlaku sejak tanggal peluncurannya.

Selain untuk memenuhi amanat UU Mata Uang, penerbitan uang rupiah baru juga bertujuan menguatkan unsur pengaman untuk meminimalisasi tingkat pemalsuan uang, di samping untuk mempermudah komunikasi kepada masyarakat dengan penerbitan dalam satu seri.

Ciri lainnya dibuat dalam desain gambar yang mewakili seluruh wilayah Indonesia (Sabang-Merauke). Bagian depan memuat gambar pahlawan nasional, bagian belakang (hanya uang kertas) memuat gambar tarian dan keindahan alam Nusantara.

Penyempurnaan fitur kode tuna netra (blind code) sesuai perintah UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang hak-hak penyandang disabilitas, untuk mempermudah mereka dalam membedakan uang asli dari yang palsu, juga menjadi salah satu perbedaan khas uang baru dibandingkan yang lama.

Gubernur Bank Indonesia sampai saat ini masih meminta sosialisasi uang rupiah baru terbitan Tahun Emisi 2016 digencarkan. Ini disebabkan isu-isu menyesatkan yang digelontorkan pihak-pihak tidak bertanggungjawab, sejak peluncurannya.

Setidaknya ada tiga isu besar yang menerpa uang baru NKRI.

Pertama, isu tentang gambar palu arit (lambang Partai Komunis Indonesia yang terlarang), yang sebenarnya merupakan rectoverso (saling isi) logo Bank Indonesia (unsur ke-6 penguatan uang rupiah T.E 2016).

Rectoverso itu terdapat pada lembar depan dan lembar belakang, yang bila diterawang memang bisa menimbulkan kesan gambar palu arit, terutama pada bagian depan. Padahal, sebenarnya itu merupakan pecahan logo "IB" khas Bank Indonesia.

Unsur pengaman lainnya adalah Color Shifting (warna tinta yang lebih kontras), rainbow feature yang bila dilihat dari sudut tertentu menampakkan gambar tersembunyi angka nominal dengan multi warna (warna warni), latent image (bila dilihat dari sudut tertentu menampakkan teks BI pada bagian depan dan nominal pada bagian belakang, dan ultra violet feature yang memendar menjadi dua warna di bawah sorotan sinar ultra violet.

Isu lain yang juga dibantah BI menyangkut upaya melebihkan satu lembar untuk setiap uang baru yang dicetak yang bisa memicu inflasi, dan "kiblat Tiongkok" di mana uang rupiah baru sama atau mirip dengan yuan.

Kepala Kantor Perwakilan BI Maluku Wuryanto (kini di Kalimantan Tengah) dalam satu kesempatan sosialisasi di Kota Ambon, menyatakan pencetakan uang baru dilakukan hanya untuk mengganti uang lusuh atau tidak layak edar. Jumlah yang dicetak sesuai, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dihancurkan.

Ia juga menyatakan warna yang dipakai untuk uang rupiah kertas NKRI memang mirip dengan yang dipakai di dunia, sehingga tidaklah berdasar sama sekali bila dikatakan mirip dengan yuan.


Redenominasi

Menurut Wuryanto, isu-isu yang tidak memiliki kebenaran itu kemungkinan besar terkait dengan politik Pilkada DKI Jakarta. Berbagai isu "Tiongkok" bermunuculan mulai dari serbuan TKA asal negeri tirai bambu, obat-obatan terlarang, lambang palu-arit, hingga kemiripan rupiah baru dengan yuan.

Karena itu, sosialisasi uang rupiah Tahun Emisi 2016 perlu terus dilakukan ke berbagai lapisan masyarakat untuk menangkal isu-isu yang bisa menyesatkan dan menimbulkan kegaduhan politik dan mengancam perekonomian negara.

Secara nasional, Presiden sudah memberi arahan yang sangat jelas agar masyarakat mencintai rupiah dan tidak menyimpan uang asing (dolar AS atau Ero). Tujuannya tidak lain agar uang NKRI betul-betul memiliki wibawa.

Presiden juga sudah melancarkan jurus Tax Amnesti (Pengampunan Pajak) agar rupiah yang semula diparkir di luar negeri bisa kembali pulang. Ini juga salah satu cara untuk memperkuat nilai tukarnya dengan mata uang asing, di samping meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.

Kita semua tentu tidak ingin rupiah dipalsukan apalagi dilecehkan. Karena itu, gerakan cinta rupiah harus terus digelorakan demi menjaga wibawanya.

Satu hal yang perlu dicatat, pemerintah sampai saat ini dikabarkan masih memikirkan perlu tidaknya diambil kebijakan redenominasi rupiah seperti pernah dilakukan pada 13 Desember 1965.

Redenominasi itu menghilangkan angka 0 sebanyak tiga digit dari belakang, sehingga Rp1 juta akan menjadi Rp1.000. Artinya, bila saat ini 1 dolar AS setara dengan Rp13.000, maka kebijakan itu akan menjadikannya hanya Rp13.

Persoalannya, adakah jaminan bahwa kebijakan itu nyata-nyata akan menguntungkan perekonomian nasional atau justru sebaliknya?

Pewarta: John Nikita Sahusilawane

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017